74"Sialan kau, Anak Kecil! Berani kau menantangku?" hardiknya seraya mengentakkan tangannya yang mencekalku.Dia merangsek hingga kakiku berada di ujung undakan. Aku meraih pegangan tangga dan mencengkeramnya dengan kuat agar tubuh tak terdorong. Tiba-tiba rasa takut menghantui. Namun, aku tak ingin menampakkan di depannya. Aku melirik ke arah pijakan, ternyata kakiku sangat di ujung undakan. Sekali saja dia mendorong, dapat dipastikan tubuhku akan terjungkal ke bawah.Dia masih mencekal tanganku dan sebelah tangannya kini mencengkeram kerah bajuku. Jarak kami begitu dekat. Tanganku semakin kuat berpegangan pada pegangan tangga. "Apa kau takut, Anak Kecil?" tanyanya menyeringai.Ya, jujur aku sangat takut dia akan nekat mendorongku, tetapi aku tak mau dia senang melihat ketakutanku. "Kenapa aku harus takut sama kamu? Apa kamu mau membunuhku?" tantangku lagi dengan segenap keberanian yang kupaksakan. Padahal kakiku sudah gemetar. Tangan yang mencengkeram pegangan tangga pun mulai m
75Aroma obat-obatan menyeruak memenuhi indra penciuman. Tubuhku terasa remuk redam. Samar-samar kudengar suara Mas Pandu sedang bicara.Di mana ini? Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Santi mendorongku dari pertengahan anak tangga yang lumayan tinggi. Hingga tubuhku jatuh terguling-guling ke bawah. Ya Allah, apa aku sudah mati? Apa ini alam kubur? Apa Mas Pandu sedang mengantarku ke pemakaman? Tubuh terasa kaku, sulit sekali untuk digerakkan. Apa aku benar-benar sudah mati? "Maaf, Pris, Papa sudah tidak bisa mentolerir ini. Ini kriminal, dan penjara adalah tempat yang pantas untuk ibumu." Terdengar suara suamiku sangat dingin. "Maaf, Pa, aku sudah berusaha mencegah Mama. Tapi, Mama kalap dan–""Sebenarnya kamu pun terlibat, dan seharusnya kamu pun sama dengan ibumu harus mendekam di penjara. Tapi, Papa tidak setega itu melaporkanmu."Hening. "Inikah yang kamu inginkan, Pris? Sebenarnya apa salah Alvina hingga kamu begitu membencinya? Bukankah dia sahabatmu? Bukan
76Aku berada di hamparan tanah lapang yang luas tanpa batas. Sejauh mata memandang hanya warna hijau yang terlihat. Tak ada siapa pun di sana hingga seorang anak lelaki gembil berusia sekitar tiga tahun berlari pelan ke arahku. Entah dari mana datangnya. "Bunda ...." Bibir mungilnya meneriakkan kata itu.Siapa yang dia maksud? Aku melirik ke segala penjuru, tetapi tak ada siapa pun di sana. Hanya aku dan dia. Dia semakin mendekat. Kaki-kaki mungilnya terus berlari ke arahku. Tangannya direntangkan. Hingga saat sampai, dia langsung memelukku penuh rindu. Aku yang semula hanya mematung, lama-kelamaan membalas pelukan anak itu. Hangat dan penuh cinta. Pelukan kami serasa pelukan ibu dan anak yang sudah lama terpisah. "Bunda," panggilnya lagi manja.Aku melerai pelukan, lalu menatap wajahnya yang terasa familiar, hanya saja ini versi kecilnya. Kuusap wajah mungil yang sedang menatapku penuh rindu itu, mata beningnya sungguh membuatku meleleh. Perlahan, seraut wajah muncul di balik pu
77"Apa yang harus Mas lakukan, agar kamu mau memaafkan Prisa?" tanyanya lagi. "Tidak ada. Besok antarkan saja aku pulang ke rumah ayah, dan Mas bisa kembali ke rumah kalian. Atau pesankan saja taksi, aku bisa pulang bersama ibu. Atau kalau mau solusi yang lebih simpel, kembalikan saja aku pada orang tuaku, agar kamu bisa fokus mengurus anakmu. Aku ikhlas, Mas." Aku menatap matanya tegas. Mas Pandu terperangah. Dia bangkit, lalu duduk di sisi brankar di sampingku. Tangannya meraih tanganku, lalu digenggamnya kuat. "Kamu bicara apa, Sayang? Jangan sembarangan bicara," ucapnya seraya menatapku tajam. Aku menggeleng. "Aku tak ingin selamanya membuatmu berada di persimpangan antara anak dan istri, Mas. Maaf, untuk saat ini aku benar-benar membenci anakmu, dan entah apa aku bisa memaafkannya. Bahkan aku tak sudi sekadar bertemu dengannya. Kalau kamu melepasku, kamu bisa fokus mengurusnya tanpa fokus bercabang,” tegasku. Aku sudah memikirkannya selama seminggu ini. Dan inilah keputusa
78Aku masuk ke kamar saat mamanya Aldo pamit. Mas Pandu terlihat berbaring di tempat tidurku yang kecil. Aku duduk di sampingnya dan menatap wajahnya yang lelah. Berada di persimpangan antara anak dan istri pasti lelah jiwa raga. Kasihan sebenarnya, tapi mau bagaimana? Dia juga tidak mau melepasku.Hingga beberapa lama aku hanya menatapnya. Wajah Mas Pandu terlihat lebih tua dari usianya. Di dahinya sudah ada sedikit kerutan. Lingkar hitam di bawah matanya tampak jelas. Pipi sedikit tirus menandakan bobot tubuhnya berkurang. Lalu, kumis dan cambang yang telat di cukur. Ah, suamiku terlihat jelek sekarang. Padahal dulu, waktu pertama bertemu, dia terlihat lebih muda dari usianya. Kasihan dia, beban ini begitu menyita hidupnya.Perlahan tanganku terangkat dan mulai menyentuh pelipisnya. Lalu, beralih menyusuri pipi hingga rahangnya yang kokoh. Terakhir, menyentuh bibirnya yang tertutup rapat."Maaf, Mas," ucapku lirih. "Maaf, telah membuatmu berada di persimpangan yang sulit. Andai kau
79Dari kamar terdengar obrolan ibu dengan Prisa yang masih juga berderai-derai air mata. Sepertinya, dia meminta maaf pada ibu. Namun, aku sudah tidak peduli. Setelah beberapa lama hanya tangis Prisa yang terdengar penuh penyesalan. Akan tetapi, benar-benar tak bisa menyentuh hatiku yang sudah terlanjur sakit. Bukan hanya peristiwa kehilangan bayi yang membuatku meradang, tetapi semua perbuatannya bahkan sebelum ibunya datang.Salahkah aku bila mendendam? Sementara ia tidak pernah memikirkan perasaanku saat berlaku buruk. Apakah hanya ia yang bisa bersikap buruk padaku? Hanya dirinya yang bisa setega itu? Aku juga bisa. Mas Pandu masuk ke kamar, lalu mendekat. Aku pikir dia akan marah. Aku sudah siap dengan kemungkinan seburuk apa pun."Sayang ...," panggilnya lembut. Aku diam tanpa menoleh. "Mas antar Prisa pulang dulu, ya. Dan mungkin malam ini tidur di sana, nemenin Prisa. Kamu tidak apa-apa, kan?"Aku hanya mengibaskan tangan ke arahnya tanpa menoleh, mengisyaratkan, pergilah.
80 "Mas, ngapain mau pipis pake teriak-teriak? Udah tahu banyak tamu," ucapku sambil melotot, takut terdengar dari luar. "Ya, mau gimana? Mas memang pengen pipis," jawabnya polos. "Tahan dulu, kek, nunggu tamunya pulang." "Tidak bisa, Sayang, ini udah di ujung. Masa harus ngompol di sini?" Aku berdecak kesal. "Iya, tapi di ruang tamu banyak temannya ibu." "Terus kenapa? Kita, kan, cuma lewat doang," katanya dengan wajah tanpa dosa. Duh, jadi pengen nyubit pake tang. "Malu, Mas. Nanti pasti mereka godain kita." "Ya, terus kenapa kalau digodain? Sama istri sendiri ini." Mas Pandu sengaja mengeraskan suaranya. Aku spontan membekap mulutnya sambil melotot. Dia melepaskan bekapan tanganku. "Ya udah ayo tuntun, Mas udah kebelet," ucapnya lagi dengan menyodorkan tangan. Dengan terpaksa aku memapahnya keluar kamar. Kamarku tepat berhadapan dengan ruang tamu. Jadi, saat mau ke kamar mandi yang letaknya di belakang, ya mau tidak mau harus melewati ruang tamu dulu. Sesuai dugaan,
81Aku melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya yang sejak tadi menatapku tak berkedip. "Assalamualaikum, Mas." sapaku geli melihatnya terus saja melongo. "Hallo, Mas Pandunya ada?" godaku.Dia mengerjap, lalu buru-buru menarik tubuhku agar menempel padanya. "Mas kira bidadari dari mana yang nyasar ke sini? Ternyata ini bidadari surgaku," katanya seraya memeluk tubuh mungilku."Mas, malu. Ini di luar. Nanti ada yang lihat," ucapku seraya berusaha keluar dari kungkungannya."Kalau begitu, ayo pindah ke dalam," katanya seraya mengangkat tubuhku dalam posisi tetap berdiri. Aku menjerit kecil karena kaget. Dia menurunkanku di ruang tamu, tangannya tidak melepaskan tubuhku. "Kamu cantik sekali, Sayang," pujinya lagi, matanya tak lepas menatapku. Aku tersipu. "Mas suka?""Tentu saja.""Apa aku boleh memakai kerudung selamanya?" tanyaku sambil tersenyum. Menatap wajahnya yang semringah sejak tadi. Perlahan wajahnya berubah dingin dan serius. Kenapa? Apa dia tidak mengizinkanku menutu
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok