Jam delapan, mobil Haidar nampak. Niswah sudah bersiap dengan koper mini disampingnya. Bibi yang tahu dirinya akan pergi heboh sendiri, menyiapkan bekal ini itu dari makanan berat hingga cemilan ringan. Niswah menolak sampai tak tega.
Haidar tertawa kecil menyapa gadis kecil yang telah tumbuh dewasa itu. Mengusak jilbab yang dikenakan Niswah."Iih, udah dirapiin malah dirusak lagi," sungutnya. Haidar tertawa."Mbak Dinda mana?" tanya Niswah saat tak mendapati kakak iparnya tersebut."Mas tinggal.""What! Tega sekali anda.""Lagi belanja sesuatu di minimarket depan. Udah? Lengkap bawaannya?"Niswah mengangguk. Haidar mengangkat koper mini tersebut."Jemput Syifa dulu.""Pastinya dong."Pria itu melajukan mobilnya lagi, begitu siap. Niswah menatap kakaknya dari belakang. Padahal dia sudah menyiapkan jawaban andai Haidar menanyakan keberadaan papa mama mereka yang tak nampak tadi. Tapi rupanya, Haidar lupa, atau sengaja tak peduli (?)Pukul dua sore hari, Haidar mengajak mereka makan siang bersama. Melalui interkom resort, informasi itu disebar. Niswah yang tidur dibangunkan oleh Syifa yang entah sejak kapan gadis itu kembali. Niswah sampai gelagapan karena belum sholat dhuhur. Keduanya berjalan ke restoran resort tanpa banyak bicara. Tentu Niswah heran, tak biasanya Syifa sependiam ini. Padahal dia tadi sudah bersiap memberikan jawaban sekiranya Syifa mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan."Nah, mereka sudah datang."Niswah dan Syifa mengambil tempat duduk. Memesan makanan seperti yang lain. Melihat Syifa yang masih mendiamkannya, Niswah mencolek lengan gadis disampingnya itu. Berbisik."Lo marah sama gue?"Syifa memandangnya sejenak, lalu menggeleng."Terus, ngapain lo diemin gue?" masih dalam acara bisik berbisik."Gak papa. Gue masih syok gara-gara lihat pak Arjun sama anaknya."Mulut Niswah membentuk O otomatis. Dia pikir Syifa marah padanya. Ternyata karena syok
"Deka, sudah selesai?"Niswah terjingkat, menoleh kaget. dibelakangnya ada Arjun. Dosen itu meliriknya selintas dan kembali mengarah pandang pada putranya tersebut. "Belum, Pa. Masih nungguin.""P-pak Arjun su-sudah lama disini?""Belum, kenapa memang?"Niswah mengelus dadanya, lega. Syukurlah. Semoga saja dosen itu tidak mendengar ucapan Deka tadi. Sangat.... Sangat memalukan."Oh. Eng... Enggak papa sih," sahutnya meringis tipis. Suasana berubah canggung. Dalam hati Niswah merutuk. Untuk apa juga Arjun menyusul mereka. Ini lagi, si penjual lama sekali menyiapkan pesanan mereka."Vanila cream, sama chocolate chip," seru sang penjual mengedarkan pandangan ke kursi pelanggan."Saya!" Reflek Niswah mengangkat tangannya dan terburu menghampiri penjual yang memanggil tadi. Lalu menyerahkan sebuah untuk Deka. Dia sendiri menyukai coklat. Coklat adalah pesanannya."Ayo," ajak Arjun begitu mereka mendapat pesanannya."Ha? Kemana?""Mereka sudah
"Aah. Capek!"Niswah langsung merebahkan dirinya di ranjang. Merenggangkan kedua tangannya."Woy! Mandi dulu, bau keringat.""Ntar. Lo dulu aja deh.""Gila, sehari udah main air dua kali kita. Haha."Niswah tersenyum."Sebentar lagi sunset," gumamnya."Yups. Ntar lihat dari atap aja yuk."Gadis itu memiringkan badannya."Emang boleh?""Lah, siapa juga yang ngelarang. Kita disini bayar uy!""Haha. Dasar." Kembali merubah posisinya, telentang. Syifa sendiri bersiap mandi.Senyum lebar terukir di bibir gadis itu. Jika siang tadi, suasana hatinya kacau karena kedatangan Arjun, tapi beda dengan kali ini. Arjun yang dia lihat tadi berbeda dari biasanya. Aura lembut dan kebapakan membuatnya terlihat bersinar. Terbesit kagum dalam dirinya. Wajar saja, selama ini dirinya tak pernah mendapati kasih sayang tulus orang tua. Melihat betapa lembutnya perlakuan Arjun pada Deka, membuat hatinya ikut gerimis. Dia bahkan tadi ikut andil dalam kelua
"Aku tidak tahu kalau kamu kenal dekat dengan pria tadi."Haidar tengah berbaring di paha istrinya, sementara Dinda mengusap lembut surai pendek suaminya itu."Kalau aku tunjukkan seberapa banyak teman-temanku, kamu pasti terkejut," sahutnya tersenyum."Kalau dulu, mungkin aku tidak percaya. Tapi, sekarang aku percaya.""Kenapa begitu?" Haidar merubah posisi, memiringkan kepalanya untuk memudahkan melihat wajah istrinya."Iya. Soalnya kamu yang ku kenal dulu cuek, sama sekali tidak ada ramah-ramahnya.""Benarkah?""He'em. Bahkan sempet juga sih kesel sama kamu."Haidar tertawa kecil."Tapi sekarang sayang 'kan?" Menaik turunkan alisnya."Bukan hanya sekedar sayang. Tapi sayang banget."Pria itu kembali tertawa."Jujur sekali istriku ini. Tapi teruskan, aku suka kejujuranmu.""Pastinya dong."Haidar meraih jemari Dinda, mengusapnya lembut dan sesekali menghadiahi kecupan di punggung tangan wanitanya."Aku memang tidak terbia
"Kamu kapan sih nikahi aku?"Dalam perjalanan pulang, Della protes. Bukan karena kesal diledekin Dinda, tapi memang dia sudah tidak tahan terlalu lama dalam hubungan yang hanya sekedar pacaran. Mereka sudah dewasa, sudah cukup umur. Bahkan Dinda yang seusianya saja sudah menikah dua kali. Terang saja Della mulai was-was, takut kalau Zul tak serius padanya."Hmm? Apa?"Della mendecak kesal. Padahal memang musik di mobil memang menyala, dan mungkin itu yang membuat Zul tak mendengar pertanyaan Della tadi. Hati yang kesal membuat segalanya berubah menyebalkan."Tauklah. Aku kesel sama kamu." Memalingkan wajah sembari melipat tangannya di depan dada. Zul menggaruk kepalanya, bingung."Kamu kesal karena aku gak ikut kemarin?"Della tak menjawab. Masih mengabaikannya."Ah, sory, Yang. Sory banget. Aku sebenarnya pengen ikut. Tapi, direksi sedang kacau. Ada kasus yang membuat kami lebih sering lemburnya. Maaf ya?"Merasa tetap tak mendapat tanggapa
Kepalanya terasa untuk membuka mata. Pening memaksanya mengernyitkan dahi. Beginilah akibat kalau terlalu lama menangis.Tunggu! Apa tadi?! Menangis? Della tersentak dari tidurnya. Menyadari dia sudah berada di apartemennya. Masih memakai pakaian yang tadi malam dia kenakan. Aih! Berarti tadi malam Zul yang membawanya pulang? Lalu, apakah pria itu kini sudah pulang? Melihat jam kecil di nakasnya menunjukkan pukul enam pagi. Dia terlambat bangun. Kombinasi dari kelelahan perjalanan jauh, ditambah suasana hatinya yang kurang baik membuatnya kesiangan. Della memakai sandal dan menuju kamar mandi. Bukan untuk mandi, tapi mencuci wajah sekaligus berwudhu.Setelah rutinitasnya tersebut, barulah Della keluar dari kamar. Hendak ke dapur untuk membuat sarapan. "Alamak!" Terperanjat mendapati sosok yang tengah tertidur di sofa ruang tengah. Posisinya meringkuk seperti kedinginan. Dengan langkah pelan, Della menghampiri pria itu. Memandang lekat wajah deng
Jeda matkul kedua ada sekitar dua jam-an, mereka berdua manfaatkan untuk ke perpustakaan. Makalah yang lalu belum selesai. Alasan pertama, Niswah terlalu kesal untuk mengerjakannya. Dan yang kedua, dia tinggal liburan. Ternyata liburan memberi efek yang bagus untuk semangatnya. Buktinya, sekarang dia yang mengajak Syifa terlebih dahulu. Pun, gadis itu begitu serius mengerjakan makalahnya. Syifa sampai terbengong melihatnya. Kesambet demit apa coba, tiba-tiba jadi serajin ini."Ah! Tinggal materi tentang dampaknya yang belum ada.""Biar gue cariin bukunya.""Gak usah. Gue cari aja. Jagain laptop gue ya," tersenyum manis sampai Syifa terpana sendiri. Benar-benar, Niswah pasti kesambet demit.Deretan rak buku di perpustakaan awalnya adalah musuh bebuyutan Niswah. Terutama, tidak dia temukan novel diantara ribuan buku tersebut. Selalu dan selalu hanya buku pelajaran atau ensiklopedia yang super tebal. Berbanding terbanding terbalik dengan hari ini, gadis itu ri
Suara Arjun terdengar jelas dari volume yang sengaja Deka perbesar. Niswah dan Syifa langsung mengarahkan pandangan ke Deka, was-was. Terutama Niswah, menelan salivanya kasar. Matilah dia kalau sampek pak Arjun kesini. Bocah itu masih memegang ponsel yang ukurannya saja lebih besar daripada tangannya."Deka... Ikut tante Niswah, Pa." Matanya mengerjap polos."Tan... te? Niswah?! K-kok bisa sama tante Niswah?"Astaga... Seseorang tolong timpuk wajah Niswah supaya tidak dikenali lagi. Sekelas tambah hening, pasang telinga. Saling pandang dan menggendikkan bahu. Terang saja mereka tidak asing dengan suara itu. Hanya saja, mereka butuh meyakinkan pendengaran. Makanya saling pandang bertanya, meski gak guna."Iya, tadi Papa marah sih. Makanya Deka main. Eh, ketemu sama tante Niswah.""Lalu, sekarang dimana?""Gak tahu. Dikelas. Tapi gak tahu dimana.""Coba, tanya sama tante."Deka mengangguk. Mendongak pada gadis yang menutupi wajahnya denga