Beranda / Horor / The Blue Eyes / Bab 11 - Bab 20

Semua Bab The Blue Eyes : Bab 11 - Bab 20

58 Bab

Kita Harus Keluar!

TBE 11Tubuh Risty yang semula menegang, perlahan berubah sedikit relaks. Dia melepaskan diri sambil mendorong tubuhku menjauh. Manik mata cokelat tua itu memandangiku dengan lekat. Seulas senyuman memikat dihadiahkannya padaku. "Mas, kita bicarakan nanti, ya. Sekarang, ayo, masuk. Kita bahas beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menolongmu," ucapnya pelan. "Jawab dulu, kamu cinta sama aku atau nggak?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. Risty tidak menjawab, dia hanya menyentuhkan tangan ke pipi kananku. Kemudian, membalikkan badan dan berlalu untuk kembali ke ruang tengah. Aku menghela napas dengan cepat, berusaha mengusir rasa tidak enak di dalam hati. Tadinya aku sangat berharap agar dia juga membalas perasaanku. Akan tetapi, sepertinya aku harus bisa lebih lama untuk bersabar. Menunggu itu adalah hal yang paling tidak kusukai, tetapi aku bisa apa? Tidak mungkin juga memaksakan kehendak. Mungkin pernyataan c
Baca selengkapnya

Terperangkap

TBE 12Kami terperangkap di dalam rumah. Berbagai usaha dilakukan Farid dan Johan untuk membuka pintu depan, tetapi tetap tidak membuahkan hasil. Aku bangkit berdiri dan melangkah pelan, berpegangan pada meja dan kursi agar bisa mencapai satu-satunya tempat yang mungkin bisa dibuka. "Jo, angkat kursi itu dan hantamkan ke sini!" seruku.Pria bertubuh tinggi itu segera mengangkat kursi kayu di ujung sofa. Sekuat tenaga menghantamkannya ke jendela yang tidak berteralis. Kaca jendela yang tebal itu hanya terlihat retak. Johan mengangkat lagi kursi dan melakukan hantaman kedua. Prrraaannnggg! Kaca pecah dan berhamburan ke mana-mana. Farid menarik taplak meja dan meletakkan benda itu di pinggir jendela. "Jo, kamu duluan keluar!" titahnya. Johan bergerak ke luar dengan hati-hati, agar kakinya tidak menginjak pecahan kaca. "Sekarang giliran kamu, To," ujar Farid sambil menarik tanganku. Pria bertubuh agak tambun itu membant
Baca selengkapnya

Selimut Gaib

TBE 13Di sebelah kananku, Opick tampak menggerak-gerakkan tangan sambil mengatur napas. Sesekali dia menyentuh kepala hingga pundak, seolah-olah sedang menyelubungiku dengan selimut gaib. Sosok di luar itu memandangi kami dengan raut wajah yang sangat dingin. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu yang terdengar sangat jauh. "Anto, ikutlah denganku," ucap Viana berkali-kali. Opick menarik kepalaku agar berhenti memandangi Viana. Dia juga menepuk-nepuk pundak Johan yang tampak panik karena mesin mobil mati dan tidak bisa dinyalakan. "Tenang, Jo. Istigfar, kamu pasti bisa," ujar Opick. Aku sempat memajukan tubuh untuk memastikan kondisi Farid. Sahabatku itu sepertinya sudah pingsan. Dia tidak bergerak sama sekali dengan kondisi mata yang tertutup. Bug! Bug! Bug! Suara benda yang dibenturkan ke belakang mobil, membuat aku dan Opick sontak menoleh. Terkesiap saat melihat beberapa makhluk tak ka
Baca selengkapnya

Mas ... tolong!

TBE 14Gelap! Semuanya tampak pekat. Aku hanya bisa menghirup bau apek khas tempat lembap. Aku mencoba mengubah posisi tubuh agar bisa mencari udara segar, tetapi semuanya sia-sia. Tubuhku seolah-olah membeku dan sulit untuk digerakkan, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memutar bola mata untuk mencoba mengira-ngira tempat ini. Setelah beberapa saat membiasakan diri dalam kegelapan, akhirnya aku bisa melihat bentuk tempat dan beberapa benda di sekitar.Mataku membeliak sempurna saat menyadari telah berada di dalam rumah tempat Viana dikurung atau diasingkan oleh kakaknya.Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini? Bukankah saat ini seharusnya aku sedang berada di rumah Lidya dan Farid? Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Aku mencoba merunut peristiwa satu hari sebelumnya hingga saat terakhir, di mana aku sedang bersiap untuk tidur di kasur lipat. Nah, betul! Berarti sekarang aku sedan
Baca selengkapnya

Jangan Jauh-jauh Dariku

TBE 15Langit seolah-olah tidak mendukung kami untuk bisa sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Hujan deras disertai angin kencang menderu dan menjadi badai kecil di sepanjang jalan menuju Salabintana.Johan mengumpat beberapa kali saat harus bermanuver untuk menghindari dahan pohon yang berjatuhan. Di sebelah kiriku, Risty tak henti-henti-hentinya melafazkan doa. Sekali-sekali dia menelepon lagi ke nomor ponsel Kakek dan Gantala. Akan tetapi, tidak ada dari mereka yang bisa dihubungi.  Opick yang duduk di kursi depan terus mencoba menelepon rumah Kakek Munir, berharap Bi Ipah segera mengangkat telepon. "Apa kalian tidak ada yang punya nomor ponsel Pak Rohim?" tanyaku."Pak Rohim nggak punya ponsel, Mas. Kalau ada juga pasti dari tadi sudah kutelepon," jawab Risty. Aku mengalihkan perhatian ke luar mobil. Hujan angin yang menampar kaca perlahan mulai menurun kekuatannya. Hal itu pertanda bahwa kami sudah keluar dari Kota
Baca selengkapnya

Kejam!

TBE 16Degup jantungku berdetak lebih kencang saat orang tersebut jalan memutar ke belakang bangunan tersebut. Dia berhenti saat jarak kami tersisa sekitar lima meter. Bila salah satu dari kami bergerak, orang itu pasti tahu. Genggaman tanganku semakin mengencang. Risty memegang pundakku dan menempelkan kepala di punggung. Aku menghela napas lega saat pria itu membalikkan tubuh dan kembali jalan ke posisi semula. Brrruuukkk! "Arghh!" jeritannya tertahan saat Opick bergerak menerpa dan menimpa tubuhnya. Disusul Johan yang menarik tangan pria itu ke belakang dan memitingnya dengan keras.  Pak Rohim bergerak maju dan menarik orang itu hingga berdiri dengan paksa. Pria bertubuh gemuk tersebut tidak bisa lagi bersuara karena mulutnya telah dibekap oleh Opick dengan menggunakan topi yang tadi dikenakan Opick."Di mana kalian menyekap warga yang hilang?" tanya Pak Rohim setelah pria itu diseret ke tempat kami. 
Baca selengkapnya

Reinkarnasi

TBE 17Suara orang mengobrol dalam bahasa Belanda bercampur dengan bahasa pribumi membuatku tersadar dari tidur. Mata mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang dari jendela. Setelah nyawa terkumpul sepenuhnya, aku tertegun saat menyadari bahwa aku sedang berada di dalam sebuah kamar. Susah payah aku mencoba untuk bangun dengan bertumpu pada kedua siku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang sepertinya cukup dikenal. Aku beringsut ke pinggir kasur yang lebih dekat dengan jendela yang dalam kondisi terbuka. Mengintip dari celah dan terperangah saat melihat suasana di luar. Mengerjapkan mata beberapa kali. Menepuk-nepuk pipi untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku kembali mengintip ke luar, menyadari bahwa aku tidak salah lihat. Benar-benar telah kembali ke villa, dan sekarang sedang berada di kamar paling depan. Bunyi pintu yang terbuka sontak membuatku menoleh. Seraut wajah perem
Baca selengkapnya

Ingatan Yang Terputus

TBE 18Tuk, tuk, tuk, tuk. Tuk, tuk, tuk, tuk. Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu siapa yang telah mengetuk pintu. "Masuk," ucapku. Tak lama kemudian gagang pintu bergerak maju, seraut wajah menawan muncul dengan senyuman mengembang. "Mari, kita sarapan dulu, Tuan Haryadi," ajaknya dengan ramah. Aku mengangguk dan jalan mendekat. "Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan," pintaku. "Panggil saja mas Adi," sambungku yang membuatnya tersenyum. "Kalau begitu, baiklah. Mari, Mas, kita sarapan dulu," ulangnya dengan suara lembut. Aku jalan mengikutinya sampai ke meja makan. Menarikkan kursi dan mempersilakannya untuk duduk. Entah kenapa, berlakon sebagai Haryadi Atmaja ini membuat sisi romantisku meningkat dan harus mengakui bila pria yang wajahnya mirip denganku itu adalah sosok yang piawai menghadapi perempuan."Terima kasih," ucapnya. "Sama-sama," jawabku sambil menarik kursi di sebelahny
Baca selengkapnya

Bawa Aku Pergi, Secepatnya!

TBE 19Aroma petrikor yang mengambang di udara, membawa keteduhan dan kenyamanan suasana. Suasana tempat ini sangat sepi dan hening, hanya suara bintang-bintang di pekarangan yang terdengar, selebihnya sunyi.Aku menghidu aroma khas tanah terkena air hujan itu dalam-dalam dan menyimpannya di rongga dada. Menatap langit yang sedang mengeluarkan tangisan yang cukup deras sejak tadi sore.Udara dingin yang makin menggigit, tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan di teras. Duduk dengan mengangkat kaki kiri dan ditumpangkan ke kaki kanan. Mata beralih memandangi sekeliling. Pemandangan alam yang berbeda dari masa depan ini ternyata lebih melenakan. Sudah tujuh hari aku tinggal di sini. Mengelilingi area rumah dan berjalan-jalan ke tempat lainnya. Sudah cukup mengenal beberapa pekerja di kebun, juga tetangga di sekitar sini.Rumah Kakek Munir di sebelah memang hanya menjadi tempat beristirahat bagi keluarganya. Baru tadi pagi a
Baca selengkapnya

Sangat Merindukanmu

TBE 20Langit malam yang gelap menggantikan sore hari yang hangat. Rembulan bersembunyi di balik awan. Bintang seolah-olah tengah malas untuk bersinar. Aku mendorong motor melewati gerbang rumah. Viana mengikuti di belakang dengan berjalan cepat. Sesampainya di kebun kosong yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu gerbang rumah, barulah aku menyalakan mesin dan memacunya dengan hati-hati. Viana berpegangan dengan erat, melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan tubuhnya ke punggungku. Angin malam yang menerpa tidak kami hiraukan. Terus melaju menembus pekatnya malam. Setelah melewati daerah Salabintana barulah aku bisa bernapas lega. Menurunkan kecepatan saat melewati jalan raya Siliwangi yang cukup sepi. Di sisi kanan dan kiri, hanya ada segelintir manusia yang masih beraktivitas di malam yang mulai merangkak naik. Selebihnya mungkin telah terlelap di alam mimpi. "Mas, apa kita bisa berhenti sebentar?" pinta Viana. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status