“Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda
Read more