Home / Horor / The Blue Eyes / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of The Blue Eyes : Chapter 21 - Chapter 30

58 Chapters

Jij Bent Mooi

TBE 21Arunika menyapa hari dengan lembut. Angin sejuk sisa hujan kemarin masih cukup menusuk kulit. Dedaunan di atas pohon masih meneteskan sisa air. Perpaduan cantik di pagi hari yang baru. Aku sudah duduk di kursi meja makan sejak pukul 7 pagi. Menyesap kopi bikinan Bi Euis yang sangat hafal dengan seleraku. Ditemani sepiring singkong goreng beraroma bawang putih yang nikmat. Memanjakan lidah dan perut yang mulai bernyanyi sejak Subuh tadi.Viana keluar dari kamar tamu dengan tampilan yang menawan. Mengenakan blus kuning bermotif bunga-bunga kecil beraneka warna dan jalan mendekat. Dia menarik kursi di sebelah kiri dan duduk dengan tubuh tegak. "Goedemorgen, Mas," sapa Viana dengan lembut. (Selamat pagi)"Goedemorgen, Vi. hoe heb je geslapen afgelopen nacht?" tanyaku. (Bagaimana tidurmu semalam?)"Degelijk, hoe zit het met jou?" (Nyenyak, bagaimana denganmu?)"Redelijk goed." (lumayan nyenyak)Ses
Read more

Jangan Lama-lama

TBE 22Acara makan siang berlangsung dalam diam. Pikiran yang penuh membuatku kehilangan selera dan hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk pauk. Sekali-sekali napas panjang kuhela dan diembuskan perlahan, berharap hal itu bisa mengangkat beban berat di pundak sekaligus menenangkan hati. Enggan untuk menghabiskan isi piring akhirnya aku menyudahi santap siang. Mengatur sendok garpu dengan rapi dan mengambil gelas berisi air teh hangat serta meneguknya beberapa kali. Aku memegangi benda kaca bening itu sejenak, lalu meletakkannya ke tempat semula. "Mau ke mana, Di?" tanya Bu Surti yang duduk di kursi seberang. "Ke kamar, Bu. Mau istirahat sebentar," jawabku. "Ibu mau bicara sebentar, kita ke ruang kerja, yuk," ajaknya sambil berdiri dan menjauh. "Vi, aku tinggal dulu, ya. Kamu nanti istirahat aja di kamar," tukasku pada gadis berparas separuh luar negeri yang masih menyantap hidangan dengan santai. "Aku mau ke t
Read more

Lunas

TBE 23Dewi malam kembali bersembunyi. Bintang pun ikut berselimut pekatnya langit. Suasana hening di sekitar menambah sepinya waktu, yang terdengar hanya bunyi hewan-hewan dan air mancur di sudut halaman. Semenjak selesai salat Isya, aku menghabiskan waktu di teras samping sambil membaca buku tentang agro wisata. Ayah mendapat tawaran dari rekan bisnisnya untuk ikut bergabung dalam pembukaan tempat wisata di kawasan sekitar kaki Gunung Salak. Ini merupakan hal baru bagi perusahaan yang selama ini bergelut di bidang percetakan serta perdagangan ekspor impor. Tentu saja kami harus berhati-hati karena bisnis ini membutuhkan modal besar. "Mas, dipanggil Ayah," ujar Bu Surti yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. "Iya, Bu, sebentar," jawabku sambil menandai buku dengan bulu ayam, kemudian berdiri dan jalan menuju ruang tamu, tempat di mana Ayah sudah menunggu. Aku terkesiap ketika melihat Viana yang ternyata sudah ikut
Read more

Kenekatan Viana

TBE 24"Apa kabar, Di?" tanya pria berkumis tipis yang tengah berdiri dengan jarak dua langkah dariku. "Baik, kamu?" Aku balas bertanya basa-basi, walaupun sebenarnya enggan untuk beramah tamah dengannya, orang yang menyebabkanku harus kehilangan sosok kekasih hati. "Sangat baik, Isti merawatku dengan baik," sahutnya seraya tersenyum. "Dan kamu tahu, beberapa bulan lagi aku akan jadi ayah," sambungnya yang membuat hatiku panas. Aku hanya mengangguk pelan, merasa yakin bila saat ini dia hanya ingin memanas-manasi, terutama karena telah menggagalkan rencanaku untuk melamar Isti, yang akhirnya kuingat merupakan sosok Risty di masa lalu, bahkan nama mereka pun hampir sama. "Halo, kita belum berkenalan. Aku, Wisnu, teman Haryadi," tukas pria berkulit kecokelatan itu sambil mengulurkan tangan. Viana sempat melirik padaku sebelum mengalihkan pandangan pada Wisnu dan menjabat tangan pria itu dengan tegas. Hal yang kus
Read more

Pertama dan Terakhir

TBE 25"Jangan lakukan itu lagi, Vi!" tegasku saat Viana baru selesai memarkirkan kendaraan tepat di depan garasi. "Kenapa?" tanyanya seraya tersenyum tipis."Kamu bikin jantungku berguncang. Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana?" "Santai, Mas. Aku bisa nyetir kok. Beberapa kali dalam seminggu aku dan teh Nining akan jalan-jalan seputar wilayah kami pakai mobil Vader. Tetapi, tetap dalam pengawasan ketat kang Yayan," jelasnya sembari membuka pintu dan turun. "Di sana dan di sini itu beda, Vi." "Apa Mas takut mobilnya rusak?" Aku menggeleng, lalu berujar, "Aku mengkhawatirkanmu, bukan mobil." Gadis bergincu merah itu mengulaskan senyuman tipis yang menambah keelokan parasnya. Sepersekian detik aku kembali terpukau dan desiran dalam hati kian mengencang. Ketika Viana hendak berbalik, aku melakukan tindakan impulsif dengan menarik tangannya dan mendekap tubuh gadis itu dengan erat. "Jangan lakukan itu lagi, ya," lirihku. "Aku ... benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padamu," l
Read more

Ibuku dan Ibunya

TBE 26Sentuhan di lengan dan suara lembut membangunkanku. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata aku memindai sekitar, sepersekian detik berikutnya aku spontan bangkit sembari membeliakkan mata karena melihat Viana ada di tempat tidur yang sama. "Kamu, kok bisa ada di sini?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur. Viana mengangkat alis, kemudian menggeleng pelan dan menjawab, "Bisalah, 'kan Mas yang ngajak aku tidur." Aku tertegun sejenak, sebelum menepuk dahi karena lupa bila kami telah menikah kemarin malam. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, sedikit malu karena bisa-bisanya melupakan peristiwa penting tersebut. "Maaf, aku lupa kalau kita sudah menikah," ungkapku sembari menggaruk-garuk kepala. "Nggak apa-apa, Mas. Aku tadi juga gitu, nyaris berteriak karena ngelihat Mas ada di sebelah. Untungnya bisa ditahan, kalau nggak mungkin Ayah dan Ibu bakal bingung mendengar teriakanku," sahutnya seraya mengulaskan senyuman lebar.Selama beberapa saat suasana hening. Aku masi
Read more

Lorong Waktu

TBE 27Aku terjebak!Kumparan hitam ini membanting tubuhku ke sana ke sini. Napas mulai terengah-engah dan dada pun sesak. Aku kehilangan arah dan bingung hendak ke mana. Sampai akhirnya aku lelah dan memutuskan untuk berhenti di tengah-tengah. Berjongkok dengan tangan memegang kepala. Berusaha untuk memusatkan pikiran dan membayangkan wajah orang-orang yang disayangi di dunia modern. Sayup-sayup terdengar panggilan suara perempuan. Hatiku bergetar hebat saat menyadari bahwa dialah satu-satunya orang yang ingin ditemui saat ini. Aku berdiri, berjalan pelan sambil merentangkan tangan pada bidang gelap tak berbatas. Melangkah pasti mengikuti suara hati.Sinar terang di ujung sana seakan terus menarikku. Suara panggilan itu kian jelas. Tiba-tiba guncangan keras membuatku terlempar kembali ke belakang. Aku berusaha bangun, tetapi ternyata sangat sulit. Akhirnya kuputuskan untuk merangkak. Dengan sisa-sisa kekuatan bergerak maju sedikit demi sedikit. Saat terasa kumparan ini akan berger
Read more

Separuh Haryadi Atmaja

TBE 28Hari berganti dengan adegan lambat. Kurasa demikian, karena aku hanya bisa melihat pergantian hari dari balik jendela. Bila sedang beruntung, maka aku akan dituntun Risty dan Farid ke teras. Duduk dengan santai sambil menatap langit yang selalu berganti setiap detiknya, atau memandangi jalan di mana banyak kendaraan melintas. Bahkan terkadang aku menjadi pengamat bunga dan kumbang.Seperti hari ini, setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku dituntun Farid ke tempat biasa. Kursi rotan telah dipindahkan ke tengah halaman, agar aku bisa menikmati sinar matahari pagi. Udara dingin tak dihiraukan, justru aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, menahan selama beberapa saat dalam rongga dada kemudian melepaskannya perlahan. Decit ban mobil dari depan rumah sontak membuatku menoleh. Beberapa orang melangkah masuk dari pintu pagar yang dibukakan oleh Pak Rohim. Om Mulyana dan Tante Rita, kedua orang tua Farid datang bersama Johan. Sosok Opick pun menyusul di belakang mereka. P
Read more

Mati Penasaran

TBE 29Om Mulyana mengupah beberapa orang pekerja untuk membersihkan vila sejak tadi pagi. Siang ini, setelah selesai makan dan menunaikan salat empat rakaat, kami kembali berkunjung ke vila yang sudah lebih bersih. Para pekerja masih merapikan kamar-kamar serta bagian belakang rumah. Kami berjalan terus ke rumah kecil dengan Pak Tono yang menjadi penunjuk jalan."Kita ratakan saja, Yah. Biar hartanya tetap di dalam sana," ujar Farid."Jangan lupa untuk menyebarkan rumor bahwa harta telah dibawa oleh Gantala, sehingga orang-orang yang penasaran akan bergerak untuk mencarinya," timpalku."Betul itu, aku setuju. Dengan mengerahkan banyak orang, semoga dia bisa segera ditemukan," imbuh Johan.Om Mulyana memandangi kami bertiga selama beberapa saat, kemudian mengangguk menyetujui usul kami. "Oke, kita ratakan besok pagi," ujarnya."Jangan besok, Om, lebih cepat akan lebih baik," selaku."Kapan?""Nanti malam."Aku melangkah pelan memasuki rumah hingga tiba di lorong pendek dalam lemari,
Read more

Abadi

TBE 30Aku berdiri dan beranjak mendekati pria tersebut, mengatupkan kedua tangan di depan dada, menundukkan kepala sedikit untuk menghormati beliau."Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku akan datang sekarang?" tanya Haryadi Atmaja."Aku membaca buku harian Kakek," jawabku."Sampai selesai?" "Belum, apa masih ada kelanjutannya?" "Beberapa halaman tengah sengaja kukosongkan untuk kamu isi, Anto. Selebihnya akan ada ulasan dari berbagai peristiwa aneh sebelum aku wafat," jelas beliau. "Kalau kamu ingin menemukan Peter, jawabannya ada di sana," lanjutnya seraya tersenyum penuh arti.Pria itu berjalan melewatiku sambil memberikan kode dengan jari, mengarah ke vila. Kemudian dia menghilang dengan diiringi munculnya kabut tebal. Entah kenapa, perasaanku mengatakan bahwa dia tengah memberi isyarat bahwa semua kejadian ini bermula dan berakhir di tempat itu."Apa katanya?" tanya Opick sambil mendekat."Dia menyuruhku kembali ke villa," jawabku."Mas yakin mau ke sana sekarang?" tanya Risty.
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status