"Seperti yang kita duga. Dia penipu ulung."
Hari ini aku ikut rapat bang Aldi dan kedua temannya. Tentu karena aku penasaran dengan penyelidikan mereka."Jadi?""Benar. Di Turki, dia adalah buron."Bang Aldi menyandarkan badannya ke sofa, bersidekap. Tapi sudut pandangnya mengarah ke arahku. Pasti dia sedang menyalahkanku karena bisa bekerja sama dengan orang itu. Lah, siapa yang bisa menebak coba? Kalau perusahaannya juga hasil dari menipu juga. Maybe tapi. Dan kalau tidak ada penyelidikan ini, siapa yang bakal sadar? Nyatanya dia juga menjalin hubungan baik dengan om Andre 'kan."Tapi, kenapa tidak ada yang mencarinya kalau dia buron?""Dia operasi wajah. Informanku bilang, dia merubah wajah dan menyogok petugas. Yah, tahu sendirilah bagaimana sistem di negara kita. Jauh dari kata amanah. Uang dari menipunya di Turki sana dia gunakan untuk membangun usaha. Dan, kebetulan sekali, putri dari pengusaha yang bekerja sama dengannya jatuh cinAku yang sedang melihat-lihat aksesoris menoleh. Mendapati Riri yang menatapku mengejek. Dengan kedua tangannya bersidekap di dada, jumawa."Ck .... Ck... Kasihan sekali. Udah jatuh miskin Ya? Sampek beli gantungan kunci murahan kayak gitu. Gak kuat beli yang branded? Haha.""Lo kenapa Sih? Ngoceh mulu," sahutku kesal."Ooo... Iya dong. Harus.""Kenapa? Bangga jadi penipu? Berapa orang yang sudah kamu porotin? Mas Angga? Lalu siapa Lagi?"Tawa memekakkan itu terdengar menyebalkan."Sudah aku katakan. Mas Anggamu itu cuma korban kejahatan keluargamu. Kalau saja Angga tidak menikah denganmu, aku pastikan dia baik-baik saja. Sayang sekali, dia harus masuk ke keluarga bejatmu itu."Tanganku mengepal. Ingin segera melayangkan bogem mentah ke wajah menyebalkannya itu."Jaga omongan Lo, ya. Bang Aldi bahkan gak pernah suka sama Lo. Soksok an banget Lo fitnah abang gue. Kalau emang melacur karena masalah keluarga bobrok lo, gak usah deh bawa-bawa abang gue, s
Sejenak kutatap raut sendunya itu, lalu mengangguk. Tak menunggu lama, tangan kekar itu memeluk tubuhku. Aku diam tanpa reaksi. Hanya yang aku tahu, jantungku tidak lagi berdetak untuknya."Maafkan aku. Aku janji, aku akan hidup baik-baik tanpamu. Dan aku juga janji, setelah ingatanku kembali, akan aku turuti permintaanmu. Meskipun itu menyakitkan ku, karena sebenarnya, aku belum ikhlas dengan perpisahan ini."Kutepuk punggungnya, mas Angga melepas pelukan. Dapat kulihat embun di matanya itu.Hari ini, mas Angga pergi dari rumah. Tak ada permusuhan, tak ada barang pecah ataupun piring terbang. Nyatanya, kami berpisah secara baik-baik. Dan saat bang Aldi pulang, dia bertanya mengenai kepergian mas Angga. Dia pun manggut-manggut demi mendengar penjelasanku.***Semenjak Haidar mengalokasikan dananya ke perusahaan, kini perusahaan mulai stabil. Impactnya memang besar. Ditambah bang Aldi membantu mencarikan investor. Dan kudengar, Zul sudah mendapatkan
Ruangan mulai terlihat jelas. Meski tetap saja tidak seterang di luar. Semalaman aku tidak tidur. Begitu pria itu keluar, aku berusaha keras mencari cara untuk kabur. Tapi, dengan kondisi kaki dan tangan diikat, ditambah posisi yang menyulitkanku, membuatku makin sulit bergerak."Uh! Uh!"Kugeser tubuhku dari posisi ini. Pegal dan kotor sudah tidak kupedulikan. Padahal masih pagi, tapi keringat sudah membasahi pelipisku. Bayangkan saja rasanya bagaimana. Sungguh, tidak nyaman. Aku yang tak terbiasa tanpa sentuhan air mandi, kini justru sama sekali belum menyentuh air dari kemarin. Air mataku berlinang. Membayangkan nasib yang akan menimpaku nanti. Merutuki nasib tidak akan mengubah apapun, aku harus berusaha. Meski kemungkinan sekecil zarrah, tapi tak ada salahnya berusaha lebih dulu. Kulihat di dekat jendela sana, ada bekas retakan dinding yang agak kasar. Entah bisa atau tidak, tapi aku seperti melihat kemungkinan. Tubuhku berguling-guling hingga mencap
Posisi nampan masih sama. Sama sekali aku tidak sudi menyehtuhnya. Membayangkan kejadian tadi saja sudah membuatku ingin muntah. Menjijikkan. Siapa tahu pria tadi menaruh sesuatu di makanan, atau bisa jadi di ludahi terlebih dahulu? Bisa saja kan. Mereka orang jahat. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana nasib orang-orang sekarang. Aku harus bisa menghentikannya. Mereka tidak boleh menyetujui rencana licik Riri. Wanita itu terlalu busuk. Dugaanku jendela ini bisa dijebol. Nyatanya, sama sekali tidak. Ikatanku sudah lepas semua padahal. Dan ternyata, setelah aku lihat dari jendela, bangunan ini mepet lembah. Sialan. Mereka sengaja membawaku ke tempat asing dan mengerikan seperti ini. Tubuhku sudah lemah untuk dapat menghancurkan pintu. Lagi-lagi suara derit pintu membuat adrenalinku naik. Reflek menoleh. Dan kali ini, seringai yang kudapat dari dua manusia busuk itu."Apa kabar istri pertama yang terhormat."Rahangku mengeras. Riri ben
"Bagaimana kamu ada disini, Mas?"Aku menatapnya was-was. Mas Angga membawaku ke sudut area lokasi ini, dekat tembok pagar bagian belakang."Aku membuntuti Riri.""Kamu sudah ingat?" Maksuduku, ingatannya sudah pulihkah? Pria itu mengangguk."Maaf, aku tidak tahu Riri sejahat itu." Kuhela napas panjang. Bekas merah si dahinya makin terlihat meski di pencahayaan yang samar. Aku salah sasaran. Kupikir yang masuk tadi si pria jahat itu."Kok, kamu bisa masuk? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan mereka," tatapku curiga, menjaga jarak seandainya dia bagian dari Riri dan komplotannya."Aku menyamar, Din. Kamu tidak lupa kan? Rumahku di desa. Aku dan ibu memutuskan pulang ke desa. Dan, kebetulan satu-satunya jalan menuju puncak hanyalah jalan yang dilewati desaku. Aku melihat wajah Riri dibalik kaca mobil yang melintas. Dan, aku curiga, memutuskan mengikutinya dengan sepeda motor. Ternyata benar, lokasi yag dituju adalah rumah ini. Rumah puncak bukti ta
Pria itu masih menatapku curiga. Ayolah, tubuhku benar-benar butuh pertolongan. Dan lagi, terbayang nasib mas Angga yang butuh segera pertolongan."Tolong saya, aku mohon..." pintaku memelas."Oke. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan sesuatu."Pasrah saja saat pria itu memfotoku. Mungkin untuk berjaga jika aku berani menipunya. "Ayo."Aku menaiki boncengan. Motor kembali melaju. Selanjutnya, aku pasrah, tubuhku benar-benar lemas.Aku tidak faham jalan ini. Yang aku tahu, sepanjang jalan hanyalah pepohonan yang terlihat. Gelap dan menakutkan. Hanya sorot lampu inilah satu-satunya sumber cahaya. Jika di situasi normal, mungkin aku sudah memilih balik kanan saja. Tapi, ini situasi mendesak. Kurebahkan kepalaku di pundaknya dengan mata terpejam, lemas. Berharap dia tidak berfikiran buruk padaku. Namun, tiba-tiba motor berhenti. Sontak aku membuka mata. Menatap sekitar yang masih hutan gelap."Ke-kenapa berhenti? Kita belum sampai kan?"
Sebuah jurang menganga, dengan lahar panas di bawahnya. Beberapa pria bertudung hitam mencengkram kedua tanganku. Mereka hendak melemparku. Aku menangis berontak. Namun, sama sekali mereka tidak menghiraukannya. Aku belum ingin mati!Tidak! Bukankah tadi Robi yang membawaku? Kenapa aku berpindah tempat disini? Apakah aku berada di alam mimpi? Dan, apakah saat ini dia tengah merusakku? Air mataku mengalir semakin deras. Aku sudah kotor! Aku benci diriku!"Dinda, bangunlah."Suara lembut menyapa indera pendengarku. Tunggu, kenapa suara itu tidak asing? Perlahan kubuka mataku. Samar-samar siluet seseorang berada di sampingku. "Aarrgh! Jangan! Lepaskan aku!"Aku memberontak saat tangan itu menyentuhku. Tidak! Jangan lagi. Tanganku melempar apa saja yang berada di dekatku. Termasuk memaksa mencabut selang yang menancap di tanganku."Dinda... Tolong tenang. Ini aku, Haidar...""Tidak.... Jangan.... Hiks..."Kurasakan pria itu
Seminggu setelah kejadian itu, keadaanku berangsur membaik. Niswah dan Della sering mengunjungiku dan berbagi cerita lucu. Cukup menghibur, meski tetap saja membosankan di rumah sakit.Sehari setelah hari itu, mas Angga siuman. Aku sempat mengunjunginya. Ada ibu mertua juga. Tapi beliau tidak marah karena mas Angga terluka karenaku.Tepat hari ini, aku dibawa pulang. Tubuhku sudah bugar kembali. Kangen rasanya menginjak rumah ini. Dan beberapa hari kemudian, aku menghadiri sidang. Mereka semua mendapat imbalan yang pantas. Robi sempat bersujud meminta maaf. Tapi, trauma itu masih terasa. Sulit sekali menghapus jejak memori yang terlanjur melekat. Memang benar, memberi maaf itu mudah, tapi menerimanya yang sulit. Tetap saja ikhlas itu masih berat.Mereka semua sudah mendapatkan balasan masing-masing. Mr Arav, kabarnya minggu depan akan dieksekusi. Senyum pahitku mendengar kabar itu. Pria yang awalnya aku kira baik, tapi ternyata dia sejahat itu. Ah, sudahla
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z