TBE 18
Tuk, tuk, tuk, tuk.Tuk, tuk, tuk, tuk.Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu siapa yang telah mengetuk pintu. "Masuk," ucapku.Tak lama kemudian gagang pintu bergerak maju, seraut wajah menawan muncul dengan senyuman mengembang. "Mari, kita sarapan dulu, Tuan Haryadi," ajaknya dengan ramah.Aku mengangguk dan jalan mendekat. "Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan," pintaku. "Panggil saja mas Adi," sambungku yang membuatnya tersenyum."Kalau begitu, baiklah. Mari, Mas, kita sarapan dulu," ulangnya dengan suara lembut.Aku jalan mengikutinya sampai ke meja makan. Menarikkan kursi dan mempersilakannya untuk duduk. Entah kenapa, berlakon sebagai Haryadi Atmaja ini membuat sisi romantisku meningkat dan harus mengakui bila pria yang wajahnya mirip denganku itu adalah sosok yang piawai menghadapi perempuan."Terima kasih," ucapnya."Sama-sama," jawabku sambil menarik kursi di sebelahnyTBE 19Aroma petrikor yang mengambang di udara, membawa keteduhan dan kenyamanan suasana. Suasana tempat ini sangat sepi dan hening, hanya suara bintang-bintang di pekarangan yang terdengar, selebihnya sunyi.Aku menghidu aroma khas tanah terkena air hujan itu dalam-dalam dan menyimpannya di rongga dada. Menatap langit yang sedang mengeluarkan tangisan yang cukup deras sejak tadi sore.Udara dingin yang makin menggigit, tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan di teras. Duduk dengan mengangkat kaki kiri dan ditumpangkan ke kaki kanan. Mata beralih memandangi sekeliling. Pemandangan alam yang berbeda dari masa depan ini ternyata lebih melenakan. Sudah tujuh hari aku tinggal di sini. Mengelilingi area rumah dan berjalan-jalan ke tempat lainnya. Sudah cukup mengenal beberapa pekerja di kebun, juga tetangga di sekitar sini.Rumah Kakek Munir di sebelah memang hanya menjadi tempat beristirahat bagi keluarganya. Baru tadi pagi a
TBE 20Langit malam yang gelap menggantikan sore hari yang hangat. Rembulan bersembunyi di balik awan. Bintang seolah-olah tengah malas untuk bersinar. Aku mendorong motor melewati gerbang rumah. Viana mengikuti di belakang dengan berjalan cepat. Sesampainya di kebun kosong yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu gerbang rumah, barulah aku menyalakan mesin dan memacunya dengan hati-hati. Viana berpegangan dengan erat, melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan tubuhnya ke punggungku. Angin malam yang menerpa tidak kami hiraukan. Terus melaju menembus pekatnya malam. Setelah melewati daerah Salabintana barulah aku bisa bernapas lega. Menurunkan kecepatan saat melewati jalan raya Siliwangi yang cukup sepi. Di sisi kanan dan kiri, hanya ada segelintir manusia yang masih beraktivitas di malam yang mulai merangkak naik. Selebihnya mungkin telah terlelap di alam mimpi. "Mas, apa kita bisa berhenti sebentar?" pinta Viana.
TBE 21Arunika menyapa hari dengan lembut. Angin sejuk sisa hujan kemarin masih cukup menusuk kulit. Dedaunan di atas pohon masih meneteskan sisa air. Perpaduan cantik di pagi hari yang baru. Aku sudah duduk di kursi meja makan sejak pukul 7 pagi. Menyesap kopi bikinan Bi Euis yang sangat hafal dengan seleraku. Ditemani sepiring singkong goreng beraroma bawang putih yang nikmat. Memanjakan lidah dan perut yang mulai bernyanyi sejak Subuh tadi.Viana keluar dari kamar tamu dengan tampilan yang menawan. Mengenakan blus kuning bermotif bunga-bunga kecil beraneka warna dan jalan mendekat. Dia menarik kursi di sebelah kiri dan duduk dengan tubuh tegak. "Goedemorgen, Mas," sapa Viana dengan lembut. (Selamat pagi)"Goedemorgen, Vi. hoe heb je geslapen afgelopen nacht?" tanyaku. (Bagaimana tidurmu semalam?)"Degelijk, hoe zit het met jou?" (Nyenyak, bagaimana denganmu?)"Redelijk goed." (lumayan nyenyak)Ses
TBE 22Acara makan siang berlangsung dalam diam. Pikiran yang penuh membuatku kehilangan selera dan hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk pauk. Sekali-sekali napas panjang kuhela dan diembuskan perlahan, berharap hal itu bisa mengangkat beban berat di pundak sekaligus menenangkan hati. Enggan untuk menghabiskan isi piring akhirnya aku menyudahi santap siang. Mengatur sendok garpu dengan rapi dan mengambil gelas berisi air teh hangat serta meneguknya beberapa kali. Aku memegangi benda kaca bening itu sejenak, lalu meletakkannya ke tempat semula. "Mau ke mana, Di?" tanya Bu Surti yang duduk di kursi seberang. "Ke kamar, Bu. Mau istirahat sebentar," jawabku. "Ibu mau bicara sebentar, kita ke ruang kerja, yuk," ajaknya sambil berdiri dan menjauh. "Vi, aku tinggal dulu, ya. Kamu nanti istirahat aja di kamar," tukasku pada gadis berparas separuh luar negeri yang masih menyantap hidangan dengan santai. "Aku mau ke t
TBE 23Dewi malam kembali bersembunyi. Bintang pun ikut berselimut pekatnya langit. Suasana hening di sekitar menambah sepinya waktu, yang terdengar hanya bunyi hewan-hewan dan air mancur di sudut halaman. Semenjak selesai salat Isya, aku menghabiskan waktu di teras samping sambil membaca buku tentang agro wisata. Ayah mendapat tawaran dari rekan bisnisnya untuk ikut bergabung dalam pembukaan tempat wisata di kawasan sekitar kaki Gunung Salak. Ini merupakan hal baru bagi perusahaan yang selama ini bergelut di bidang percetakan serta perdagangan ekspor impor. Tentu saja kami harus berhati-hati karena bisnis ini membutuhkan modal besar. "Mas, dipanggil Ayah," ujar Bu Surti yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. "Iya, Bu, sebentar," jawabku sambil menandai buku dengan bulu ayam, kemudian berdiri dan jalan menuju ruang tamu, tempat di mana Ayah sudah menunggu. Aku terkesiap ketika melihat Viana yang ternyata sudah ikut
TBE 24"Apa kabar, Di?" tanya pria berkumis tipis yang tengah berdiri dengan jarak dua langkah dariku. "Baik, kamu?" Aku balas bertanya basa-basi, walaupun sebenarnya enggan untuk beramah tamah dengannya, orang yang menyebabkanku harus kehilangan sosok kekasih hati. "Sangat baik, Isti merawatku dengan baik," sahutnya seraya tersenyum. "Dan kamu tahu, beberapa bulan lagi aku akan jadi ayah," sambungnya yang membuat hatiku panas. Aku hanya mengangguk pelan, merasa yakin bila saat ini dia hanya ingin memanas-manasi, terutama karena telah menggagalkan rencanaku untuk melamar Isti, yang akhirnya kuingat merupakan sosok Risty di masa lalu, bahkan nama mereka pun hampir sama. "Halo, kita belum berkenalan. Aku, Wisnu, teman Haryadi," tukas pria berkulit kecokelatan itu sambil mengulurkan tangan. Viana sempat melirik padaku sebelum mengalihkan pandangan pada Wisnu dan menjabat tangan pria itu dengan tegas. Hal yang kus
TBE 25"Jangan lakukan itu lagi, Vi!" tegasku saat Viana baru selesai memarkirkan kendaraan tepat di depan garasi. "Kenapa?" tanyanya seraya tersenyum tipis."Kamu bikin jantungku berguncang. Kalau kamu kenapa-kenapa, gimana?" "Santai, Mas. Aku bisa nyetir kok. Beberapa kali dalam seminggu aku dan teh Nining akan jalan-jalan seputar wilayah kami pakai mobil Vader. Tetapi, tetap dalam pengawasan ketat kang Yayan," jelasnya sembari membuka pintu dan turun. "Di sana dan di sini itu beda, Vi." "Apa Mas takut mobilnya rusak?" Aku menggeleng, lalu berujar, "Aku mengkhawatirkanmu, bukan mobil." Gadis bergincu merah itu mengulaskan senyuman tipis yang menambah keelokan parasnya. Sepersekian detik aku kembali terpukau dan desiran dalam hati kian mengencang. Ketika Viana hendak berbalik, aku melakukan tindakan impulsif dengan menarik tangannya dan mendekap tubuh gadis itu dengan erat. "Jangan lakukan itu lagi, ya," lirihku. "Aku ... benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padamu," l
TBE 26Sentuhan di lengan dan suara lembut membangunkanku. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata aku memindai sekitar, sepersekian detik berikutnya aku spontan bangkit sembari membeliakkan mata karena melihat Viana ada di tempat tidur yang sama. "Kamu, kok bisa ada di sini?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur. Viana mengangkat alis, kemudian menggeleng pelan dan menjawab, "Bisalah, 'kan Mas yang ngajak aku tidur." Aku tertegun sejenak, sebelum menepuk dahi karena lupa bila kami telah menikah kemarin malam. Sudut bibirku terangkat membingkai senyuman, sedikit malu karena bisa-bisanya melupakan peristiwa penting tersebut. "Maaf, aku lupa kalau kita sudah menikah," ungkapku sembari menggaruk-garuk kepala. "Nggak apa-apa, Mas. Aku tadi juga gitu, nyaris berteriak karena ngelihat Mas ada di sebelah. Untungnya bisa ditahan, kalau nggak mungkin Ayah dan Ibu bakal bingung mendengar teriakanku," sahutnya seraya mengulaskan senyuman lebar.Selama beberapa saat suasana hening. Aku masi
TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru
TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan
TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk
TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso