"Eoh, kau sudah pulang?"
Sebuah tangan melingkar di perutnya dan juga dahu yang tertumpu di pundaknya mengalihkan perhatian wanita itu dari rutinitas memasaknya."Hmm, aku sudah pulang."Hembusan napas menerpa tengkuknya, Dinda tersenyum. Menoleh dan mendapati wajah pria yang berstatus suaminya itu tengah memejamkan mata."Maaf, aku belum selesai memasak. Seharusnya aku menyambutmu dengan keadaan rapi.""Tak apa. Tak perlu memaksakan diri. Begini saja sudah cukup.""Ah, tapi kan tetap saja---""Tidak perlu bertindak seperti orang-orang di sinetron atau apalah. Cukup lakukan apapun itu, selama rasa bahagia itu masih bisa kita rasakan."Duh, sejak kapan Haidar pandai berkata-kata? Pria ini berubah lebih romantis, berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan waktu itu, yang cenderung menyebalkan. Diam-diam Dinda mengulum senyum. Perasaannya menghangat."Kalau begitu, tunggulah disana. Aku selesaikan memasaknya, nanti baru aku s"Goblok. Dia dosen dodol!"Alis Niswah berkerut otomatis. Tunggu! Dosen katanya?"Dosen? Sejak kapan?""Ish! Makanya, sesekali pantengin berita dong. Gak oppa-oppa mulu yang lo stalkingin."Niswah menggendikan bahu."Dosen juga bodo amat deh. Lagian kampus luas bro. Banyak fakultas, jurusan. Belum tentu juga dia ngajar di jurusan kita. Pun, meskipun di jurusan kita, belum tentu juga dia ngajar di kelas kita. Tenang aja. Mahasiswa itu ada ribuan, dan gue mah cuma sebongkah semut, jadi mana mungkin ketemu? Haha. Kalaupun dia nyariin gue, berati dia tertarik dong sama gue. Ya enggak?" Mengerdipkan sebelah matanya jahil.Astaga! Ya ampun. Syifa menepuk dahinya saking gak habis pikir dengan pemikiran santai sahabatnya ini."Udahlah. Seterah lo. Pusing gue lama-lama punya temen koplak kayak lo." Niswah tertawa, merangkul bahu Syifa yang notabene lebih tinggi beberapa senti darinya."Makanya, gak usah dipikirin, biar gak ketularan. Haha."Mere
Harusnya pagi ini Niswah membantu memasak. Tapi gara-gara pemandangan di dapur, membuatnya urung. Apalagi kalau bukan karena kemesraan pasutri itu. Niswah tak tega menjadikan dirinya obat nyamuk. Jadilah dirinya memilih di kamar saja. Berpura belum bangun. Padahal aslinya dia bermain ponsel. Barulah, saat pintunya diketuk dari luar, Niswah baru beranjak, bergegas membukanya."Kirain masih tidur, Nis."Gadis itu nyengir."Udah, Mbak. Tapi mainan hape. Hehe.""Ya udah kalau begitu, mandilah lalu sarapan bareng. Ada jadwal kuliah kan?"Niswah mengangguk. "Ya udah, mbak balik kamar dulu.""Ngapain, Mbak? Mau mandiin mas Haidar ya?"Sebuah pukulan mendarat di lengan Niswah, sekaligus pelototan. Tapi yang kena gaplok malah cengengesan. Mengangkat jari telunjuk dan tengahnya."Peace, Mbak. Damai."Dinda menggelengkan kepala. Bisa-bisanya kakak adik tapi beda masa jenis begini. Setelah kakak iparnya pergi, Niswah menutup pintunya kemba
"Kenapa? Anda tidak terima?" Santai sekali wajahnya. "Anda bisa keluar jika tidak mau belajar dengan saya," tambahnya. Niswah terduduk, lemas. Astaga... Kenapa nasibnya sial. Dari sekian banyak jurusan, dan banyaknya kelas, kenapa pria ini berakhir nyasar di kelasnya?"Dan sebagai hukumannya, silakan anda presentasi sendiri, tanpa bantuan teman anda. Saudari Syifa, silakan."Tanpa berkata, Niswah mengambil bukunya dan pindah ke belakang."Tunggu, anda mau kemana?""Lah, kan bapak nyuruh dia yang presentasi sendirian," tukasnya."Iya, pak. Sa-saya yang Syifa, dia namanya Niswah.""Iya, Pak. Namanya Niswah," seru temannya yang lain."Oh, begitu. Kalau begitu, saya salah orang. Silakan saudari Niswah."Niswah mengumpat dalam hati. Sial sekali nasibnya hari ini. Berbalik dan maju ke depan. Mana materinya sama sekali belum dia baca. Ish...Niswah misuh-misuh. Selain di suruh presentasi sendiri, dia juga mendapat cemoohan. Makalahnya mema
Dinda sudah mengirim pesan pada Niswah, tapi gadis itu belum membalasnya. Malam makin larut. Haidar bahkan sudah tidur sejak tadi. Sepertinya dia benar-benar kelelahan. Dinda meletakkan ponselnya di nakas. Mengalih pandang pada pria yang tertidur di pangkuannya. Menatap dalam wajah yang menampilkan gurat lelah namun tenang dalam tidurnya itu. Deru napasnya pelan dan teratur. Haidar memang cenderung anteng tidurnya. Bahkan saat kebanyakan kaum pria ngorok, Haidar tidak. Dia benar-benar tenang seperti karakternya.Menyeka beberapa helai anak rambut yang menutupi dahi pria tampan itu, Dinda tersenyum. Sungguh, dia bersyukur dengan pernikahan ini. Perhatian, dan kasih sayang yang tak henti tercurah dari pria ini. Memang, akhir-akhir ini Haidar lebih sibuk. Tapi, dia paham. Pekerjaan kantor bukan perkara mainan. Meski berstatus pimpinan, tetap saja bertanggung jawab atas kinerja perusahaan. Tidak semudah itu mengambil cuti izin."Maaf, aku merepotkanmu, suamiku. Aku men
"Kucel amat muka ayang."Niswah melempar lirikan jijiknya. Sementara Syifa terbahak. Merangkul bahu gadis yang beberapa senti lebih pendek darinya itu."Ada apa? Ada masalah, hmm?"Gadis itu mendengkus kasar. Moodnya buruk pagi ini."Gue males masuk kelas," tukasnya singkat. Sontak netra Syifa melotot."Woy! Jangan macam-macam. Bentar lagi UAS. Aneh-aneh aja lo.""Emang kalau Uas kenapa? Tinggal ngerjain, beres 'kan?""Ya gak semudah itu bambang. Absensi minimal tiga kali alpa. Lah, elu... Udah dua kali gak masuk mata kuliah ini. Enggak! Enggak! Gak ada bolos-bolosan lagi. Mulai hari ini gue bakal maksa lo buat masuk." berkata begitu, Syifa menarik gadis itu menuju kelas. Mulutnya mengomel, hingga menimbulkan pandangan beberapa mahasiswa yang kebetulan berpapasan jalan.Namun, netra Niswah kebetulan sekali menangkap sosok di lantai tiga di gedung seberang sana. Gerahamnya mengatup kuat. Niswah yakin, pemuda itulah yang menjadi suruhan papany
Sebuah taman kanak-kanak. Selintas, Niswah mengernyitkan dahi. Untuk apa Arjun ke tempat berisi anak-anak kecil ini. Namun atas dasar rasa penasaran, dia akhirnya mengikuti pria itu. Memarkirkan mobilnya agak jauh dari keberadaan pria itu. Mengendap-endap mengikuti langkah tegap pria di depannya."Oopss!" Menutup mulutnya saat mendapati Arjun menemui seorang wanita."Ah, kau datang juga.""Pastinya. Bagaimana? Apa ada yang mengganggu?"Niswah merapatkan telinganya di balik tonjolan tembok. "Tidak. Hanya saja, dia masih murung."Helaan napas dari pria itu terdengar."Mereka ngomongin apaan sih? Dia, dia siapa?" gumam Niswah."Masih di permasalahan yang sama?""Hem. Sebaiknya kamu turuti dia, Ar. Apa kamu gak kasihan sama dia? Dia masih kecil. Tentu mentalnya tak sekuat orang dewasa lainnya. Ditambah lingkungan anak-anak yang cenderung dipenuhi kasih sayang orang tua."Kontan, Niswah menutup mulutnya. Astaga! Apa jangan-jangan mereka
Jam delapan, mobil Haidar nampak. Niswah sudah bersiap dengan koper mini disampingnya. Bibi yang tahu dirinya akan pergi heboh sendiri, menyiapkan bekal ini itu dari makanan berat hingga cemilan ringan. Niswah menolak sampai tak tega.Haidar tertawa kecil menyapa gadis kecil yang telah tumbuh dewasa itu. Mengusak jilbab yang dikenakan Niswah."Iih, udah dirapiin malah dirusak lagi," sungutnya. Haidar tertawa."Mbak Dinda mana?" tanya Niswah saat tak mendapati kakak iparnya tersebut."Mas tinggal.""What! Tega sekali anda.""Lagi belanja sesuatu di minimarket depan. Udah? Lengkap bawaannya?"Niswah mengangguk. Haidar mengangkat koper mini tersebut."Jemput Syifa dulu.""Pastinya dong."Pria itu melajukan mobilnya lagi, begitu siap. Niswah menatap kakaknya dari belakang. Padahal dia sudah menyiapkan jawaban andai Haidar menanyakan keberadaan papa mama mereka yang tak nampak tadi. Tapi rupanya, Haidar lupa, atau sengaja tak peduli (?)
Pukul dua sore hari, Haidar mengajak mereka makan siang bersama. Melalui interkom resort, informasi itu disebar. Niswah yang tidur dibangunkan oleh Syifa yang entah sejak kapan gadis itu kembali. Niswah sampai gelagapan karena belum sholat dhuhur. Keduanya berjalan ke restoran resort tanpa banyak bicara. Tentu Niswah heran, tak biasanya Syifa sependiam ini. Padahal dia tadi sudah bersiap memberikan jawaban sekiranya Syifa mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan."Nah, mereka sudah datang."Niswah dan Syifa mengambil tempat duduk. Memesan makanan seperti yang lain. Melihat Syifa yang masih mendiamkannya, Niswah mencolek lengan gadis disampingnya itu. Berbisik."Lo marah sama gue?"Syifa memandangnya sejenak, lalu menggeleng."Terus, ngapain lo diemin gue?" masih dalam acara bisik berbisik."Gak papa. Gue masih syok gara-gara lihat pak Arjun sama anaknya."Mulut Niswah membentuk O otomatis. Dia pikir Syifa marah padanya. Ternyata karena syok
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z