Aku menelan saliva kasar. Disini, akulah yang menjadi pusat perhatian. Kuperhatikan mereka satu persatu. Niswah yang meremat jemarinya, dan Della yang menahan napasnya. Kelihatan sekali dari raut wajahnya. Dan terakhir, Jansen yang tersenyum lebar. Aku tersenyum, mengambil kotak itu dan menyerahkan pada Jansen."Jansen, tolong pakaikan ke om Haidar.""Siap, Aunty!"Keputusan yang membuat mereka bingung. Aku tersenyum. Memperhatikan Jansen yang tengah memasang cincin itu di jari kelingking Haidar. Terkekeh geli karena cincin itu nyangkut di bagian atas saja."Udah. Selesai," lapor Jansen. Aku mengacungkan jempol."A-apa ini maksudnya aku ditolak?"Dahiku mengerut."Kamu tidak memasang di jarimu, justru menyuruh Jansen memakaikan di jariku, apa itu berarti aku ditolak?"Aku tersenyum, menggeleng. Mengeluarkan kotak yang diam-diam aku ambil sebelum aku keluar dari kamar tadi. Beralih menyerahkan pada Niswah."Nis, tolong pasangkan ke jari jempol
Season 2.Memandang wajahnya di cermin, Dinda menghembuskan napas pelan. Jantungnya dag dig dug. Hari itu tiba juga. Hari dimana dia dan Haidar akan mengikat secara resmi. Senyum terpatri di bibirnya. Bahagia? Pastinya. Tapi ya begitu, jantungnya serasa tak terkontrol. Ac menyala lebih dingin dari biasanya supaya dirinya tidak mudah keringatan. Tapi tetap saja, keringat dingin menyelai make upnya. Sendirian, di kamarnya ini dia hanya sendirian. Dina sedang keluar, juga Mua profesional yang disewanya, sedang menyantap sarapan. Lagi-lagi helaan napas keluar dari indra penciumannya. Meremat jemarinya sesekali menggerak-gerakkannya. Padahal ini kedua kalinya, tapi kenapa rasanya masih grogi? Bahkan lebih daripada saat dirinya bersama Angga. Apa karena bersama Haidar tanpa melewati proses pacaran, jadi dia merasa gugup? Entahlah. Dia saja tidak tahu jawabannya."Cantik banget kakak iparku. Pantes aja mas Haidar klepek-klepek." Niswah datang dengan senyum lebar
Menunggui Haidar selesai mandi, Dinda bermain ponselnya. Sebenarnya bukan disitu fokusnya. Dia tengah bingung. Haruskah dia memakai pakaian haram seperti saat malam pertamanya dengan Aldi? Tapi, dia malu. Entah kenapa. Padahal Haidar sudah resmi menjadi suaminya. Lamunannya buyar saat sebuah pesan masuk ke ponselnya."Selamat berjuang malam pertamaku, sayangku. Dandan yang seksi ya, supaya Haidar klepek-klepek. Haha. Sukses!""Gue tunggu ceritanya, besok."Sialan, Della. Hanya dengan membaca pesaannya saja membuat pikirannya travelling. Haish! Apaan sih! Memukuli kepalanya demi membuang pikiran kotornya."Ada apa? Kenapa memukuli kepala? Apa ada yang sakit?" Sontak Dinda terkejut. Reflek menoleh ke sumber suara. Haidar sudah selesai mandi. Sedang mengusak rambut basahnya. Dia hanya mengenakan kaos pendek dan celana sepaha. Membuat tubuh tinggi menjulangnya semakin terlihat semakin tinggi. Dinda menelan salivanya kasar. Astaga! Ini gara-gara Della, dia
Tiga hari mereka menginap di hotel. Dan hari ini keduanya memutuskan pulang. Bukan ke rumah orang tua Haidar, atau rumah lamanya, melainkan rumah Dinda. Memang terkesan gimana gitu, tapi, rumah itu penuh kenangan untuk Dinda, sekaligus rumah peninggalan orang tuanya. Dan, wanita cenderung lebih nyaman jika bertempat tinggal di rumah masa kecilnya. Itulah kenapa para istri lebih suka ikut ibu kandung daripada bersama mertua. Dan Haidar menyetujui, yang penting Sama-sama nyaman.Hari ini juga, hari pertama dia berangkat ke kantor setelah mengambil libur tiga hari. Wajah sumringah setiap kali mendapat sapaan dan ucapan selamat dari karyawan. Haidar memang terkenal ramah dengan karyawannya. Minus dengan Angga dahulu, itu memang sengaja. Dia bersikap seolah menjadi atasan yang cuek dan tidak peduli pada bawahan."Selamat atas pernikahan anda, Pak."Haidar menyambut uluran tangan itu. Tersenyum lebar."Ah, kemarin kan sudah mengucapkan, Mas." "Sekali lagi, s
"Eoh, kau sudah pulang?"Sebuah tangan melingkar di perutnya dan juga dahu yang tertumpu di pundaknya mengalihkan perhatian wanita itu dari rutinitas memasaknya."Hmm, aku sudah pulang."Hembusan napas menerpa tengkuknya, Dinda tersenyum. Menoleh dan mendapati wajah pria yang berstatus suaminya itu tengah memejamkan mata."Maaf, aku belum selesai memasak. Seharusnya aku menyambutmu dengan keadaan rapi.""Tak apa. Tak perlu memaksakan diri. Begini saja sudah cukup.""Ah, tapi kan tetap saja---""Tidak perlu bertindak seperti orang-orang di sinetron atau apalah. Cukup lakukan apapun itu, selama rasa bahagia itu masih bisa kita rasakan."Duh, sejak kapan Haidar pandai berkata-kata? Pria ini berubah lebih romantis, berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan waktu itu, yang cenderung menyebalkan. Diam-diam Dinda mengulum senyum. Perasaannya menghangat."Kalau begitu, tunggulah disana. Aku selesaikan memasaknya, nanti baru aku s
"Goblok. Dia dosen dodol!"Alis Niswah berkerut otomatis. Tunggu! Dosen katanya?"Dosen? Sejak kapan?""Ish! Makanya, sesekali pantengin berita dong. Gak oppa-oppa mulu yang lo stalkingin."Niswah menggendikan bahu."Dosen juga bodo amat deh. Lagian kampus luas bro. Banyak fakultas, jurusan. Belum tentu juga dia ngajar di jurusan kita. Pun, meskipun di jurusan kita, belum tentu juga dia ngajar di kelas kita. Tenang aja. Mahasiswa itu ada ribuan, dan gue mah cuma sebongkah semut, jadi mana mungkin ketemu? Haha. Kalaupun dia nyariin gue, berati dia tertarik dong sama gue. Ya enggak?" Mengerdipkan sebelah matanya jahil.Astaga! Ya ampun. Syifa menepuk dahinya saking gak habis pikir dengan pemikiran santai sahabatnya ini."Udahlah. Seterah lo. Pusing gue lama-lama punya temen koplak kayak lo." Niswah tertawa, merangkul bahu Syifa yang notabene lebih tinggi beberapa senti darinya."Makanya, gak usah dipikirin, biar gak ketularan. Haha."Mere
Harusnya pagi ini Niswah membantu memasak. Tapi gara-gara pemandangan di dapur, membuatnya urung. Apalagi kalau bukan karena kemesraan pasutri itu. Niswah tak tega menjadikan dirinya obat nyamuk. Jadilah dirinya memilih di kamar saja. Berpura belum bangun. Padahal aslinya dia bermain ponsel. Barulah, saat pintunya diketuk dari luar, Niswah baru beranjak, bergegas membukanya."Kirain masih tidur, Nis."Gadis itu nyengir."Udah, Mbak. Tapi mainan hape. Hehe.""Ya udah kalau begitu, mandilah lalu sarapan bareng. Ada jadwal kuliah kan?"Niswah mengangguk. "Ya udah, mbak balik kamar dulu.""Ngapain, Mbak? Mau mandiin mas Haidar ya?"Sebuah pukulan mendarat di lengan Niswah, sekaligus pelototan. Tapi yang kena gaplok malah cengengesan. Mengangkat jari telunjuk dan tengahnya."Peace, Mbak. Damai."Dinda menggelengkan kepala. Bisa-bisanya kakak adik tapi beda masa jenis begini. Setelah kakak iparnya pergi, Niswah menutup pintunya kemba
"Kenapa? Anda tidak terima?" Santai sekali wajahnya. "Anda bisa keluar jika tidak mau belajar dengan saya," tambahnya. Niswah terduduk, lemas. Astaga... Kenapa nasibnya sial. Dari sekian banyak jurusan, dan banyaknya kelas, kenapa pria ini berakhir nyasar di kelasnya?"Dan sebagai hukumannya, silakan anda presentasi sendiri, tanpa bantuan teman anda. Saudari Syifa, silakan."Tanpa berkata, Niswah mengambil bukunya dan pindah ke belakang."Tunggu, anda mau kemana?""Lah, kan bapak nyuruh dia yang presentasi sendirian," tukasnya."Iya, pak. Sa-saya yang Syifa, dia namanya Niswah.""Iya, Pak. Namanya Niswah," seru temannya yang lain."Oh, begitu. Kalau begitu, saya salah orang. Silakan saudari Niswah."Niswah mengumpat dalam hati. Sial sekali nasibnya hari ini. Berbalik dan maju ke depan. Mana materinya sama sekali belum dia baca. Ish...Niswah misuh-misuh. Selain di suruh presentasi sendiri, dia juga mendapat cemoohan. Makalahnya mema