Semua Bab DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU: Bab 61 - Bab 70

190 Bab

DICARI POLISI

61"Bukankah sudah Mas katakan, kamu tidak perlu ikut capek mencari Prisa? Tugasmu urus saja calon anak kita dengan baik, agar kelak tidak menjadi anak pembangkang!"Aku terperanjat, suara Mas Pandu meninggi seketika. Aku mematung, menatapnya tak percaya. Sesaat kemudian Mas Pandu mengusap wajahnya dengan kasar. Sepertinya dia menyesal sudah bicara dengan intonasi tinggi. "Apa Mas tidak seberharga ini? Sehingga anak sendiri membangkang. Istri juga tidak mau mendengarkan kata-kataku?" katanya lagi dengan frustrasi. Hatiku bagai teremas mendengarnya. Mataku panas. Aku meraih tangannya, lalu menciuminya dengan hormat. "Aldo sudah pernah bilang, jangan pernah membuat celah sekecil apa pun untuk dia masuk. Tapi, kenapa kamu yang mulai?" tanyanya lagi, kali ini sambil menatapku. "Kamu tahu betapa bangganya dia tadi saat mengatakan kamu sudah menghubunginya. Dan rencana awalnya berhasil untuk memancingmu menghubunginya. Bisa dipastikan setelah ini akan ada komunikasi selanjutnya." Suara
Baca selengkapnya

MENGAPA JADI BEGINI?

62Aku menangis meraung-raung dengan sisa tenaga yang ada. Bahkan tidak peduli dengan tetangga yang sudah menonton sedari tadi dan menatap iba. Sampai beberapa lamanya, aku hanya menangis meratapi suami, hingga tubuh terasa lemas. Si Mpok dan beberapa tetangga, membantu memapah tubuhku yang nyaris melorot ke lantai, hingga ke dalam rumah. Seseorang menyodorkan air minum. "Sabar, Mbak, mudah-mudahan Om Pandu bisa membuktikan jika dia tidak bersalah, karena saya tahu Om Pandu itu sangat menjaga hidup sehat." Seorang ibu yang rumahnya tepat di sebelah rumah kami mencoba menghiburku. Aku hanya mengangguk lemah. "Ya ampun, kenapa bisa begini, ya? Padahal Mpok selalu membersihkan semua vas bunga di rumah ini, bagaimana bisa ada narkoba di sana?" ujar si Mpok seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri. "Mpok, maaf HP saya," pintaku dengan suara lemah. Aku bermaksud menelepon ayah dan ibu. "Kasihan, ya, mana lagi hamil muda. Suaminya ditangkap.""Masa iya si Om ganteng pake narkoba, ya,
Baca selengkapnya

HAMPA

63 Ibu memaksa menyuapiku sambil terus mengomel, karena aku tidak kunjung menelan makanan dalam mulut.  "Ayo makan, Al. Ingat, sekarang kamu tidak sendiri. Ada cucu kami di dalam sana. Kasihan dia," bujuk ibu lagi setengah mengomel.  Ya, kalau tidak ingat ada kehidupan di dalam perutku,  rasanya malas sekali untuk sekadar menelan sesendok nasi. Aku terus saja teringat suamiku yang entah sedang apa di sana. Air mata mengalir lagi mengingatnya.  "Sudah, jangan nangis terus. Kan, Ayah sudah bilang besok bosnya mau bantu. Sekarang kamu fokus diri sendiri dan janin kamu dulu. Kamu tidak mau, kan, sesuatu terjadi dengan janinmu?” ujar ibu lagi diakhiri ancaman di akhir kalimatnya.  Ibu ngomong apa, sih? Anaknya sedang sedih malah ditakut-takuti. Aku mendelik, tetapi tak ayal membuka mulut lagi menerima suapannya.  Malam ini, ayah
Baca selengkapnya

DIA KEMBALI

64 Hampir sore saat suamiku pulang. Rasa rindu dan bahagia sudah membuncah dalam dada. Ditinggal sehari semalam olehnya rasanya bagai satu tahun. Aku lemah tanpa dia, bahkan hanya untuk memejamkan mata pun tak sanggup.  Sama halnya denganku, Mas Pandu pulang dengan penampilan sangat kusut. Walaupun pendar bahagia jelas tersirat karena telah bebas. Wajahnya pucat dengan lingkar kantung mata hitam jelas di bawah matanya. Bisa dipastikan dia pun tidak tidur sama sepertiku. 
Baca selengkapnya

PILIHAN SULIT

65"Prisa lahir dari rahimku, dia tetap anakku. Tak ada yang bisa menyangkal itu. Lalu, apa aku tidak boleh menemuinya? Dan sekarang, aku datang untuk membawanya pergi." Wanita itu bicara dengan begitu percaya diri. "Memang tak ada yang menyangkal kamu ibunya. Tapi pantaskah wanita yang sudah menelantarkan anaknya selama delapan belas tahun disebut ibu?" "Sudahlah, Pandu, tidak perlu berputar-putar. Aku akan membawa Prisa sekarang. Aku kasihan melihat kamu menyiksanya hanya karena sudah punya istri baru. Aku kasihan melihat hidupnya menderita. Aku sudah melihat dengan mataku sendiri kamu memukulnya.""Oh, silakan saja kalau dia mau ikut. Kamu pikir dia mau–”"Aku mau, Pa.” Terdengar Prisa menyela kalimat Mas Pandu dengan cepat. “Mulai sekarang aku mau ikut Mama. Agar Papa bisa bebas dengan istri baru Papa itu. Agar perempuan itu senang bisa menikmati harta Papa tanpa gangguanku.""Prisa!"Hening. Tak ada suara yang terdengar lagi. Aku memejamkan mata agar air mata tak keluar. Hati b
Baca selengkapnya

INI SAKIT

66Aku keluar dari kamar mandi, lalu duduk di tepi tempat tidur. Mas Pandu sudah berbaring telentang di sana sejak tadi, sepertinya dia sangat lelah. Entah apa yang terjadi di kantor polisi semalam. Belum lagi masalah Prisa yang membuat lelah jiwa raga. Pantaslah dia ingin beristirahat. Aku menatap wajah lelahnya walaupun sudah sedikit segar setelah mandi. Kubelai wajahnya lembut. Menyusuri setiap inci keindahan itu dengan jemari. Lalu, saat aku hendak menarik tangan, dengan cepat dia menyambarnya. Menahan agar telapak tangan ini tetap di wajahnya. "Kirain tidur.” Aku terkekeh pelan. "Maunya, sih, iya. Tapi, ada yang gangguin," jawabnya pelan masih dengan mata terpejam. "Siapa?" tanyaku pura-pura. "Entah, dia grepe-grepe wajah Mas," ucapnya lagi sambil tersenyum, tapi matanya tetap terpejam. "Cuma belai wajah pun, dibilang grepe," jawabku sebal. Dia membalikkan tubuhnya menjadi meringkuk dengan telapak tanganku menjadi bantal untuk pipinya. Tangannya merangkul pinggangku, sedan
Baca selengkapnya

BUKAN ARTIS

67Hari-hari sebagai istri Mas Pandu kujalani dengan sangat bahagia, walaupun tetap ada yang kurang. Prisa tidak ada dia di antara kami. Entah bagaimana kabarnya, sejak pergi tak pernah berkabar. Nomornya sudah tidak aktif. Mas Pandu tampak biasa saja, entah hatinya. Bukankah laki-laki lebih pandai menyembunyikan perasaannya? Tidak mungkin tetap baik-baik saat ditinggal anak yang sudah diasuhnya sejak kecil. Hatinya pasti terluka, tetapi mau bagaimana lagi? Yang terpenting nama Prisa selalu disebut dalam doa-doanya. Semoga di mana pun berada dia selalu sehat dan bahagia. Kehamilanku sudah memasuki bulan keenam. Rasa mual muntah sudah berkurang. Kata dokter, karena sudah trimester kedua, jadi morning sickness-nya sudah berkurang. Aku juga sudah beraktivitas normal, walaupun Mas Pandu selalu membatasi, demi bayi kami tentu saja. Pagi ini aku baru selesai memasak dibantu si Mpok. Sedikit-sedikit sudah bisalah, ya, aku memasak buat suami. Walaupun tentu jauh dengan masakan buatannya.
Baca selengkapnya

KEMBALINYA DIA

68Sore hari kami baru pulang setelah segala urusan di rumah makan dianggap lancar oleh Mas Pandu. Sebenarnya tempat usaha suamiku itu buka hingga malam. Namun, tidak semua harus suamiku yang urus. Sudah ada orang yang dipercaya bisa meng-handel semuanya. Kami pulang dengan hati bahagia. Mas Pandu tak henti memandang hasil USG yang sengaja kami minta cetak, dan dipajang di dashboard mobil selama perjalanan pulang. Cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai rumah, karena jam sibuk, macet dimana-mana. Aku sampai tertidur di jalan saking lamanya. Sebuah tangan menepuk pipiku pelan, disertai panggilan mesra di dekat telinga. "Sayang, sudah sampai. Ayo turun." Itu suara suamiku. Aku menegakkan kepala, lalu memicingkan mata. Merenggangkan otot-otot sebentar. "Pules banget tidurnya," goda suamiku sambil menyodorkan tangannya agar aku berpegangan padanya. Aku menerima ulurannya, lalu merenggangkan lagi otot-otot yang kaku karena terlalu lama duduk di mobil. "Kamu masuk duluan, Sa
Baca selengkapnya

SYARAT

69"Pa, aku mohon kasihanilah kami. Berikan sedikit tempat untuk Mama di sini. Demi aku, Pa. Putri kesayanganmu."Tangis Prisa begitu memilukan bagi siapa saja yang mendengar. Tangannya menggoyang-goyangkan kaki Mas Pandu yang dipeluknya. Ya, siapa pun pasti akan tersentuh melihatnya seperti itu. Terlebih suamiku, laki-laki berhati lembut. Seorang anak yang sudah dibesarkan dengan penuh perjuangan dan kasih sayang sejak bayi, sekarang bersimpuh di kakinya memohon dengan tangis menyayat hati, pastilah suamiku luluh.Sayang, kelembutan hati Mas Pandu menjadi kelemahannya di depan sang anak. Sesuatu yang kelak disesalinya. Tak ada yang berbicara lagi sampai beberapa lama. Hanya isak tangis Prisa yang terdengar di ruangan ini. "Baiklah, Papa izinkan ibumu tinggal di rumah ini," ucap Mas Pandu pada akhirnya membuat pundakku meluruh. Kalimat yang tidak mau kudengar itu keluar juga dari mulut Mas Pandu dan menggantung di ujung kalimat. "Tapi ...."Mata Prisa berbinar mendengarnya, ia bang
Baca selengkapnya

KEANEHAN

70Hari ini, rasanya berat sekali melepas Mas Pandu berangkat kerja. Inginku dia di rumah saja, menemaniku. Padahal dia juga sudah berangkat sesiang mungkin, karena aku terus saja menahannya. Namun, hari ini jadwalnya mengontrol cabang di tempat lain. Aku dilarang ikut, karena letaknya yang agak jauh di pinggiran kota. Di sebuah rest area lebih tepatnya. Takut capek katanya. Ya sudahlah, terpaksa aku menguatkan hati seandainya harus bertemu wanita itu di dalam rumah. Semoga dia tidak berbuat ulah. Prisa berangkat kuliah. Dan semoga wanita itu tidak keluar kamar. Namun, lagi-lagi harapanku salah, wanita itu sedang duduk santai di ruang tengah. Gayanya seolah dia nyonya rumah. Duduk santai dengan kaki ditumpangkan di atas kaki lainnya. Aku berjalan melewatinya, ingin ke ruang makan mengambil air minum. Aku memang tidak pernah menyuruh si Mpok untuk hal-hal kecil yang bisa dikerjakan sendiri. Selagi masih bisa, kenapa tidak? Hitung-hitung olahraga. Kasihan si Mpok, pekerjaannya sudah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
19
DMCA.com Protection Status