Suasana pesta yang meriah dan elegan. Seperti yang sudah aku duga. Memang tidak di ballroom hotel seperti yang biasa dilakukan oleh pengusaha lainnya, pak Andre mengadakannya di rumah beliau. Rumah yang besar dan megah. Banyak pengusaha besar yang juga datang. Setelah sempat menyapa beliau yang dengan sumringah membalas sapaanku. Berbasa basi sebentar, kemudian aku menyingkir. Paling tidak suka dengan keramaian seperti ini.
Netraku mengedar ke sekitar. Beberapa wajah cukup akrab dalam pandanganku. Mereka adalah pejabat penting di instansi pemerintahan, dan juga di perusahaan. Mungkin hanya aku yang terlihat canggung disini. Seperti anak itik kehilangan induknya. Kusesap segelas lemon tea sebagai pengalih rasa jenuh. Ingin rasanya segera pulang dan bergumul dengan kasur dan selimut. Sayangnya, acara bahkan belum dimulai."Sendirian saja."Aku menoleh, mendapati senyum lebar pria yang tak asing. Mataku membola lebar. Lagi-lagi dia, manusia aneh yang suka muncul t"Lo bodoh, hah! Mau mati!"Kuabaikan ocehan Zul. Dia berhasil mengejarku yang naik mobil dengan kecepatan tinggi. Memaksaku menepikan mobil. Dia langsung menghampiri dan memakiku. "Lo kenapa sih? Tiba-tiba ngilang. Untung aja gue masih bisa nemuin lo sebelum jadi mayat." aku melengos, mengabaikan omelannya."Ngomong, ada masalah apa? Jangan bertingkah gila. Atau jangan-jangan lo stress gara-gara gagal cerai?" kalau saja suasana hatiku membaik, mungkin sudah kutampar mulutnya itu. Sayangnya, aku tidak sedang mode bercanda. Menatapnya balik dengan wajah datar. Dia polisi, masih bisakan aku menaruh kepercayaan padanya?"Sejak kapan Lo kenal bang Aldi?""Ha? Ngapain nanya? Jelas gue teman lama lah. Karena itu abang Lo nitipin ke kita." aku mengangguk singkat. Kita yang dimaksud adalah dia dan Haidar. Tersenyum kecut begitu menyadari, bisa saja selama ini Haidar adalah sosok munafik yang dimaksud Riri."Kalau begitu, katakan apa yang Lo ketahui tentang masalalu b
"Gak sarapan dulu?"Aku bangun kesiangan. Gara-gara mata baru bisa terpejam jelang subuh. "Saya terlambat," tukasku melangkah cepat. Namun sebuah tangan menahanku. Mas Angga."Aku sudah terlambat, Mas. Bisakah kamu lepas?""Sarapan dulu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatku?"Aku mengela napas. Menatapnya beberapa saat."Aku sarapan di kantor.""Dinda, aku mohon. Kamu boleh marah denganku. Ya meskipun aku tidak tahu dimana kesalahanku. Tapi, tolong jangan abaikan kesehatanmu. Itu lebih penting."Dahiku berkerut. Sejak kapan dia jadi sebijak ini?"Kamu gak kesambet kan, Mas?" "Kamu pikir? Sudahlah. Makan dulu. Atau, bawa bekal saja."Terpaksa kududukkan pantatku di kursi. Bergabung untuk sarapan. Meski sebenarnya rasanya hambar. Tidak berselera. Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang. Aku sudah sangat kesiangan. Tapi aku sempatkan untuk mampir ke apotik. Kepalaku benar-benar pening. Aku butuh obat tidur. Setidak
Fisik yang sudah lemah, makin terasa remuk. Sakit kepala semakin sering menyerang. Berat. Seakan beban berpuluh ton menghimpit dadaku. Sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Mengendarai mobil tanpa tujuan. Membiarkannya melaju dengan kecepatan sedang. Memilih area yang sepi dari kawasan yang ramai. Hingga tanpa sadar, aku sampai di kawasan persawahan. Netraku teralih ke arah barat. Dimana sang mentari bersiap kembali ke peraduannya. Ku tepikan mobilku di pinggir jalan. Membuka jendela mobil. Membiarkan angin sore menerpa wajahku. Kuhirup panjang udara segar itu. Bau tanah yang perlahan merilekskan pikiran. Disini, dengan saksi matahari yang meredup, kutumpahkan tangis yang tertahan. Berteriak sekencang-kencangkan. Beruntung, sore ini tak ada yang lewat. Atau mungkin mereka akan mengiraku gila karena frustasi.Potongan demi potongan kejadian berseliweran. Dimulai dari hari naas itu. Hari dimana kebahagiaanku terputus. Juga hari dimana aku memutuskan menja
"Apa Lo bakal menjarain bang Aldi, kalau benar itu dia?""Entahlah. Tergantung. Jika Riri menuntutnya, apa boleh buat? Kamu tahu sendiri, tindakan itu termasuk kriminal.""Ya, aku paham. Lakukan apa yang seharusnya dilakukan.""Sory, keadaan jadi berbalik begini."Aku menggeleng."Never mind. Sudah seharusnya. Katakan benar jika itu benar, dan katakan salah, jika memang salah. Jangan atas dasar persahabatan atau kekeluargaan, Lo menyisihkan keadilan."Zul mengangguk."I know." singkatnya.Atmosfir berubah tidak menyenangkan. Ah, tidak. Memang dari awal sudah tidak menyenangkan. "By the way, ada yang berubah?""Hmm." dehemku singkat."Apanya? Perasaan biasa saja." Zul malah tertawa."Karena siapa? Haidar?""Dih, aneh. Lagian, apa harus perubahan itu terjadi karena orang lain?""Siapa tahu."Aku mendesah kesal. Tidak semua perubahan harus di dasarkan pada orang lain kan?"Kalian menjauh sejak itu," tatapnya selidik.
Kalau boleh memilih, aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mengurus rumah, anak dan suami. Menyambutnya begitu pulang dari kerja. Menyiapkan air hangat, lalu makan bersama dengan anak-anak. Itu adalah impianku sejak dulu. Itulah kenapa aku mundur dari status direktur dan digantikan oleh mas Angga. Namun rupanya, saat itu impianku belum tercapai sempurna. Ditambah bahteraku yang oleng berkali-kali karena ulah ibu mertua yang turut serta memegang kendali.Rasanya seperti karma. Perusahaan di tanganku malah jatuh melayang bebas. Menangis tersedu di dalam mobil yang masih terparkir rapi di parkiran. Kucurahkan kesakitan yang terpendam. Baru saja kemarin aku menemukan lampu hijau, pagi ini dihempas dengan kenyataan yang lebih sulit. Tapi dari sekian itu, yang membuat dadaku sakit adalah saat melihat raut kecewa Haidar. Apa aku salah? Apa aku terlalu gegabah karena mencurigainya dengan alasan yang tak masuk akal. Yang sebenarnya aku saja masih merasa abu-abu.
Kepalaku reflek tertoleh. Terkejut mendapati senyum manis yang terpampang. Berlari menghampiriku dan langsung memelukku."Ih, kangen tahu. Mbak Dinda ngapain sih gak balas chatku?"Aki tersenyum canggung. Niswah. Dia masih sama. Tapi entah kalau dia tahu aku sudah memaki kakak tersayangnya. Mungkin dia akan membenciku."Em, sory, Nis. Mbak agak sibuk akhir-akhir ini.""Ah, iya. Emm, itu ya mbak. Gak sesuai rencana. Niswah turut berduka. Tapi mbak yang sabar deh. Pasti ada hikmahnya kok," senyum lebar berikut lesung pipit menambah manis gadis itu. Senyum yang menular."Iya, gak papa. Takdir kan gak ada yang tahu. Kamu, sama siapa?""Nis!"Netraku langsung berpaling. Jantungku seakan berhenti berdetak. Wajah itu muncul dengan troli di tangannya. Terlihat sama terkejutnya, tapi tidak berlangsung lama. Dia cepat menguasai dirinya. Berbeda denganku yang benar-benar mati kutu."Eh, mas. Ini loh Niswah sama mbak Dinda. Hehe. Kebetulan banget ya ket
Della dan Zul datang tak berapa lama. Meski ada kecanggungan, tapi tak mengurangi keseruan acara masak memasak. Apalagi ada Niswah yang pandai mencairkan suasana. Ada sesuatu beda yang kutangkap, terutama dari arah pandang Zul yang kini berbeda. Bibirku mengulum senyum tipis. Aku rasa, dia berubah haluan. Dasar pria, cepat juga merubah hati.Pukul tujuh tiga puluh, teman-teman Niswah datang. Acara di mulai dengan tiup lilin dan potong kue. Barulah bakar-bakar dan makan. Sengaja acara diadakan di luar ruangan. Bukan karena rumah mereka yang sempit, melainkan supaya lebih leluasa. "Makanlah," ucapku meletakkan daging sapi ke piring pria itu. "Makasih," sahutnya."Sama-sama." Bukannya beranjak, aku sengaja duduk di sebelahnya, tentu dengan memberi jarak. Menatapnya lamat-lamat sembari mengumpulkan keberanian."Soal... Soal tadi siang, aku minta maaf," ucapku."Untuk?""Ya karena sudah bicara yang tidak- tidak. Sory. Aku kebawa emosi. Juga, p
"Makasih lo, mbak. Aku seneng banget. Akhirnya keinginan dari lama tercapai juga."Aku membalas pelukannya. "Jangan terlalu ditanggapi. Salah sendiri tidak mau bilang sama aku. Sok tersakiti kamu.""Ih, apaan sih mas Haidar. Emang kalau bilang juga bakal di turutin? Palingan bilang; halah, males. Ribut. Ganggu istirahat. Ya kan?"Haidar tak menjawab. Aku tertawa menggelengkan kepala. Ternyata tidak sekaku yang aku kira. Haidar yang mudah memaafkan, dan Niswah yang mood booster."Sudah malam. Ayo, aku antar.""Sendiri-sendiri?""Yaiyalah. Memang bagaimana aku pulangnya nanti? Jalan?" aku tertawa. Mengangguk. Berpamitan dengan Niswah, lalu mengambil mobil. Zul dan Della sudah berpamitan sejak tadi. Bahkan sejak acara belum selesai. Emang gak ada akhlak mereka. Bukannya ikutan beberes malah kabur duluan. Aku menaiki mobil di depan, dan Haidar menyusul di belakang.Sampai di rumah, sudah sepi. Mas Angga sudah tidur, ibu juga. Syukurlah. Setidak
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z