TBE 14
Gelap!Semuanya tampak pekat. Aku hanya bisa menghirup bau apek khas tempat lembap. Aku mencoba mengubah posisi tubuh agar bisa mencari udara segar, tetapi semuanya sia-sia.Tubuhku seolah-olah membeku dan sulit untuk digerakkan, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memutar bola mata untuk mencoba mengira-ngira tempat ini.Setelah beberapa saat membiasakan diri dalam kegelapan, akhirnya aku bisa melihat bentuk tempat dan beberapa benda di sekitar.Mataku membeliak sempurna saat menyadari telah berada di dalam rumah tempat Viana dikurung atau diasingkan oleh kakaknya.Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini?Bukankah saat ini seharusnya aku sedang berada di rumah Lidya dan Farid?Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hati. Aku mencoba merunut peristiwa satu hari sebelumnya hingga saat terakhir, di mana aku sedang bersiap untuk tidur di kasur lipat.Nah, betul!Berarti sekarang aku sedanTBE 15Langit seolah-olah tidak mendukung kami untuk bisa sampai ke tempat tujuan dengan cepat. Hujan deras disertai angin kencang menderu dan menjadi badai kecil di sepanjang jalan menuju Salabintana.Johan mengumpat beberapa kali saat harus bermanuver untuk menghindari dahan pohon yang berjatuhan. Di sebelah kiriku, Risty tak henti-henti-hentinya melafazkan doa. Sekali-sekali dia menelepon lagi ke nomor ponsel Kakek dan Gantala. Akan tetapi, tidak ada dari mereka yang bisa dihubungi. Opick yang duduk di kursi depan terus mencoba menelepon rumah Kakek Munir, berharap Bi Ipah segera mengangkat telepon. "Apa kalian tidak ada yang punya nomor ponsel Pak Rohim?" tanyaku."Pak Rohim nggak punya ponsel, Mas. Kalau ada juga pasti dari tadi sudah kutelepon," jawab Risty. Aku mengalihkan perhatian ke luar mobil. Hujan angin yang menampar kaca perlahan mulai menurun kekuatannya. Hal itu pertanda bahwa kami sudah keluar dari Kota
TBE 16Degup jantungku berdetak lebih kencang saat orang tersebut jalan memutar ke belakang bangunan tersebut. Dia berhenti saat jarak kami tersisa sekitar lima meter. Bila salah satu dari kami bergerak, orang itu pasti tahu. Genggaman tanganku semakin mengencang. Risty memegang pundakku dan menempelkan kepala di punggung. Aku menghela napas lega saat pria itu membalikkan tubuh dan kembali jalan ke posisi semula. Brrruuukkk! "Arghh!" jeritannya tertahan saat Opick bergerak menerpa dan menimpa tubuhnya. Disusul Johan yang menarik tangan pria itu ke belakang dan memitingnya dengan keras. Pak Rohim bergerak maju dan menarik orang itu hingga berdiri dengan paksa. Pria bertubuh gemuk tersebut tidak bisa lagi bersuara karena mulutnya telah dibekap oleh Opick dengan menggunakan topi yang tadi dikenakan Opick."Di mana kalian menyekap warga yang hilang?" tanya Pak Rohim setelah pria itu diseret ke tempat kami.
TBE 17Suara orang mengobrol dalam bahasa Belanda bercampur dengan bahasa pribumi membuatku tersadar dari tidur. Mata mengerjap beberapa kali untuk membiasakan diri dengan sinar terang dari jendela. Setelah nyawa terkumpul sepenuhnya, aku tertegun saat menyadari bahwa aku sedang berada di dalam sebuah kamar. Susah payah aku mencoba untuk bangun dengan bertumpu pada kedua siku dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang sepertinya cukup dikenal. Aku beringsut ke pinggir kasur yang lebih dekat dengan jendela yang dalam kondisi terbuka. Mengintip dari celah dan terperangah saat melihat suasana di luar. Mengerjapkan mata beberapa kali. Menepuk-nepuk pipi untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi. Aku kembali mengintip ke luar, menyadari bahwa aku tidak salah lihat. Benar-benar telah kembali ke villa, dan sekarang sedang berada di kamar paling depan. Bunyi pintu yang terbuka sontak membuatku menoleh. Seraut wajah perem
TBE 18Tuk, tuk, tuk, tuk. Tuk, tuk, tuk, tuk. Tanpa perlu bertanya, aku sudah tahu siapa yang telah mengetuk pintu. "Masuk," ucapku. Tak lama kemudian gagang pintu bergerak maju, seraut wajah menawan muncul dengan senyuman mengembang. "Mari, kita sarapan dulu, Tuan Haryadi," ajaknya dengan ramah. Aku mengangguk dan jalan mendekat. "Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan," pintaku. "Panggil saja mas Adi," sambungku yang membuatnya tersenyum. "Kalau begitu, baiklah. Mari, Mas, kita sarapan dulu," ulangnya dengan suara lembut. Aku jalan mengikutinya sampai ke meja makan. Menarikkan kursi dan mempersilakannya untuk duduk. Entah kenapa, berlakon sebagai Haryadi Atmaja ini membuat sisi romantisku meningkat dan harus mengakui bila pria yang wajahnya mirip denganku itu adalah sosok yang piawai menghadapi perempuan."Terima kasih," ucapnya. "Sama-sama," jawabku sambil menarik kursi di sebelahny
TBE 19Aroma petrikor yang mengambang di udara, membawa keteduhan dan kenyamanan suasana. Suasana tempat ini sangat sepi dan hening, hanya suara bintang-bintang di pekarangan yang terdengar, selebihnya sunyi.Aku menghidu aroma khas tanah terkena air hujan itu dalam-dalam dan menyimpannya di rongga dada. Menatap langit yang sedang mengeluarkan tangisan yang cukup deras sejak tadi sore.Udara dingin yang makin menggigit, tidak menyurutkan niatku untuk terus bertahan di teras. Duduk dengan mengangkat kaki kiri dan ditumpangkan ke kaki kanan. Mata beralih memandangi sekeliling. Pemandangan alam yang berbeda dari masa depan ini ternyata lebih melenakan. Sudah tujuh hari aku tinggal di sini. Mengelilingi area rumah dan berjalan-jalan ke tempat lainnya. Sudah cukup mengenal beberapa pekerja di kebun, juga tetangga di sekitar sini.Rumah Kakek Munir di sebelah memang hanya menjadi tempat beristirahat bagi keluarganya. Baru tadi pagi a
TBE 20Langit malam yang gelap menggantikan sore hari yang hangat. Rembulan bersembunyi di balik awan. Bintang seolah-olah tengah malas untuk bersinar. Aku mendorong motor melewati gerbang rumah. Viana mengikuti di belakang dengan berjalan cepat. Sesampainya di kebun kosong yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu gerbang rumah, barulah aku menyalakan mesin dan memacunya dengan hati-hati. Viana berpegangan dengan erat, melingkarkan tangannya ke pinggang dan menempelkan tubuhnya ke punggungku. Angin malam yang menerpa tidak kami hiraukan. Terus melaju menembus pekatnya malam. Setelah melewati daerah Salabintana barulah aku bisa bernapas lega. Menurunkan kecepatan saat melewati jalan raya Siliwangi yang cukup sepi. Di sisi kanan dan kiri, hanya ada segelintir manusia yang masih beraktivitas di malam yang mulai merangkak naik. Selebihnya mungkin telah terlelap di alam mimpi. "Mas, apa kita bisa berhenti sebentar?" pinta Viana.
TBE 21Arunika menyapa hari dengan lembut. Angin sejuk sisa hujan kemarin masih cukup menusuk kulit. Dedaunan di atas pohon masih meneteskan sisa air. Perpaduan cantik di pagi hari yang baru. Aku sudah duduk di kursi meja makan sejak pukul 7 pagi. Menyesap kopi bikinan Bi Euis yang sangat hafal dengan seleraku. Ditemani sepiring singkong goreng beraroma bawang putih yang nikmat. Memanjakan lidah dan perut yang mulai bernyanyi sejak Subuh tadi.Viana keluar dari kamar tamu dengan tampilan yang menawan. Mengenakan blus kuning bermotif bunga-bunga kecil beraneka warna dan jalan mendekat. Dia menarik kursi di sebelah kiri dan duduk dengan tubuh tegak. "Goedemorgen, Mas," sapa Viana dengan lembut. (Selamat pagi)"Goedemorgen, Vi. hoe heb je geslapen afgelopen nacht?" tanyaku. (Bagaimana tidurmu semalam?)"Degelijk, hoe zit het met jou?" (Nyenyak, bagaimana denganmu?)"Redelijk goed." (lumayan nyenyak)Ses
TBE 22Acara makan siang berlangsung dalam diam. Pikiran yang penuh membuatku kehilangan selera dan hanya mengaduk-aduk nasi dan lauk pauk. Sekali-sekali napas panjang kuhela dan diembuskan perlahan, berharap hal itu bisa mengangkat beban berat di pundak sekaligus menenangkan hati. Enggan untuk menghabiskan isi piring akhirnya aku menyudahi santap siang. Mengatur sendok garpu dengan rapi dan mengambil gelas berisi air teh hangat serta meneguknya beberapa kali. Aku memegangi benda kaca bening itu sejenak, lalu meletakkannya ke tempat semula. "Mau ke mana, Di?" tanya Bu Surti yang duduk di kursi seberang. "Ke kamar, Bu. Mau istirahat sebentar," jawabku. "Ibu mau bicara sebentar, kita ke ruang kerja, yuk," ajaknya sambil berdiri dan menjauh. "Vi, aku tinggal dulu, ya. Kamu nanti istirahat aja di kamar," tukasku pada gadis berparas separuh luar negeri yang masih menyantap hidangan dengan santai. "Aku mau ke t
TBE 58"Ini pertemuan kita yang terakhir, Anto," lirih Viana sembari mengurai pelukan dan menatapku saksama. "Kenapa?" tanyaku tanpa memutuskan pandangan. "Aku dan kakekmu sudah menyelesaikan urusan dunia, dan itu berkat bantuanmu. Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk terus berada di sini." Viana mengulaskan senyuman, kemudian berkata, "Meskipun vila itu milik orang tuanya Farid dan Johan, tapi harta di rumah kecil belakang adalah milikmu." "Aku tidak mau harta itu dan tidak akan pernah menggunakannya." "Kalau begitu, bagikan saja pada keluarga para korbannya Peter, terutama pada keturunan keluarga terakhir Kang Yayan. Anggap saja itu hadiah dariku." Aku menoleh ke kanan dan Risty mengangguk, seolah-olah memberikan kode agar aku menyetujui permintaan Viana. Kemudian aku menoleh ke kiri di mana Opick dan Johan serentak mengangguk seperti halnya Risty. Aku mengarahkan pandangan ke depan dan mengamati Viana sesaat. "Baik, akan kulakukan permintaanmu. Walaupun harus dilakukan satu
TBE 57Mobil tiba-tiba terdorong dan menabrak tunggul-tunggul pohon sebelum akhirnya berhenti di dekat saung kecil di sebelah kiri rumah. Aku memfokuskan pandangan pada segerombolan makhluk astral yang sepertinya tengah mempersiapkan penyerangan. Suara-suara aneh mereka perdengarkan dan membuatku merinding. Aura mistis terasa berat di sekeliling dan menjadikanku membatin bila mereka berhasil mengintimidasi. Aku terkesiap kala Opick dan Risty maju tiga langkah. Keduanya melakukan gerakan silat yang hampir sama secara berulang-ulang. Perlahan rasa hangat menguar dan menipiskan aura dingin dari pihak lawan. Aku mengambil lipatan kertas yang diselipkan di saku celana dan membukanya, lalu membaca doa yang diberikan guru dengan suara pelan. Gemuruh dari seberang menjadikanku waspada. Muncul rasa takut karena sepertinya pihak lawan mengeluarkan tenaga penuh. Aku membeliakkan mata ketika Risty dan Opick mengubah posisi tubuh hingga berhadapan. Mereka menyatukan telapak tangan kiri, sementar
TBE 56Malam kian larut. Aku mengajak Risty beristirahat di kamar depan. Sementara Johan dan Opick masih mengobrol di ruang tamu. Aku berbaring di kasur bagian kanan. Risty menyusul seusai mematikan lampu utama. Sinar lampu yang menembus lubang angin di bagian atas jendela membuat suasana kamar tidak terlalu gelap. Aku memiringkan badan ke kiri dan memegangi tangan Risty. Sesaat kami saling menatap, sebelum aku memajukan tubuh dan mengecup dahinya. "Perasaanku nggak enak," lirihku sembari menarik diri. "Sama. Kayak ada yang ngawasin kita dari baru nyampe sini," jawab Risty. "Iya. Entahlah ini cuma halusinasi atau bukan, tapi di pohon-pohon kayak ada sosok yang kelebatan." "Aku juga ngerasa gitu. Dan yakin banget itu bukan Viana. Karena dia menunggu di mobil." "Apa Johan dan Opick tahu, ya?" "Aku rasa mereka tahu. Makanya tadi Kang Opick bolak-balik ke mobil, terus ngucurin air doa dari guru ke sekeliling rumah." "Aku mau bergadang aja." "Jangan. Mas tidur aja karena harus rec
TBE 55Mobil yang dikemudikan Johan berhenti di depan pagar rumah besar model lama. Aku mengintip dari balik kaca, mengamati tempat yang diyakini bisa menunjukkan arah di mana sosok Peter Gantala berada. Gangguan demi gangguan serta kemunculan Viana beberapa waktu terakhir membuatku memutuskan bergerak mencari informasi pada orang yang mungkin bisa membantu. Saat aku menceritakan keinginan ke tempat ini, Risty, Johan dan Opick kompak menyetujui. Mereka tahu bila masalah yang tengah terjadi berawal dari sini dan harus diselesaikan di tempat yang sama. Sebab bila tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang. Seperti halnya vila, rumah ini adalah saksi bisu kehidupan Peter Gantala puluhan tahun silam. Opick dan Johan yang berada di bagian depan serentak turun. Aku beradu pandang dengan Risty sesaat sebelum membuka pintu dan keluar. Setelah menutup pintu kembali, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, demikian pula dengan yang lainnya. Aku menghela napas dalam-dalam dan melepaskannya sedi
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru
TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan
TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk
TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso