"Bagaimana kamu ada disini, Mas?"
Aku menatapnya was-was. Mas Angga membawaku ke sudut area lokasi ini, dekat tembok pagar bagian belakang."Aku membuntuti Riri.""Kamu sudah ingat?" Maksuduku, ingatannya sudah pulihkah? Pria itu mengangguk."Maaf, aku tidak tahu Riri sejahat itu." Kuhela napas panjang. Bekas merah si dahinya makin terlihat meski di pencahayaan yang samar. Aku salah sasaran. Kupikir yang masuk tadi si pria jahat itu."Kok, kamu bisa masuk? Jangan-jangan kamu bersekongkol dengan mereka," tatapku curiga, menjaga jarak seandainya dia bagian dari Riri dan komplotannya."Aku menyamar, Din. Kamu tidak lupa kan? Rumahku di desa. Aku dan ibu memutuskan pulang ke desa. Dan, kebetulan satu-satunya jalan menuju puncak hanyalah jalan yang dilewati desaku. Aku melihat wajah Riri dibalik kaca mobil yang melintas. Dan, aku curiga, memutuskan mengikutinya dengan sepeda motor. Ternyata benar, lokasi yag dituju adalah rumah ini. Rumah puncak bukti taPria itu masih menatapku curiga. Ayolah, tubuhku benar-benar butuh pertolongan. Dan lagi, terbayang nasib mas Angga yang butuh segera pertolongan."Tolong saya, aku mohon..." pintaku memelas."Oke. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan sesuatu."Pasrah saja saat pria itu memfotoku. Mungkin untuk berjaga jika aku berani menipunya. "Ayo."Aku menaiki boncengan. Motor kembali melaju. Selanjutnya, aku pasrah, tubuhku benar-benar lemas.Aku tidak faham jalan ini. Yang aku tahu, sepanjang jalan hanyalah pepohonan yang terlihat. Gelap dan menakutkan. Hanya sorot lampu inilah satu-satunya sumber cahaya. Jika di situasi normal, mungkin aku sudah memilih balik kanan saja. Tapi, ini situasi mendesak. Kurebahkan kepalaku di pundaknya dengan mata terpejam, lemas. Berharap dia tidak berfikiran buruk padaku. Namun, tiba-tiba motor berhenti. Sontak aku membuka mata. Menatap sekitar yang masih hutan gelap."Ke-kenapa berhenti? Kita belum sampai kan?"
Sebuah jurang menganga, dengan lahar panas di bawahnya. Beberapa pria bertudung hitam mencengkram kedua tanganku. Mereka hendak melemparku. Aku menangis berontak. Namun, sama sekali mereka tidak menghiraukannya. Aku belum ingin mati!Tidak! Bukankah tadi Robi yang membawaku? Kenapa aku berpindah tempat disini? Apakah aku berada di alam mimpi? Dan, apakah saat ini dia tengah merusakku? Air mataku mengalir semakin deras. Aku sudah kotor! Aku benci diriku!"Dinda, bangunlah."Suara lembut menyapa indera pendengarku. Tunggu, kenapa suara itu tidak asing? Perlahan kubuka mataku. Samar-samar siluet seseorang berada di sampingku. "Aarrgh! Jangan! Lepaskan aku!"Aku memberontak saat tangan itu menyentuhku. Tidak! Jangan lagi. Tanganku melempar apa saja yang berada di dekatku. Termasuk memaksa mencabut selang yang menancap di tanganku."Dinda... Tolong tenang. Ini aku, Haidar...""Tidak.... Jangan.... Hiks..."Kurasakan pria itu
Seminggu setelah kejadian itu, keadaanku berangsur membaik. Niswah dan Della sering mengunjungiku dan berbagi cerita lucu. Cukup menghibur, meski tetap saja membosankan di rumah sakit.Sehari setelah hari itu, mas Angga siuman. Aku sempat mengunjunginya. Ada ibu mertua juga. Tapi beliau tidak marah karena mas Angga terluka karenaku.Tepat hari ini, aku dibawa pulang. Tubuhku sudah bugar kembali. Kangen rasanya menginjak rumah ini. Dan beberapa hari kemudian, aku menghadiri sidang. Mereka semua mendapat imbalan yang pantas. Robi sempat bersujud meminta maaf. Tapi, trauma itu masih terasa. Sulit sekali menghapus jejak memori yang terlanjur melekat. Memang benar, memberi maaf itu mudah, tapi menerimanya yang sulit. Tetap saja ikhlas itu masih berat.Mereka semua sudah mendapatkan balasan masing-masing. Mr Arav, kabarnya minggu depan akan dieksekusi. Senyum pahitku mendengar kabar itu. Pria yang awalnya aku kira baik, tapi ternyata dia sejahat itu. Ah, sudahla
Aku tersenyum, mengangguk."Iya, Om. Dinda.""Oalah. Jadi Dinda kamu toh yang dimaksud. Yaya... Om paham sekarang. Jadi, tadi keluar bareng?""Iya, Om. Kebetulan sedang libur juga.""Oh, yayaya. Ya sudah, om mau bicara Haidar dulu. Yang santai saja disini. Anggap saja rumah sendiri.""Iya, Om." Mengangguk sopan.Selepas om Andree pergi, Niswah mengajakku ke atas. Tepatnya ke kamarnya. Cantik. Kamar ini tentunya lebih besar dan lebih terawat dari kamarnya dulu. "Mbak udah kenal ya, sama papa?"Aku mengangguk tipis. Memandangi satu persatu gambar poster ganteng di kamar Niswah."Dulu om Andre temannya papa. Tapi lucunya ya, Nis. Bisa-bisanya aku lupa sama Haidar. Haha. Padahal, dia dulu pernah ke rumah juga.""Haha. Masak sih, mbak? Mas Haidar pernah ke rumah embak. Tapi, kok aku belum ya?""Aku kurang tahu, Nis. Gak terlalu ingat zaman dulu," sahutku tersenyum."Mas mu tahu, kamu suka koleksi poster pria-pria ganteng ini?" tolehku lagi
Aku tertegun. Dia, Haidar melamarku? Keheneningan menyelimuti suasana. Bersama cahaya kekuningan lilin yang bertiup kesana kemari.Kupejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam."Aku...."Menggigit bibir bagian bawahku. Sesuatu yang mengganjal terasa sangat nyata. "Aku hargai usahamu. Dan terimakasih untuk selama ini telah hadir di hidupku. Sukarela membantuku dari masalah yang menerpa. Tapi---"Ya Tuhan, bantu aku mengatakannya."Maaf, aku... Aku tidak bisa," ucapku lirih. Pegangan itu meluntur. Berikut kotak yang perlahan menutup."Aku harap kamu mengerti. Tapi, aku tidak bisa." Kutatap wajahnya dengan segenap perasaan yang menghujam. Maafkan aku, Haidar.Sejenak Haidar terpaku. Barulah tak berapa lama kemudian, senyumnya kembali terbit. Meski tidak secerah biasanya. Maafkan aku yang mengecewakan."Tidak apa. Tidak perlu minta maaf. Justru akulah yang minta maaf. Aku yang terburu tanpa mel
Pagi kembali menyapa. Hidup sendirian membuat rutinitas tak terlalu menyibukkan. Cukup menyapu, memasak sekedar untuk makanku, dan tentu saja mandi. Sudah. Selesai. Kupoles wajahku di kaca cermin. Mematutnya lagi sejenak. Kemudian mengambil dress dari Niswah kemarin yang sudah kusiapkan diatas kasur. Mematut badan di cermin dengan balutan dress panjang tersebut. Sangat pas. Pintar juga dia memilihnya. Lalu setelah itu menata rambut supaya selaras.Setelah merasa pas, barulah memakai kaos kaki dan juga sepatu. Selesai. Tinggal berangkat.Mobilku melesat membelah keramaian jalanan pagi. Untung saja aku sudah memasang aplikasi supaya bisa mengetahui dimana saja titik kemacetan. Sehingga seminimal mungkin bisa menghindarinya."Cie... Ada yang baru nih.""Apa..." Baru saja sampai sudah mendapat sapaan berbau ledekan dari Della."Penampilan baru nih, aha. Tumben banget pake dress.""Haha. Ya gak papa sih, sesekali."Kami berjalan bersama masuk ke gedung. M
Januari. Winter in London. Kristal putih bagai taburan tepung dari langit. Bedanya, yang ini memberikan sensasi dingin yang amat sangat. Apalagi untukku yang asli dari negara tropis. Meski ini bukan pertama kali, tetap saja musim dingin memberi sensasi yang berbeda. Jaket wol Merino membungkus tubuh kecilku. Juga berikut atribut musim wajib musim dingin lainnya. Penutup telinga, kaos tangan, dan juga sepatu boots yang membungkus kakiku. Oh, ya, dibalik penutup kepala, kini ada jilbab pashmina yang terpasang. Itu adalah pemberian dari Niswah. Semenjak menginjakkan kaki di London, aku memantapkan diri untuk merubah penampilan, selain penampilan diri tentunya. Aku sadar, hijab adalah kewajiban setiap muslimah. Dan, jujur aku akui, perasaanku lebih tenang. Meski tak menampik, bayang pria itu tak sedikit meluntur dari pikiranku. Justru rindu itu makin menjadi. Tapi sebisa mungkin ku tekan. Lagipula yang membuatnya seperti ini adalah diriku.Aku menolaknya waktu itu, bu
Memiliki luas area sebesar 142 hektar, Hyde Park merupakan salah satu taman terluas di London. Taman yang berbatasan langsung dengan Kensington Gardens ini sangat populer sebagai tempat piknik, jogging, mendayung, tenis, berkuda, dan olahraga lainnya. Taman ini juga sering menjadi tempat konser, festival, pasar malam, dan syuting film. Dan itulah tujuan kami hari ini. Tentunya dengan menaiki red bus. Aku belum bisa mengendarai mobil berstir kiri. Susah, belum terbiasa.Jansen terlihat menikmati liburan ini. Kehadiranku sedikit banyak memberinya kesempatan berjalan-jalan, karena orang tuanya yang super sibuk. Memang waktu tertentu bang Aldi akan menyempatkan waktu untuk rekreasi keluarga. Tapi, akhir-akhir ini dia memang tengah sibuk-sibuknya.Masyarakat Inggris banyak yang menyempatkan diri merefreshkan pikiran dengan bercengkrama bersama keluarga. Jansen juga bersemangat mencobai wahana yang ada. Sesekali aku ikut, tapi lebih sering mengawasi saja. Melihatnya sena
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z