Harusnya pagi ini Niswah membantu memasak. Tapi gara-gara pemandangan di dapur, membuatnya urung. Apalagi kalau bukan karena kemesraan pasutri itu. Niswah tak tega menjadikan dirinya obat nyamuk. Jadilah dirinya memilih di kamar saja. Berpura belum bangun. Padahal aslinya dia bermain ponsel. Barulah, saat pintunya diketuk dari luar, Niswah baru beranjak, bergegas membukanya.
"Kirain masih tidur, Nis."Gadis itu nyengir."Udah, Mbak. Tapi mainan hape. Hehe.""Ya udah kalau begitu, mandilah lalu sarapan bareng. Ada jadwal kuliah kan?"Niswah mengangguk."Ya udah, mbak balik kamar dulu.""Ngapain, Mbak? Mau mandiin mas Haidar ya?"Sebuah pukulan mendarat di lengan Niswah, sekaligus pelototan. Tapi yang kena gaplok malah cengengesan. Mengangkat jari telunjuk dan tengahnya."Peace, Mbak. Damai."Dinda menggelengkan kepala. Bisa-bisanya kakak adik tapi beda masa jenis begini.Setelah kakak iparnya pergi, Niswah menutup pintunya kemba"Kenapa? Anda tidak terima?" Santai sekali wajahnya. "Anda bisa keluar jika tidak mau belajar dengan saya," tambahnya. Niswah terduduk, lemas. Astaga... Kenapa nasibnya sial. Dari sekian banyak jurusan, dan banyaknya kelas, kenapa pria ini berakhir nyasar di kelasnya?"Dan sebagai hukumannya, silakan anda presentasi sendiri, tanpa bantuan teman anda. Saudari Syifa, silakan."Tanpa berkata, Niswah mengambil bukunya dan pindah ke belakang."Tunggu, anda mau kemana?""Lah, kan bapak nyuruh dia yang presentasi sendirian," tukasnya."Iya, pak. Sa-saya yang Syifa, dia namanya Niswah.""Iya, Pak. Namanya Niswah," seru temannya yang lain."Oh, begitu. Kalau begitu, saya salah orang. Silakan saudari Niswah."Niswah mengumpat dalam hati. Sial sekali nasibnya hari ini. Berbalik dan maju ke depan. Mana materinya sama sekali belum dia baca. Ish...Niswah misuh-misuh. Selain di suruh presentasi sendiri, dia juga mendapat cemoohan. Makalahnya mema
Dinda sudah mengirim pesan pada Niswah, tapi gadis itu belum membalasnya. Malam makin larut. Haidar bahkan sudah tidur sejak tadi. Sepertinya dia benar-benar kelelahan. Dinda meletakkan ponselnya di nakas. Mengalih pandang pada pria yang tertidur di pangkuannya. Menatap dalam wajah yang menampilkan gurat lelah namun tenang dalam tidurnya itu. Deru napasnya pelan dan teratur. Haidar memang cenderung anteng tidurnya. Bahkan saat kebanyakan kaum pria ngorok, Haidar tidak. Dia benar-benar tenang seperti karakternya.Menyeka beberapa helai anak rambut yang menutupi dahi pria tampan itu, Dinda tersenyum. Sungguh, dia bersyukur dengan pernikahan ini. Perhatian, dan kasih sayang yang tak henti tercurah dari pria ini. Memang, akhir-akhir ini Haidar lebih sibuk. Tapi, dia paham. Pekerjaan kantor bukan perkara mainan. Meski berstatus pimpinan, tetap saja bertanggung jawab atas kinerja perusahaan. Tidak semudah itu mengambil cuti izin."Maaf, aku merepotkanmu, suamiku. Aku men
"Kucel amat muka ayang."Niswah melempar lirikan jijiknya. Sementara Syifa terbahak. Merangkul bahu gadis yang beberapa senti lebih pendek darinya itu."Ada apa? Ada masalah, hmm?"Gadis itu mendengkus kasar. Moodnya buruk pagi ini."Gue males masuk kelas," tukasnya singkat. Sontak netra Syifa melotot."Woy! Jangan macam-macam. Bentar lagi UAS. Aneh-aneh aja lo.""Emang kalau Uas kenapa? Tinggal ngerjain, beres 'kan?""Ya gak semudah itu bambang. Absensi minimal tiga kali alpa. Lah, elu... Udah dua kali gak masuk mata kuliah ini. Enggak! Enggak! Gak ada bolos-bolosan lagi. Mulai hari ini gue bakal maksa lo buat masuk." berkata begitu, Syifa menarik gadis itu menuju kelas. Mulutnya mengomel, hingga menimbulkan pandangan beberapa mahasiswa yang kebetulan berpapasan jalan.Namun, netra Niswah kebetulan sekali menangkap sosok di lantai tiga di gedung seberang sana. Gerahamnya mengatup kuat. Niswah yakin, pemuda itulah yang menjadi suruhan papany
Sebuah taman kanak-kanak. Selintas, Niswah mengernyitkan dahi. Untuk apa Arjun ke tempat berisi anak-anak kecil ini. Namun atas dasar rasa penasaran, dia akhirnya mengikuti pria itu. Memarkirkan mobilnya agak jauh dari keberadaan pria itu. Mengendap-endap mengikuti langkah tegap pria di depannya."Oopss!" Menutup mulutnya saat mendapati Arjun menemui seorang wanita."Ah, kau datang juga.""Pastinya. Bagaimana? Apa ada yang mengganggu?"Niswah merapatkan telinganya di balik tonjolan tembok. "Tidak. Hanya saja, dia masih murung."Helaan napas dari pria itu terdengar."Mereka ngomongin apaan sih? Dia, dia siapa?" gumam Niswah."Masih di permasalahan yang sama?""Hem. Sebaiknya kamu turuti dia, Ar. Apa kamu gak kasihan sama dia? Dia masih kecil. Tentu mentalnya tak sekuat orang dewasa lainnya. Ditambah lingkungan anak-anak yang cenderung dipenuhi kasih sayang orang tua."Kontan, Niswah menutup mulutnya. Astaga! Apa jangan-jangan mereka
Jam delapan, mobil Haidar nampak. Niswah sudah bersiap dengan koper mini disampingnya. Bibi yang tahu dirinya akan pergi heboh sendiri, menyiapkan bekal ini itu dari makanan berat hingga cemilan ringan. Niswah menolak sampai tak tega.Haidar tertawa kecil menyapa gadis kecil yang telah tumbuh dewasa itu. Mengusak jilbab yang dikenakan Niswah."Iih, udah dirapiin malah dirusak lagi," sungutnya. Haidar tertawa."Mbak Dinda mana?" tanya Niswah saat tak mendapati kakak iparnya tersebut."Mas tinggal.""What! Tega sekali anda.""Lagi belanja sesuatu di minimarket depan. Udah? Lengkap bawaannya?"Niswah mengangguk. Haidar mengangkat koper mini tersebut."Jemput Syifa dulu.""Pastinya dong."Pria itu melajukan mobilnya lagi, begitu siap. Niswah menatap kakaknya dari belakang. Padahal dia sudah menyiapkan jawaban andai Haidar menanyakan keberadaan papa mama mereka yang tak nampak tadi. Tapi rupanya, Haidar lupa, atau sengaja tak peduli (?)
Pukul dua sore hari, Haidar mengajak mereka makan siang bersama. Melalui interkom resort, informasi itu disebar. Niswah yang tidur dibangunkan oleh Syifa yang entah sejak kapan gadis itu kembali. Niswah sampai gelagapan karena belum sholat dhuhur. Keduanya berjalan ke restoran resort tanpa banyak bicara. Tentu Niswah heran, tak biasanya Syifa sependiam ini. Padahal dia tadi sudah bersiap memberikan jawaban sekiranya Syifa mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan."Nah, mereka sudah datang."Niswah dan Syifa mengambil tempat duduk. Memesan makanan seperti yang lain. Melihat Syifa yang masih mendiamkannya, Niswah mencolek lengan gadis disampingnya itu. Berbisik."Lo marah sama gue?"Syifa memandangnya sejenak, lalu menggeleng."Terus, ngapain lo diemin gue?" masih dalam acara bisik berbisik."Gak papa. Gue masih syok gara-gara lihat pak Arjun sama anaknya."Mulut Niswah membentuk O otomatis. Dia pikir Syifa marah padanya. Ternyata karena syok
"Deka, sudah selesai?"Niswah terjingkat, menoleh kaget. dibelakangnya ada Arjun. Dosen itu meliriknya selintas dan kembali mengarah pandang pada putranya tersebut. "Belum, Pa. Masih nungguin.""P-pak Arjun su-sudah lama disini?""Belum, kenapa memang?"Niswah mengelus dadanya, lega. Syukurlah. Semoga saja dosen itu tidak mendengar ucapan Deka tadi. Sangat.... Sangat memalukan."Oh. Eng... Enggak papa sih," sahutnya meringis tipis. Suasana berubah canggung. Dalam hati Niswah merutuk. Untuk apa juga Arjun menyusul mereka. Ini lagi, si penjual lama sekali menyiapkan pesanan mereka."Vanila cream, sama chocolate chip," seru sang penjual mengedarkan pandangan ke kursi pelanggan."Saya!" Reflek Niswah mengangkat tangannya dan terburu menghampiri penjual yang memanggil tadi. Lalu menyerahkan sebuah untuk Deka. Dia sendiri menyukai coklat. Coklat adalah pesanannya."Ayo," ajak Arjun begitu mereka mendapat pesanannya."Ha? Kemana?""Mereka sudah
"Aah. Capek!"Niswah langsung merebahkan dirinya di ranjang. Merenggangkan kedua tangannya."Woy! Mandi dulu, bau keringat.""Ntar. Lo dulu aja deh.""Gila, sehari udah main air dua kali kita. Haha."Niswah tersenyum."Sebentar lagi sunset," gumamnya."Yups. Ntar lihat dari atap aja yuk."Gadis itu memiringkan badannya."Emang boleh?""Lah, siapa juga yang ngelarang. Kita disini bayar uy!""Haha. Dasar." Kembali merubah posisinya, telentang. Syifa sendiri bersiap mandi.Senyum lebar terukir di bibir gadis itu. Jika siang tadi, suasana hatinya kacau karena kedatangan Arjun, tapi beda dengan kali ini. Arjun yang dia lihat tadi berbeda dari biasanya. Aura lembut dan kebapakan membuatnya terlihat bersinar. Terbesit kagum dalam dirinya. Wajar saja, selama ini dirinya tak pernah mendapati kasih sayang tulus orang tua. Melihat betapa lembutnya perlakuan Arjun pada Deka, membuat hatinya ikut gerimis. Dia bahkan tadi ikut andil dalam kelua