67Hari-hari sebagai istri Mas Pandu kujalani dengan sangat bahagia, walaupun tetap ada yang kurang. Prisa tidak ada dia di antara kami. Entah bagaimana kabarnya, sejak pergi tak pernah berkabar. Nomornya sudah tidak aktif. Mas Pandu tampak biasa saja, entah hatinya. Bukankah laki-laki lebih pandai menyembunyikan perasaannya? Tidak mungkin tetap baik-baik saat ditinggal anak yang sudah diasuhnya sejak kecil. Hatinya pasti terluka, tetapi mau bagaimana lagi? Yang terpenting nama Prisa selalu disebut dalam doa-doanya. Semoga di mana pun berada dia selalu sehat dan bahagia. Kehamilanku sudah memasuki bulan keenam. Rasa mual muntah sudah berkurang. Kata dokter, karena sudah trimester kedua, jadi morning sickness-nya sudah berkurang. Aku juga sudah beraktivitas normal, walaupun Mas Pandu selalu membatasi, demi bayi kami tentu saja. Pagi ini aku baru selesai memasak dibantu si Mpok. Sedikit-sedikit sudah bisalah, ya, aku memasak buat suami. Walaupun tentu jauh dengan masakan buatannya.
68Sore hari kami baru pulang setelah segala urusan di rumah makan dianggap lancar oleh Mas Pandu. Sebenarnya tempat usaha suamiku itu buka hingga malam. Namun, tidak semua harus suamiku yang urus. Sudah ada orang yang dipercaya bisa meng-handel semuanya. Kami pulang dengan hati bahagia. Mas Pandu tak henti memandang hasil USG yang sengaja kami minta cetak, dan dipajang di dashboard mobil selama perjalanan pulang. Cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai rumah, karena jam sibuk, macet dimana-mana. Aku sampai tertidur di jalan saking lamanya. Sebuah tangan menepuk pipiku pelan, disertai panggilan mesra di dekat telinga. "Sayang, sudah sampai. Ayo turun." Itu suara suamiku. Aku menegakkan kepala, lalu memicingkan mata. Merenggangkan otot-otot sebentar. "Pules banget tidurnya," goda suamiku sambil menyodorkan tangannya agar aku berpegangan padanya. Aku menerima ulurannya, lalu merenggangkan lagi otot-otot yang kaku karena terlalu lama duduk di mobil. "Kamu masuk duluan, Sa
69"Pa, aku mohon kasihanilah kami. Berikan sedikit tempat untuk Mama di sini. Demi aku, Pa. Putri kesayanganmu."Tangis Prisa begitu memilukan bagi siapa saja yang mendengar. Tangannya menggoyang-goyangkan kaki Mas Pandu yang dipeluknya. Ya, siapa pun pasti akan tersentuh melihatnya seperti itu. Terlebih suamiku, laki-laki berhati lembut. Seorang anak yang sudah dibesarkan dengan penuh perjuangan dan kasih sayang sejak bayi, sekarang bersimpuh di kakinya memohon dengan tangis menyayat hati, pastilah suamiku luluh.Sayang, kelembutan hati Mas Pandu menjadi kelemahannya di depan sang anak. Sesuatu yang kelak disesalinya. Tak ada yang berbicara lagi sampai beberapa lama. Hanya isak tangis Prisa yang terdengar di ruangan ini. "Baiklah, Papa izinkan ibumu tinggal di rumah ini," ucap Mas Pandu pada akhirnya membuat pundakku meluruh. Kalimat yang tidak mau kudengar itu keluar juga dari mulut Mas Pandu dan menggantung di ujung kalimat. "Tapi ...."Mata Prisa berbinar mendengarnya, ia bang
70Hari ini, rasanya berat sekali melepas Mas Pandu berangkat kerja. Inginku dia di rumah saja, menemaniku. Padahal dia juga sudah berangkat sesiang mungkin, karena aku terus saja menahannya. Namun, hari ini jadwalnya mengontrol cabang di tempat lain. Aku dilarang ikut, karena letaknya yang agak jauh di pinggiran kota. Di sebuah rest area lebih tepatnya. Takut capek katanya. Ya sudahlah, terpaksa aku menguatkan hati seandainya harus bertemu wanita itu di dalam rumah. Semoga dia tidak berbuat ulah. Prisa berangkat kuliah. Dan semoga wanita itu tidak keluar kamar. Namun, lagi-lagi harapanku salah, wanita itu sedang duduk santai di ruang tengah. Gayanya seolah dia nyonya rumah. Duduk santai dengan kaki ditumpangkan di atas kaki lainnya. Aku berjalan melewatinya, ingin ke ruang makan mengambil air minum. Aku memang tidak pernah menyuruh si Mpok untuk hal-hal kecil yang bisa dikerjakan sendiri. Selagi masih bisa, kenapa tidak? Hitung-hitung olahraga. Kasihan si Mpok, pekerjaannya sudah
71Sore ini aku menunggu Mas Pandu pulang dengan berjalan-jalan di halaman, sementara si Mpok menyirami halaman dengan riang. Dari tadi bibirnya selalu bersenandung kecil. Seperti janjinya, dia memang belum pulang. Padahal biasanya jam segini sudah pulang. Aku sedang bicara dengan suamiku di telepon. Dia kini mampir di supermarket, menanyakan apa aku ingin dibelikan sesuatu. Di luar gerbang, tampak Prisa keluar dari taksi online. Dia berteriak minta dibukakan gerbang, padahal sebenarnya tidak dikunci. Si Mpok dengan malas menyimpan selang dulu, lalu membukakan pintu gerbang untuk Prisa. "Lelet banget, sih!" omel Prisa.Aku yang masih menelepon hanya melirik mereka sekilas. Ternyata begitu sifat Prisa. Entah sekarang setelah banyak pengaruh, entah memang dari dulu begitu. Prisa berjalan tergesa melewati si Mpok dan dengan angkuhnya menuju pintu masuk. Lalu, saat melewatiku yang masih menelepon, dia dengan sengaja menabrak pundakku dengan keras hingga aku terhuyung dan hampir jatuh.
72Mas Pandu melepas kasar tangan wanita itu, kemudian mendorongnya hingga Santi terjejer beberapa langkah. "Enyah dari hadapanku sekarang juga! Ternyata selain rendah, kau juga tidak punya rasa malu!" teriak Mas Pandu pada wanita itu. Tangannya menunjuk pintu mengisyaratkan agar mantan istrinya segera keluar. "Dasar munafik kamu, Pandu. Padahal tadi kamu juga menikmatinya, kan?" lontarnya sinis. "Keluar! Atau kutendang sendiri?" ancam Mas Pandu dengan suara tinggi.Akhirnya dengan wajah merah padam Santi keluar dari kamar kami. Namun, sebelumnya dia sempat melemparkan tatapan mengejek padaku yang masih mematung seperti batu."Sayang ...." Mas Pandu menghampiriku yang masih mematung dengan dada turun naik cepat. Kepalanya terus menggeleng, wajahnya pucat pasi. Tangannya hendak meraih tanganku, tetapi sebelum sampai kutepis lebih dulu. Aku menggeleng dengan mata panas. Lalu, berjalan pelan menuju tempat tidur. "Sayang, Mas bisa jelas–""Mandilah," ucapku pelan tanpa melihat ke arah
73Pagi-pagi sudah ramai. Mas Pandu yang memerintahkan Si Mpok untuk segera membereskan barang-barang Santi yang masih juga bebal belum mau pergi. Prisa terus saja memohon belas kasihan untuk ibunya. Namun, kali ini suamiku tak bisa dibantah. Dia malah mengancam akan memanggil pengurus setempat kalau Santi tak kunjung pergi. Air mata Prisa sudah tak mempan sepertinya."Kalau kamu mau ikut pergi dengan ibumu, silakan. Papa lebih rela kehilangan seorang anak pembangkang daripada rumah tangga dan hidup Papa hancur untuk kedua kali," ucap suamiku tegas. "Cukup sekali wanita itu menghancurkan hidup Papa. Papa bukan keledai yang akan jatuh ke lubang yang sama dua kali."Prisa sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya menunduk dengan bahu meluruh. Sementara Santi yang duduk di sofa, mengepalkan tangannya keras, lalu menatapku marah. Ya, aku sudah keluar kamar lagi seperti biasa. Tidak ingin terlihat lemah di depan mereka dengan terus mengurung diri di kamar. Mereka akan tertawa senan
74"Sialan kau, Anak Kecil! Berani kau menantangku?" hardiknya seraya mengentakkan tangannya yang mencekalku.Dia merangsek hingga kakiku berada di ujung undakan. Aku meraih pegangan tangga dan mencengkeramnya dengan kuat agar tubuh tak terdorong. Tiba-tiba rasa takut menghantui. Namun, aku tak ingin menampakkan di depannya. Aku melirik ke arah pijakan, ternyata kakiku sangat di ujung undakan. Sekali saja dia mendorong, dapat dipastikan tubuhku akan terjungkal ke bawah.Dia masih mencekal tanganku dan sebelah tangannya kini mencengkeram kerah bajuku. Jarak kami begitu dekat. Tanganku semakin kuat berpegangan pada pegangan tangga. "Apa kau takut, Anak Kecil?" tanyanya menyeringai.Ya, jujur aku sangat takut dia akan nekat mendorongku, tetapi aku tak mau dia senang melihat ketakutanku. "Kenapa aku harus takut sama kamu? Apa kamu mau membunuhku?" tantangku lagi dengan segenap keberanian yang kupaksakan. Padahal kakiku sudah gemetar. Tangan yang mencengkeram pegangan tangga pun mulai m
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok