Sebuah jurang menganga, dengan lahar panas di bawahnya. Beberapa pria bertudung hitam mencengkram kedua tanganku. Mereka hendak melemparku. Aku menangis berontak. Namun, sama sekali mereka tidak menghiraukannya. Aku belum ingin mati!
Tidak! Bukankah tadi Robi yang membawaku? Kenapa aku berpindah tempat disini? Apakah aku berada di alam mimpi? Dan, apakah saat ini dia tengah merusakku? Air mataku mengalir semakin deras. Aku sudah kotor! Aku benci diriku!"Dinda, bangunlah."Suara lembut menyapa indera pendengarku. Tunggu, kenapa suara itu tidak asing? Perlahan kubuka mataku. Samar-samar siluet seseorang berada di sampingku."Aarrgh! Jangan! Lepaskan aku!"Aku memberontak saat tangan itu menyentuhku. Tidak! Jangan lagi. Tanganku melempar apa saja yang berada di dekatku. Termasuk memaksa mencabut selang yang menancap di tanganku."Dinda... Tolong tenang. Ini aku, Haidar...""Tidak.... Jangan.... Hiks..."Kurasakan pria ituSeminggu setelah kejadian itu, keadaanku berangsur membaik. Niswah dan Della sering mengunjungiku dan berbagi cerita lucu. Cukup menghibur, meski tetap saja membosankan di rumah sakit.Sehari setelah hari itu, mas Angga siuman. Aku sempat mengunjunginya. Ada ibu mertua juga. Tapi beliau tidak marah karena mas Angga terluka karenaku.Tepat hari ini, aku dibawa pulang. Tubuhku sudah bugar kembali. Kangen rasanya menginjak rumah ini. Dan beberapa hari kemudian, aku menghadiri sidang. Mereka semua mendapat imbalan yang pantas. Robi sempat bersujud meminta maaf. Tapi, trauma itu masih terasa. Sulit sekali menghapus jejak memori yang terlanjur melekat. Memang benar, memberi maaf itu mudah, tapi menerimanya yang sulit. Tetap saja ikhlas itu masih berat.Mereka semua sudah mendapatkan balasan masing-masing. Mr Arav, kabarnya minggu depan akan dieksekusi. Senyum pahitku mendengar kabar itu. Pria yang awalnya aku kira baik, tapi ternyata dia sejahat itu. Ah, sudahla
Aku tersenyum, mengangguk."Iya, Om. Dinda.""Oalah. Jadi Dinda kamu toh yang dimaksud. Yaya... Om paham sekarang. Jadi, tadi keluar bareng?""Iya, Om. Kebetulan sedang libur juga.""Oh, yayaya. Ya sudah, om mau bicara Haidar dulu. Yang santai saja disini. Anggap saja rumah sendiri.""Iya, Om." Mengangguk sopan.Selepas om Andree pergi, Niswah mengajakku ke atas. Tepatnya ke kamarnya. Cantik. Kamar ini tentunya lebih besar dan lebih terawat dari kamarnya dulu. "Mbak udah kenal ya, sama papa?"Aku mengangguk tipis. Memandangi satu persatu gambar poster ganteng di kamar Niswah."Dulu om Andre temannya papa. Tapi lucunya ya, Nis. Bisa-bisanya aku lupa sama Haidar. Haha. Padahal, dia dulu pernah ke rumah juga.""Haha. Masak sih, mbak? Mas Haidar pernah ke rumah embak. Tapi, kok aku belum ya?""Aku kurang tahu, Nis. Gak terlalu ingat zaman dulu," sahutku tersenyum."Mas mu tahu, kamu suka koleksi poster pria-pria ganteng ini?" tolehku lagi
Aku tertegun. Dia, Haidar melamarku? Keheneningan menyelimuti suasana. Bersama cahaya kekuningan lilin yang bertiup kesana kemari.Kupejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam."Aku...."Menggigit bibir bagian bawahku. Sesuatu yang mengganjal terasa sangat nyata. "Aku hargai usahamu. Dan terimakasih untuk selama ini telah hadir di hidupku. Sukarela membantuku dari masalah yang menerpa. Tapi---"Ya Tuhan, bantu aku mengatakannya."Maaf, aku... Aku tidak bisa," ucapku lirih. Pegangan itu meluntur. Berikut kotak yang perlahan menutup."Aku harap kamu mengerti. Tapi, aku tidak bisa." Kutatap wajahnya dengan segenap perasaan yang menghujam. Maafkan aku, Haidar.Sejenak Haidar terpaku. Barulah tak berapa lama kemudian, senyumnya kembali terbit. Meski tidak secerah biasanya. Maafkan aku yang mengecewakan."Tidak apa. Tidak perlu minta maaf. Justru akulah yang minta maaf. Aku yang terburu tanpa mel
Pagi kembali menyapa. Hidup sendirian membuat rutinitas tak terlalu menyibukkan. Cukup menyapu, memasak sekedar untuk makanku, dan tentu saja mandi. Sudah. Selesai. Kupoles wajahku di kaca cermin. Mematutnya lagi sejenak. Kemudian mengambil dress dari Niswah kemarin yang sudah kusiapkan diatas kasur. Mematut badan di cermin dengan balutan dress panjang tersebut. Sangat pas. Pintar juga dia memilihnya. Lalu setelah itu menata rambut supaya selaras.Setelah merasa pas, barulah memakai kaos kaki dan juga sepatu. Selesai. Tinggal berangkat.Mobilku melesat membelah keramaian jalanan pagi. Untung saja aku sudah memasang aplikasi supaya bisa mengetahui dimana saja titik kemacetan. Sehingga seminimal mungkin bisa menghindarinya."Cie... Ada yang baru nih.""Apa..." Baru saja sampai sudah mendapat sapaan berbau ledekan dari Della."Penampilan baru nih, aha. Tumben banget pake dress.""Haha. Ya gak papa sih, sesekali."Kami berjalan bersama masuk ke gedung. M
Januari. Winter in London. Kristal putih bagai taburan tepung dari langit. Bedanya, yang ini memberikan sensasi dingin yang amat sangat. Apalagi untukku yang asli dari negara tropis. Meski ini bukan pertama kali, tetap saja musim dingin memberi sensasi yang berbeda. Jaket wol Merino membungkus tubuh kecilku. Juga berikut atribut musim wajib musim dingin lainnya. Penutup telinga, kaos tangan, dan juga sepatu boots yang membungkus kakiku. Oh, ya, dibalik penutup kepala, kini ada jilbab pashmina yang terpasang. Itu adalah pemberian dari Niswah. Semenjak menginjakkan kaki di London, aku memantapkan diri untuk merubah penampilan, selain penampilan diri tentunya. Aku sadar, hijab adalah kewajiban setiap muslimah. Dan, jujur aku akui, perasaanku lebih tenang. Meski tak menampik, bayang pria itu tak sedikit meluntur dari pikiranku. Justru rindu itu makin menjadi. Tapi sebisa mungkin ku tekan. Lagipula yang membuatnya seperti ini adalah diriku.Aku menolaknya waktu itu, bu
Memiliki luas area sebesar 142 hektar, Hyde Park merupakan salah satu taman terluas di London. Taman yang berbatasan langsung dengan Kensington Gardens ini sangat populer sebagai tempat piknik, jogging, mendayung, tenis, berkuda, dan olahraga lainnya. Taman ini juga sering menjadi tempat konser, festival, pasar malam, dan syuting film. Dan itulah tujuan kami hari ini. Tentunya dengan menaiki red bus. Aku belum bisa mengendarai mobil berstir kiri. Susah, belum terbiasa.Jansen terlihat menikmati liburan ini. Kehadiranku sedikit banyak memberinya kesempatan berjalan-jalan, karena orang tuanya yang super sibuk. Memang waktu tertentu bang Aldi akan menyempatkan waktu untuk rekreasi keluarga. Tapi, akhir-akhir ini dia memang tengah sibuk-sibuknya.Masyarakat Inggris banyak yang menyempatkan diri merefreshkan pikiran dengan bercengkrama bersama keluarga. Jansen juga bersemangat mencobai wahana yang ada. Sesekali aku ikut, tapi lebih sering mengawasi saja. Melihatnya sena
"Ha-Haidar...""Iya. Ini aku..." lirihnya. Mulutku bungkam. Tapi sudut mataku terasa panas. Pandanganku berubah buram. D-dia... Ada disini?"Kenapa kamu disini?" "Aku---""Om, ayo ke rumah Jansen. Kan waktu itu om belum pernah ke rumah Jansen. Ayo, Om."Jansen lebih dulu menarik tangan Haidar. Melewatiku yang mana dia sempat menatapku, setelah itu mengimbangi langkah Jansen. Aku menyeka air mata yang sempat turun. Mengikuti mereka dari belakang.Dan ternyata ada sebuah mobil lain yang terparkir di halaman."Mommy, Daddy! Jansen pulang.""Loh, kok rame? Ada--- siapa ya?"Alisku menyatu heran. Ramai? maksudnya, ada tamukah? Aku mempercepat langkahku. Menutup mulut syok saat tahu ada siapa saja di ruang tamu. Niswah yang tersenyum lebar, Della yang melambai centil, dan juga Zul. Lalu, beralih ke Haidar yang menggaruk tengkuknya. "Jadi, kamu sudah datang sejak tadi?" tanyaku. Pria itu mengangguk kikuk."Aku menyusulmu, begitu bang Aldi
Aku menelan saliva kasar. Disini, akulah yang menjadi pusat perhatian. Kuperhatikan mereka satu persatu. Niswah yang meremat jemarinya, dan Della yang menahan napasnya. Kelihatan sekali dari raut wajahnya. Dan terakhir, Jansen yang tersenyum lebar. Aku tersenyum, mengambil kotak itu dan menyerahkan pada Jansen."Jansen, tolong pakaikan ke om Haidar.""Siap, Aunty!"Keputusan yang membuat mereka bingung. Aku tersenyum. Memperhatikan Jansen yang tengah memasang cincin itu di jari kelingking Haidar. Terkekeh geli karena cincin itu nyangkut di bagian atas saja."Udah. Selesai," lapor Jansen. Aku mengacungkan jempol."A-apa ini maksudnya aku ditolak?"Dahiku mengerut."Kamu tidak memasang di jarimu, justru menyuruh Jansen memakaikan di jariku, apa itu berarti aku ditolak?"Aku tersenyum, menggeleng. Mengeluarkan kotak yang diam-diam aku ambil sebelum aku keluar dari kamar tadi. Beralih menyerahkan pada Niswah."Nis, tolong pasangkan ke jari jempol