"Gak sarapan dulu?"
Aku bangun kesiangan. Gara-gara mata baru bisa terpejam jelang subuh."Saya terlambat," tukasku melangkah cepat. Namun sebuah tangan menahanku. Mas Angga."Aku sudah terlambat, Mas. Bisakah kamu lepas?""Sarapan dulu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatku?"Aku mengela napas. Menatapnya beberapa saat."Aku sarapan di kantor.""Dinda, aku mohon. Kamu boleh marah denganku. Ya meskipun aku tidak tahu dimana kesalahanku. Tapi, tolong jangan abaikan kesehatanmu. Itu lebih penting."Dahiku berkerut. Sejak kapan dia jadi sebijak ini?"Kamu gak kesambet kan, Mas?""Kamu pikir? Sudahlah. Makan dulu. Atau, bawa bekal saja."Terpaksa kududukkan pantatku di kursi. Bergabung untuk sarapan. Meski sebenarnya rasanya hambar. Tidak berselera.Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang. Aku sudah sangat kesiangan. Tapi aku sempatkan untuk mampir ke apotik. Kepalaku benar-benar pening. Aku butuh obat tidur. SetidakFisik yang sudah lemah, makin terasa remuk. Sakit kepala semakin sering menyerang. Berat. Seakan beban berpuluh ton menghimpit dadaku. Sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Mengendarai mobil tanpa tujuan. Membiarkannya melaju dengan kecepatan sedang. Memilih area yang sepi dari kawasan yang ramai. Hingga tanpa sadar, aku sampai di kawasan persawahan. Netraku teralih ke arah barat. Dimana sang mentari bersiap kembali ke peraduannya. Ku tepikan mobilku di pinggir jalan. Membuka jendela mobil. Membiarkan angin sore menerpa wajahku. Kuhirup panjang udara segar itu. Bau tanah yang perlahan merilekskan pikiran. Disini, dengan saksi matahari yang meredup, kutumpahkan tangis yang tertahan. Berteriak sekencang-kencangkan. Beruntung, sore ini tak ada yang lewat. Atau mungkin mereka akan mengiraku gila karena frustasi.Potongan demi potongan kejadian berseliweran. Dimulai dari hari naas itu. Hari dimana kebahagiaanku terputus. Juga hari dimana aku memutuskan menja
"Apa Lo bakal menjarain bang Aldi, kalau benar itu dia?""Entahlah. Tergantung. Jika Riri menuntutnya, apa boleh buat? Kamu tahu sendiri, tindakan itu termasuk kriminal.""Ya, aku paham. Lakukan apa yang seharusnya dilakukan.""Sory, keadaan jadi berbalik begini."Aku menggeleng."Never mind. Sudah seharusnya. Katakan benar jika itu benar, dan katakan salah, jika memang salah. Jangan atas dasar persahabatan atau kekeluargaan, Lo menyisihkan keadilan."Zul mengangguk."I know." singkatnya.Atmosfir berubah tidak menyenangkan. Ah, tidak. Memang dari awal sudah tidak menyenangkan. "By the way, ada yang berubah?""Hmm." dehemku singkat."Apanya? Perasaan biasa saja." Zul malah tertawa."Karena siapa? Haidar?""Dih, aneh. Lagian, apa harus perubahan itu terjadi karena orang lain?""Siapa tahu."Aku mendesah kesal. Tidak semua perubahan harus di dasarkan pada orang lain kan?"Kalian menjauh sejak itu," tatapnya selidik.
Kalau boleh memilih, aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mengurus rumah, anak dan suami. Menyambutnya begitu pulang dari kerja. Menyiapkan air hangat, lalu makan bersama dengan anak-anak. Itu adalah impianku sejak dulu. Itulah kenapa aku mundur dari status direktur dan digantikan oleh mas Angga. Namun rupanya, saat itu impianku belum tercapai sempurna. Ditambah bahteraku yang oleng berkali-kali karena ulah ibu mertua yang turut serta memegang kendali.Rasanya seperti karma. Perusahaan di tanganku malah jatuh melayang bebas. Menangis tersedu di dalam mobil yang masih terparkir rapi di parkiran. Kucurahkan kesakitan yang terpendam. Baru saja kemarin aku menemukan lampu hijau, pagi ini dihempas dengan kenyataan yang lebih sulit. Tapi dari sekian itu, yang membuat dadaku sakit adalah saat melihat raut kecewa Haidar. Apa aku salah? Apa aku terlalu gegabah karena mencurigainya dengan alasan yang tak masuk akal. Yang sebenarnya aku saja masih merasa abu-abu.
Kepalaku reflek tertoleh. Terkejut mendapati senyum manis yang terpampang. Berlari menghampiriku dan langsung memelukku."Ih, kangen tahu. Mbak Dinda ngapain sih gak balas chatku?"Aki tersenyum canggung. Niswah. Dia masih sama. Tapi entah kalau dia tahu aku sudah memaki kakak tersayangnya. Mungkin dia akan membenciku."Em, sory, Nis. Mbak agak sibuk akhir-akhir ini.""Ah, iya. Emm, itu ya mbak. Gak sesuai rencana. Niswah turut berduka. Tapi mbak yang sabar deh. Pasti ada hikmahnya kok," senyum lebar berikut lesung pipit menambah manis gadis itu. Senyum yang menular."Iya, gak papa. Takdir kan gak ada yang tahu. Kamu, sama siapa?""Nis!"Netraku langsung berpaling. Jantungku seakan berhenti berdetak. Wajah itu muncul dengan troli di tangannya. Terlihat sama terkejutnya, tapi tidak berlangsung lama. Dia cepat menguasai dirinya. Berbeda denganku yang benar-benar mati kutu."Eh, mas. Ini loh Niswah sama mbak Dinda. Hehe. Kebetulan banget ya ket
Della dan Zul datang tak berapa lama. Meski ada kecanggungan, tapi tak mengurangi keseruan acara masak memasak. Apalagi ada Niswah yang pandai mencairkan suasana. Ada sesuatu beda yang kutangkap, terutama dari arah pandang Zul yang kini berbeda. Bibirku mengulum senyum tipis. Aku rasa, dia berubah haluan. Dasar pria, cepat juga merubah hati.Pukul tujuh tiga puluh, teman-teman Niswah datang. Acara di mulai dengan tiup lilin dan potong kue. Barulah bakar-bakar dan makan. Sengaja acara diadakan di luar ruangan. Bukan karena rumah mereka yang sempit, melainkan supaya lebih leluasa. "Makanlah," ucapku meletakkan daging sapi ke piring pria itu. "Makasih," sahutnya."Sama-sama." Bukannya beranjak, aku sengaja duduk di sebelahnya, tentu dengan memberi jarak. Menatapnya lamat-lamat sembari mengumpulkan keberanian."Soal... Soal tadi siang, aku minta maaf," ucapku."Untuk?""Ya karena sudah bicara yang tidak- tidak. Sory. Aku kebawa emosi. Juga, p
"Makasih lo, mbak. Aku seneng banget. Akhirnya keinginan dari lama tercapai juga."Aku membalas pelukannya. "Jangan terlalu ditanggapi. Salah sendiri tidak mau bilang sama aku. Sok tersakiti kamu.""Ih, apaan sih mas Haidar. Emang kalau bilang juga bakal di turutin? Palingan bilang; halah, males. Ribut. Ganggu istirahat. Ya kan?"Haidar tak menjawab. Aku tertawa menggelengkan kepala. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Haidar yang mudah memaafkan, dan Niswah yang mood booster."Sudah malam. Ayo, aku antar.""Sendiri-sendiri?""Yaiyalah. Memang bagaimana aku pulangnya nanti? Jalan?" aku tertawa. Mengangguk. Berpamitan dengan Niswah, lalu mengambil mobil. Zul dan Della sudah berpamitan sejak tadi. Bahkan sejak acara belum selesai. Emang gak ada akhlak mereka. Bukannya ikutan beberes malah kabur duluan. Aku menaiki mobil di depan, dan Haidar menyusul di belakang.Sampai di rumah, sudah sepi. Mas Angga sudah tidur, ibu juga. Syukurlah. Setidak
Kejutan! Bang Aldi datang hari ini. Dengan naik taksi langsung dari bandara ke kantor. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir lima belas jam, tak membuatnya memperlihatkan letih. Justru tersenyum lebar dan memelukku. Aku membalasnya dengan senyum sekadar menghormatinya. Rasanya tak tega langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Bang Aldi juga tidak menanyai alasan yang membuatnya harus kembali kesini lagi. Meski mungkin dia melihat kantor yang suram dan tidak berwarna seperti biasanya."Abang sudah dengar semuanya," tukasnya setelah beristirahat sejenak."Haidar yang menjelaskan. Tapi abang sempat mampir ke perusahaannya dulu sebelum kesini," jelasnya sebelum aku bertanya."Kenapa kamu tidak bilang sendiri, hmm?" Aku menggeleng."Sudah terlanjur juga. Susah untuk memperbaikinya lagi. Karena data-data kita dijebol oleh mereka.""Masih ada jalan. Sejak kapan adikku ini jadi pesimis, hmm?"Aku menyilangkan kaki, bersidekap. Memperlihat
"Seperti yang kita duga. Dia penipu ulung."Hari ini aku ikut rapat bang Aldi dan kedua temannya. Tentu karena aku penasaran dengan penyelidikan mereka. "Jadi?""Benar. Di Turki, dia adalah buron."Bang Aldi menyandarkan badannya ke sofa, bersidekap. Tapi sudut pandangnya mengarah ke arahku. Pasti dia sedang menyalahkanku karena bisa bekerja sama dengan orang itu. Lah, siapa yang bisa menebak coba? Kalau perusahaannya juga hasil dari menipu juga. Maybe tapi. Dan kalau tidak ada penyelidikan ini, siapa yang bakal sadar? Nyatanya dia juga menjalin hubungan baik dengan om Andre 'kan."Tapi, kenapa tidak ada yang mencarinya kalau dia buron?""Dia operasi wajah. Informanku bilang, dia merubah wajah dan menyogok petugas. Yah, tahu sendirilah bagaimana sistem di negara kita. Jauh dari kata amanah. Uang dari menipunya di Turki sana dia gunakan untuk membangun usaha. Dan, kebetulan sekali, putri dari pengusaha yang bekerja sama dengannya jatuh cin