Kepalaku reflek tertoleh. Terkejut mendapati senyum manis yang terpampang. Berlari menghampiriku dan langsung memelukku.
"Ih, kangen tahu. Mbak Dinda ngapain sih gak balas chatku?"Aki tersenyum canggung. Niswah. Dia masih sama. Tapi entah kalau dia tahu aku sudah memaki kakak tersayangnya. Mungkin dia akan membenciku."Em, sory, Nis. Mbak agak sibuk akhir-akhir ini.""Ah, iya. Emm, itu ya mbak. Gak sesuai rencana. Niswah turut berduka. Tapi mbak yang sabar deh. Pasti ada hikmahnya kok," senyum lebar berikut lesung pipit menambah manis gadis itu. Senyum yang menular."Iya, gak papa. Takdir kan gak ada yang tahu. Kamu, sama siapa?""Nis!"Netraku langsung berpaling. Jantungku seakan berhenti berdetak. Wajah itu muncul dengan troli di tangannya. Terlihat sama terkejutnya, tapi tidak berlangsung lama. Dia cepat menguasai dirinya. Berbeda denganku yang benar-benar mati kutu."Eh, mas. Ini loh Niswah sama mbak Dinda. Hehe. Kebetulan banget ya ketDella dan Zul datang tak berapa lama. Meski ada kecanggungan, tapi tak mengurangi keseruan acara masak memasak. Apalagi ada Niswah yang pandai mencairkan suasana. Ada sesuatu beda yang kutangkap, terutama dari arah pandang Zul yang kini berbeda. Bibirku mengulum senyum tipis. Aku rasa, dia berubah haluan. Dasar pria, cepat juga merubah hati.Pukul tujuh tiga puluh, teman-teman Niswah datang. Acara di mulai dengan tiup lilin dan potong kue. Barulah bakar-bakar dan makan. Sengaja acara diadakan di luar ruangan. Bukan karena rumah mereka yang sempit, melainkan supaya lebih leluasa. "Makanlah," ucapku meletakkan daging sapi ke piring pria itu. "Makasih," sahutnya."Sama-sama." Bukannya beranjak, aku sengaja duduk di sebelahnya, tentu dengan memberi jarak. Menatapnya lamat-lamat sembari mengumpulkan keberanian."Soal... Soal tadi siang, aku minta maaf," ucapku."Untuk?""Ya karena sudah bicara yang tidak- tidak. Sory. Aku kebawa emosi. Juga, p
"Makasih lo, mbak. Aku seneng banget. Akhirnya keinginan dari lama tercapai juga."Aku membalas pelukannya. "Jangan terlalu ditanggapi. Salah sendiri tidak mau bilang sama aku. Sok tersakiti kamu.""Ih, apaan sih mas Haidar. Emang kalau bilang juga bakal di turutin? Palingan bilang; halah, males. Ribut. Ganggu istirahat. Ya kan?"Haidar tak menjawab. Aku tertawa menggelengkan kepala. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Haidar yang mudah memaafkan, dan Niswah yang mood booster."Sudah malam. Ayo, aku antar.""Sendiri-sendiri?""Yaiyalah. Memang bagaimana aku pulangnya nanti? Jalan?" aku tertawa. Mengangguk. Berpamitan dengan Niswah, lalu mengambil mobil. Zul dan Della sudah berpamitan sejak tadi. Bahkan sejak acara belum selesai. Emang gak ada akhlak mereka. Bukannya ikutan beberes malah kabur duluan. Aku menaiki mobil di depan, dan Haidar menyusul di belakang.Sampai di rumah, sudah sepi. Mas Angga sudah tidur, ibu juga. Syukurlah. Setidak
Kejutan! Bang Aldi datang hari ini. Dengan naik taksi langsung dari bandara ke kantor. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir lima belas jam, tak membuatnya memperlihatkan letih. Justru tersenyum lebar dan memelukku. Aku membalasnya dengan senyum sekadar menghormatinya. Rasanya tak tega langsung memberondongnya dengan pertanyaan. Bang Aldi juga tidak menanyai alasan yang membuatnya harus kembali kesini lagi. Meski mungkin dia melihat kantor yang suram dan tidak berwarna seperti biasanya."Abang sudah dengar semuanya," tukasnya setelah beristirahat sejenak."Haidar yang menjelaskan. Tapi abang sempat mampir ke perusahaannya dulu sebelum kesini," jelasnya sebelum aku bertanya."Kenapa kamu tidak bilang sendiri, hmm?" Aku menggeleng."Sudah terlanjur juga. Susah untuk memperbaikinya lagi. Karena data-data kita dijebol oleh mereka.""Masih ada jalan. Sejak kapan adikku ini jadi pesimis, hmm?"Aku menyilangkan kaki, bersidekap. Memperlihat
"Seperti yang kita duga. Dia penipu ulung."Hari ini aku ikut rapat bang Aldi dan kedua temannya. Tentu karena aku penasaran dengan penyelidikan mereka. "Jadi?""Benar. Di Turki, dia adalah buron."Bang Aldi menyandarkan badannya ke sofa, bersidekap. Tapi sudut pandangnya mengarah ke arahku. Pasti dia sedang menyalahkanku karena bisa bekerja sama dengan orang itu. Lah, siapa yang bisa menebak coba? Kalau perusahaannya juga hasil dari menipu juga. Maybe tapi. Dan kalau tidak ada penyelidikan ini, siapa yang bakal sadar? Nyatanya dia juga menjalin hubungan baik dengan om Andre 'kan."Tapi, kenapa tidak ada yang mencarinya kalau dia buron?""Dia operasi wajah. Informanku bilang, dia merubah wajah dan menyogok petugas. Yah, tahu sendirilah bagaimana sistem di negara kita. Jauh dari kata amanah. Uang dari menipunya di Turki sana dia gunakan untuk membangun usaha. Dan, kebetulan sekali, putri dari pengusaha yang bekerja sama dengannya jatuh cin
Aku yang sedang melihat-lihat aksesoris menoleh. Mendapati Riri yang menatapku mengejek. Dengan kedua tangannya bersidekap di dada, jumawa."Ck .... Ck... Kasihan sekali. Udah jatuh miskin Ya? Sampek beli gantungan kunci murahan kayak gitu. Gak kuat beli yang branded? Haha.""Lo kenapa Sih? Ngoceh mulu," sahutku kesal."Ooo... Iya dong. Harus.""Kenapa? Bangga jadi penipu? Berapa orang yang sudah kamu porotin? Mas Angga? Lalu siapa Lagi?"Tawa memekakkan itu terdengar menyebalkan."Sudah aku katakan. Mas Anggamu itu cuma korban kejahatan keluargamu. Kalau saja Angga tidak menikah denganmu, aku pastikan dia baik-baik saja. Sayang sekali, dia harus masuk ke keluarga bejatmu itu."Tanganku mengepal. Ingin segera melayangkan bogem mentah ke wajah menyebalkannya itu."Jaga omongan Lo, ya. Bang Aldi bahkan gak pernah suka sama Lo. Soksok an banget Lo fitnah abang gue. Kalau emang melacur karena masalah keluarga bobrok lo, gak usah deh bawa-bawa abang gue, s
Sejenak kutatap raut sendunya itu, lalu mengangguk. Tak menunggu lama, tangan kekar itu memeluk tubuhku. Aku diam tanpa reaksi. Hanya yang aku tahu, jantungku tidak lagi berdetak untuknya."Maafkan aku. Aku janji, aku akan hidup baik-baik tanpamu. Dan aku juga janji, setelah ingatanku kembali, akan aku turuti permintaanmu. Meskipun itu menyakitkan ku, karena sebenarnya, aku belum ikhlas dengan perpisahan ini."Kutepuk punggungnya, mas Angga melepas pelukan. Dapat kulihat embun di matanya itu.Hari ini, mas Angga pergi dari rumah. Tak ada permusuhan, tak ada barang pecah ataupun piring terbang. Nyatanya, kami berpisah secara baik-baik. Dan saat bang Aldi pulang, dia bertanya mengenai kepergian mas Angga. Dia pun manggut-manggut demi mendengar penjelasanku.***Semenjak Haidar mengalokasikan dananya ke perusahaan, kini perusahaan mulai stabil. Impactnya memang besar. Ditambah bang Aldi membantu mencarikan investor. Dan kudengar, Zul sudah mendapatkan
Ruangan mulai terlihat jelas. Meski tetap saja tidak seterang di luar. Semalaman aku tidak tidur. Begitu pria itu keluar, aku berusaha keras mencari cara untuk kabur. Tapi, dengan kondisi kaki dan tangan diikat, ditambah posisi yang menyulitkanku, membuatku makin sulit bergerak."Uh! Uh!"Kugeser tubuhku dari posisi ini. Pegal dan kotor sudah tidak kupedulikan. Padahal masih pagi, tapi keringat sudah membasahi pelipisku. Bayangkan saja rasanya bagaimana. Sungguh, tidak nyaman. Aku yang tak terbiasa tanpa sentuhan air mandi, kini justru sama sekali belum menyentuh air dari kemarin. Air mataku berlinang. Membayangkan nasib yang akan menimpaku nanti. Merutuki nasib tidak akan mengubah apapun, aku harus berusaha. Meski kemungkinan sekecil zarrah, tapi tak ada salahnya berusaha lebih dulu. Kulihat di dekat jendela sana, ada bekas retakan dinding yang agak kasar. Entah bisa atau tidak, tapi aku seperti melihat kemungkinan. Tubuhku berguling-guling hingga mencap
Posisi nampan masih sama. Sama sekali aku tidak sudi menyehtuhnya. Membayangkan kejadian tadi saja sudah membuatku ingin muntah. Menjijikkan. Siapa tahu pria tadi menaruh sesuatu di makanan, atau bisa jadi di ludahi terlebih dahulu? Bisa saja kan. Mereka orang jahat. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana nasib orang-orang sekarang. Aku harus bisa menghentikannya. Mereka tidak boleh menyetujui rencana licik Riri. Wanita itu terlalu busuk. Dugaanku jendela ini bisa dijebol. Nyatanya, sama sekali tidak. Ikatanku sudah lepas semua padahal. Dan ternyata, setelah aku lihat dari jendela, bangunan ini mepet lembah. Sialan. Mereka sengaja membawaku ke tempat asing dan mengerikan seperti ini. Tubuhku sudah lemah untuk dapat menghancurkan pintu. Lagi-lagi suara derit pintu membuat adrenalinku naik. Reflek menoleh. Dan kali ini, seringai yang kudapat dari dua manusia busuk itu."Apa kabar istri pertama yang terhormat."Rahangku mengeras. Riri ben