Aku yang sedang melihat-lihat aksesoris menoleh. Mendapati Riri yang menatapku mengejek. Dengan kedua tangannya bersidekap di dada, jumawa.
"Ck .... Ck... Kasihan sekali. Udah jatuh miskin Ya? Sampek beli gantungan kunci murahan kayak gitu. Gak kuat beli yang branded? Haha.""Lo kenapa Sih? Ngoceh mulu," sahutku kesal."Ooo... Iya dong. Harus.""Kenapa? Bangga jadi penipu? Berapa orang yang sudah kamu porotin? Mas Angga? Lalu siapa Lagi?"Tawa memekakkan itu terdengar menyebalkan."Sudah aku katakan. Mas Anggamu itu cuma korban kejahatan keluargamu. Kalau saja Angga tidak menikah denganmu, aku pastikan dia baik-baik saja. Sayang sekali, dia harus masuk ke keluarga bejatmu itu."Tanganku mengepal. Ingin segera melayangkan bogem mentah ke wajah menyebalkannya itu."Jaga omongan Lo, ya. Bang Aldi bahkan gak pernah suka sama Lo. Soksok an banget Lo fitnah abang gue. Kalau emang melacur karena masalah keluarga bobrok lo, gak usah deh bawa-bawa abang gue, sSejenak kutatap raut sendunya itu, lalu mengangguk. Tak menunggu lama, tangan kekar itu memeluk tubuhku. Aku diam tanpa reaksi. Hanya yang aku tahu, jantungku tidak lagi berdetak untuknya."Maafkan aku. Aku janji, aku akan hidup baik-baik tanpamu. Dan aku juga janji, setelah ingatanku kembali, akan aku turuti permintaanmu. Meskipun itu menyakitkan ku, karena sebenarnya, aku belum ikhlas dengan perpisahan ini."Kutepuk punggungnya, mas Angga melepas pelukan. Dapat kulihat embun di matanya itu.Hari ini, mas Angga pergi dari rumah. Tak ada permusuhan, tak ada barang pecah ataupun piring terbang. Nyatanya, kami berpisah secara baik-baik. Dan saat bang Aldi pulang, dia bertanya mengenai kepergian mas Angga. Dia pun manggut-manggut demi mendengar penjelasanku.***Semenjak Haidar mengalokasikan dananya ke perusahaan, kini perusahaan mulai stabil. Impactnya memang besar. Ditambah bang Aldi membantu mencarikan investor. Dan kudengar, Zul sudah mendapatkan
Ruangan mulai terlihat jelas. Meski tetap saja tidak seterang di luar. Semalaman aku tidak tidur. Begitu pria itu keluar, aku berusaha keras mencari cara untuk kabur. Tapi, dengan kondisi kaki dan tangan diikat, ditambah posisi yang menyulitkanku, membuatku makin sulit bergerak."Uh! Uh!"Kugeser tubuhku dari posisi ini. Pegal dan kotor sudah tidak kupedulikan. Padahal masih pagi, tapi keringat sudah membasahi pelipisku. Bayangkan saja rasanya bagaimana. Sungguh, tidak nyaman. Aku yang tak terbiasa tanpa sentuhan air mandi, kini justru sama sekali belum menyentuh air dari kemarin. Air mataku berlinang. Membayangkan nasib yang akan menimpaku nanti. Merutuki nasib tidak akan mengubah apapun, aku harus berusaha. Meski kemungkinan sekecil zarrah, tapi tak ada salahnya berusaha lebih dulu. Kulihat di dekat jendela sana, ada bekas retakan dinding yang agak kasar. Entah bisa atau tidak, tapi aku seperti melihat kemungkinan. Tubuhku berguling-guling hingga mencap
Posisi nampan masih sama. Sama sekali aku tidak sudi menyehtuhnya. Membayangkan kejadian tadi saja sudah membuatku ingin muntah. Menjijikkan. Siapa tahu pria tadi menaruh sesuatu di makanan, atau bisa jadi di ludahi terlebih dahulu? Bisa saja kan. Mereka orang jahat. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah, bagaimana nasib orang-orang sekarang. Aku harus bisa menghentikannya. Mereka tidak boleh menyetujui rencana licik Riri. Wanita itu terlalu busuk. Dugaanku jendela ini bisa dijebol. Nyatanya, sama sekali tidak. Ikatanku sudah lepas semua padahal. Dan ternyata, setelah aku lihat dari jendela, bangunan ini mepet lembah. Sialan. Mereka sengaja membawaku ke tempat asing dan mengerikan seperti ini. Tubuhku sudah lemah untuk dapat menghancurkan pintu. Lagi-lagi suara derit pintu membuat adrenalinku naik. Reflek menoleh. Dan kali ini, seringai yang kudapat dari dua manusia busuk itu."Apa kabar istri pertama yang terhormat."Rahangku mengeras. Riri ben
"Bagaimana kamu ada disini, Mas?"Aku menatapnya was-was. Mas Angga membawaku ke sudut area lokasi ini, dekat tembok pagar bagian belakang."Aku membuntuti Riri.""Kamu sudah ingat?" Maksuduku, ingatannya sudah pulihkah? Pria itu mengangguk."Maaf, aku tidak tahu Riri sejahat itu." Kuhela napas panjang. Bekas merah si dahinya makin terlihat meski di pencahayaan yang samar. Aku salah sasaran. Kupikir yang masuk tadi si pria jahat itu."Kok, kamu bisa masuk? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan mereka," tatapku curiga, menjaga jarak seandainya dia bagian dari Riri dan komplotannya."Aku menyamar, Din. Kamu tidak lupa kan? Rumahku di desa. Aku dan ibu memutuskan pulang ke desa. Dan, kebetulan satu-satunya jalan menuju puncak hanyalah jalan yang dilewati desaku. Aku melihat wajah Riri dibalik kaca mobil yang melintas. Dan, aku curiga, memutuskan mengikutinya dengan sepeda motor. Ternyata benar, lokasi yag dituju adalah rumah ini. Rumah puncak bukti ta
Pria itu masih menatapku curiga. Ayolah, tubuhku benar-benar butuh pertolongan. Dan lagi, terbayang nasib mas Angga yang butuh segera pertolongan."Tolong saya, aku mohon..." pintaku memelas."Oke. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan sesuatu."Pasrah saja saat pria itu memfotoku. Mungkin untuk berjaga jika aku berani menipunya. "Ayo."Aku menaiki boncengan. Motor kembali melaju. Selanjutnya, aku pasrah, tubuhku benar-benar lemas.Aku tidak faham jalan ini. Yang aku tahu, sepanjang jalan hanyalah pepohonan yang terlihat. Gelap dan menakutkan. Hanya sorot lampu inilah satu-satunya sumber cahaya. Jika di situasi normal, mungkin aku sudah memilih balik kanan saja. Tapi, ini situasi mendesak. Kurebahkan kepalaku di pundaknya dengan mata terpejam, lemas. Berharap dia tidak berfikiran buruk padaku. Namun, tiba-tiba motor berhenti. Sontak aku membuka mata. Menatap sekitar yang masih hutan gelap."Ke-kenapa berhenti? Kita belum sampai kan?"
Sebuah jurang menganga, dengan lahar panas di bawahnya. Beberapa pria bertudung hitam mencengkram kedua tanganku. Mereka hendak melemparku. Aku menangis berontak. Namun, sama sekali mereka tidak menghiraukannya. Aku belum ingin mati!Tidak! Bukankah tadi Robi yang membawaku? Kenapa aku berpindah tempat disini? Apakah aku berada di alam mimpi? Dan, apakah saat ini dia tengah merusakku? Air mataku mengalir semakin deras. Aku sudah kotor! Aku benci diriku!"Dinda, bangunlah."Suara lembut menyapa indera pendengarku. Tunggu, kenapa suara itu tidak asing? Perlahan kubuka mataku. Samar-samar siluet seseorang berada di sampingku. "Aarrgh! Jangan! Lepaskan aku!"Aku memberontak saat tangan itu menyentuhku. Tidak! Jangan lagi. Tanganku melempar apa saja yang berada di dekatku. Termasuk memaksa mencabut selang yang menancap di tanganku."Dinda... Tolong tenang. Ini aku, Haidar...""Tidak.... Jangan.... Hiks..."Kurasakan pria itu
Seminggu setelah kejadian itu, keadaanku berangsur membaik. Niswah dan Della sering mengunjungiku dan berbagi cerita lucu. Cukup menghibur, meski tetap saja membosankan di rumah sakit.Sehari setelah hari itu, mas Angga siuman. Aku sempat mengunjunginya. Ada ibu mertua juga. Tapi beliau tidak marah karena mas Angga terluka karenaku.Tepat hari ini, aku dibawa pulang. Tubuhku sudah bugar kembali. Kangen rasanya menginjak rumah ini. Dan beberapa hari kemudian, aku menghadiri sidang. Mereka semua mendapat imbalan yang pantas. Robi sempat bersujud meminta maaf. Tapi, trauma itu masih terasa. Sulit sekali menghapus jejak memori yang terlanjur melekat. Memang benar, memberi maaf itu mudah, tapi menerimanya yang sulit. Tetap saja ikhlas itu masih berat.Mereka semua sudah mendapatkan balasan masing-masing. Mr Arav, kabarnya minggu depan akan dieksekusi. Senyum pahitku mendengar kabar itu. Pria yang awalnya aku kira baik, tapi ternyata dia sejahat itu. Ah, sudahla
Aku tersenyum, mengangguk."Iya, Om. Dinda.""Oalah. Jadi Dinda kamu toh yang dimaksud. Yaya... Om paham sekarang. Jadi, tadi keluar bareng?""Iya, Om. Kebetulan sedang libur juga.""Oh, yayaya. Ya sudah, om mau bicara Haidar dulu. Yang santai saja disini. Anggap saja rumah sendiri.""Iya, Om." Mengangguk sopan.Selepas om Andree pergi, Niswah mengajakku ke atas. Tepatnya ke kamarnya. Cantik. Kamar ini tentunya lebih besar dan lebih terawat dari kamarnya dulu. "Mbak udah kenal ya, sama papa?"Aku mengangguk tipis. Memandangi satu persatu gambar poster ganteng di kamar Niswah."Dulu om Andre temannya papa. Tapi lucunya ya, Nis. Bisa-bisanya aku lupa sama Haidar. Haha. Padahal, dia dulu pernah ke rumah juga.""Haha. Masak sih, mbak? Mas Haidar pernah ke rumah embak. Tapi, kok aku belum ya?""Aku kurang tahu, Nis. Gak terlalu ingat zaman dulu," sahutku tersenyum."Mas mu tahu, kamu suka koleksi poster pria-pria ganteng ini?" tolehku lagi