Home / Romansa / Nafsu Gelap Sang Majikan / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Nafsu Gelap Sang Majikan: Chapter 101 - Chapter 110

317 Chapters

Chapter 101

Pagi tiba, pintu terbuka dari luar dan masuklah Andira ke dalam ruangan itu, dia melihat dan mendengar musik yang masih berbunyi, dengan pelan dia mematikan bunyi musiknya dan dengan lembut mulai membangunkan Martin. "Tuan. Anda harus bangun, sarapan pagi sudah siap." Dia sambil menepuk lembut wajah Martin. Mata itu perlahan terbuka, mata lelah yang masih ditempeli kacamata. "Anda bahkan tidak melepas kacamata Anda." Andira yang membantu Martin untuk terbangun dan duduk lebih tegak. "Aku tidak tertidur." Andira yang membersihkan meja dari tumpukan buku yang dijadikan banyak untuk kepala Martin kini terdiam sejanak. "Kenapa tidak tidur?" "Aku tidak bisa mengeluarkan mu bahkan hanya sedetik dalam benakku." Jawaban itu lemah namun membuat Andira menelan ludahnya dan kembali menyusun rapi tumpukan bukunya lalu kembali membatalkannya pada rak buku. "Anda seharusnya tidur Tuan. Tidak baik jika tidak." 
Read more

Chapter 102

"Ada apa denganmu?" Nadira bertanya, dia mengunjungi kelas adiknya hanya karena bosan di kelasnya. Saat bertemu dengan Randy dia sudah melihat Randy yang terlihat selalu merenung, teman-temannya pun mengatakan bahwa Randy sudah sejak pagi seperti itu. Karena itulah Nadira mengajak adiknya untuk keluar kelas dan pergi saja ke kantin, namun sama saja wajah dan sikapnya masih berbeda. "Kau ingin makan apa?" Nadira bertanya lagi. Namun Randy masih tidak menjawab. Karena sikap dingin dan diamnya, Nadira menyentuh kening adiknya itu, sama sekali tidak terasa panas. "Lama-lama kau seperti Papa, nggak bisa bicara," ucapnya sambil terkekeh. "Kau tahu, Kak Raisi dan Andira pacaran." "Apa?" Matanya membulat dan menganga. "Aku tidak seharusnya memberi tahu Papa." "Kau memberitahu Papa?" Perbincangan mereka kini lebih serius. "Aku memberitahunya, bagaimana kalau dia menghukum Kak Raisi? Dan juga meng
Read more

Chapter 103

"Tuan Muda, kenapa pulang lebih awal?" tanya si Satpam. "Aku tidak enak badan Pak," jawabnya pelan dan lemah. Pak Mamat yang juga berada di sana melihat orang yang harus dijemputnya ternyata sudah pulang. "Kenapa tidak telpon saya Tuan Muda, kan saya bisa jemput." Pak Mamat menyahut. "Jemput Kak Nadira saja sebentar Pak. Aku masuk ya Pak." Mereka berdua mengangguk, namun mata Randy tersangkut pada mobil ayahnya yang sudah siap namun sudah jam sebelas siang tapi belum berangkat. Dia menoleh dan bertanya lagi, "Papa belum pergi?" "Belum Tuan Muda, aku sudah siapkan mobilnya sejak tadi tapi dia belum keluar rumah," jawab Pak Mamat dan hanya dibalas anggukan serta senyum oleh Randy. Randy kembali berbalik dan berjalan ke depan, menyapa Pak Rana yang si tukang kebun yang tua sedang merapikan bunga-bunga. Dia masuk ke dalam rumah dan kembali mengunci rumah itu. Rumah yang selaku terkunci. Dia berjalan masuk dan
Read more

Chapter 104

Mereka bertiga menganga tipis, matanya membulat sesekali menelan ludah. Andira terpaku, dia hanya memeluk tubuhnya dan tak memandang lagi ke arah Randy, dia memandangi Martin yang juga terpaku di tempatnya. Martin yang baru tersadar kini turun dari meja dan buru-buru meraih pakaian yang terdapat di lantai dia melemparnya pada Andira untuk segera menutup dirinya. Sedangkan Martin dia mengenakan celana kain miliknya dengan sangat buru-buru dan Randy dia terpaku di tempatnya dan hanya menganga tipis tanpa bergerak sedikit pun. "Randy, Nak." Dia melangkah cepat ke arah pintu dan berusaha untuk menenangkan Randy yang gemetar di bingkai pintu, namun sebelum Martin sampai di hadapan Randy, anak itu sudah berlari dengan kencang menyusuri lorong. Martin mengejarnya, takut jika anaknya itu melapor atau mengatakan apa yang dilihatnya pada siapapun. "Randy! Berhenti!" Ma
Read more

Chapter 105

Andira yang masih berada di ruangan Martin Dailuna dengan sangat lemas dia mengenakan pakaiannya, dia menyentuh paha dan kemaluan miliknya yang berdarah. Bibirnya gemetar dan dia mulai menangis tubuhnya sangat gemetar. Dia duduk di atas lantai bersandar pada dinding meja. Dia memeluk tubuhnya dan terus menangis, dia terisak, dan terus terisak. Ada perasaan menyesal dalam dirinya, dia sangat menyesal berada di rumah itu. Dia juga menyesal telah membuka hati pada Martin Dailuna. Air matanya terus mengalir membasahi pipi-pipi cantiknya. Puas menangis, dia menghapus air matanya dengan sangat kasar, lalu berdiri, pakaiannya sudah lengkap pada tubuhnya, dan mulai membersihkan meja yang ternodai darah, serta lantai juga. Dia mengumpulkan pakaian Martin, dan keluar dari tempat itu. Saat berada di bingkai pintu, dia menatap masuk ke dalam ruangan dengan mata basah miliknya. Dia dengan pelan menutup pintunya dan berjalan turun dengan air mata yang terus menetes. Saat menuruni tangga dia mene
Read more

Chapter 106

"Ha? Papa mengatakan itu hanya untuk memanas-manasi ku bukan?" ucap Raisi berusaha untuk menahan emosi dan kekesalannya. Martin yang masih memandang ke arah Raisi hanya tersenyum, dia mengangguk-angguk pelan. "Kini kau bisa menahan emosimu, anak pintar." Sambil menepuk-nepuk punggung Raisi. "Jangan menyentuhku idiot." Raisi dengan sangat kesal dan berapi-api tanpa menatap ayahnya. Martin memilih untuk diam saja dan tersenyum tipis. Hampir saja dia membuat masalah dengan mulut brengseknya. Untungnya Raisi menganggap itu hanya perkataan yang tidak penting. Hatice sendiri menenangkan Sarah dan duduk di kursi tunggu. "Kapan aku bisa melihatnya?" tanya Sarah saat berhasil duduk di samping Hatice. "Setelah aku melihatnya!" Martin yang tiba-tiba menyahut. Memuat Raisi, Hatice dan Sarah menoleh ke arahnya. "Aku yang akan melihatnya, pertama. Sebelum kalian, ketika dia sadar." "Kau?… Sejak kapan kau peduli pada anakmu, ha?" Mata Sarah membulat sempurna. Kesal dengan apa yang dikatakan san
Read more

Chapter 107

"Kau lama sekali di dalam!" Sarah yang langsung berkata kesal pada suaminya. Dia melepas tangan Hatice dan masuk ke dalam kamarnya mengabaikan orang-orang yang ada di sana. Martin tidak membalas, dia hanya memandang Andira dan juga Nadira yang tiba-tiba datang."Apa yang dilakukan Andira di sini?" tanya Martin dan mendekat ke arah putrinya. "Non Nadira yang…""Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada putriku." Andira langsung diam dan menunduk, nada suara yang dingin dan terkesan mengejek membuat Andira yang sejak tadi sudah menangis kembali berkaca-kaca matanya. "Ouh Andira, aku menyuruhnya untuk ikut denganku ke sini, lagi pula dia sejak tadi terus menangis, aku pikir dia cemas terhadap Randy, jadi aku ajak saja," jelas Nadira. Hatuce memandang ke arah Andira yang terus menunduk, dia memperhatikan mata yang terlihat bengkak itu. Dan Martin yang mendengar apa yang dikatakan anak tengahnya itu dia langsung memandang ke arah Andira yang terlihat terus menunduk. "Aku lapar. Kau
Read more

Chapter 108

Air matanya masih saja mengalir, bahkan saat dia sudah bersama Martin. Mereka berdua sudah berada di atas mobil. Pak Mamat sendiri yang menjadi sopir dan Martin berada di belakang bersama Andira yang masih terisak. Pak Mamat yang menjadi sopir mereka hanya diam dan tak bicara apa-apa, melihat Tuannya juga diam, dan yang harus dia lakukan juga hanyalah diam. Martin memandang keluar jendela dan mengabaikan suara tangis Andira yang sedikit mengganggu. Namun suara tangis dan isakannya juga sangat-sangat menjengkelkan. "Sudahlah, menangis lah jika sampai di kamarmu. Aih… Bahkan istriku saja tidak menangis seperti itu," ucap Martin tanpa memandang ke arah Andira. Andira mulai berhenti meneteskan air mata namun suara isakan darinya masih terdengar jelas. "Aku… Aku melihat… Darahnya, aku terus mengingat darah itu." Andira, dia berkata dengan terbata-bata dan kembali menangis. Pak Mamat yang berada di depan merasa prihatin namun apa yang dilakukan Andira tidaklah baik, apalagi di hadapan T
Read more

Chapter 109

* Martin yang berjalan ke arah pintu dengan tubuh lemas dsn berusaha untuk tetap kuat. Ini semua adalah kesalahannya. Dia menyadarinya itu. Cinta yang dia inginkan adalah cinta yang akan menjatuhkannya ke dalam api. Dia membuka pintu yang sudah rusak itu, karena melihat pintunya yang rusak sesegera dia menelpon seorang tukang untuk memperbaikinya. Lalau dia masuk ke dalam rumah. Dia mengarah ke kamar Andira yang hanya tertutup setengah. Raisi sudah ada di sana, dia bercakap dengan Andira. "Raisi menunggunya di dalam kamar?" tanya Martin sendiri dengan suara kecil. Dia membukanya lebar, pintu itu dan melihat Andira dan Raisi menoleh ke arahnya. "Apa yang kau lakukan di kamar seorang pembantu?" tanya Martin, tatapannya langsung mengarah pada Raisi. "Kenapa Papa menguping di depan pintu kamar seorang pembantu?" Raisi bertanya balik, dan berdiri dari duduknya. "Saya ingin bertemu dengan Andira. Saya lapar, saya ingin dimasakkan sesuatu," jawab Martin dengan santai namun terdengar teg
Read more

Chapter 110

Ibrahim sudah mendapat kabar bahwa tidak akan ada makan malam di rumah Tuan Besar Dailuna, karena terjadi kecalakaan di sana. Ibrahim masih sangat penasaran kenapa Martin mengajaknya untuk makan malam. Karena rasa penasarannya dia menghubungi seseorang di rumah itu. Tentu saja mantan anak didiknya di kampus. Raisi.Namun Raisi sama sekali tidak mengangkat panggilannya, membuat Ibrahim merasa kesal."Apa kau tahu dimana anak Tuan Dialuna dirawat?" Ibrahim bertanya pada Fainah, sekretaris pribadi Martin."Seperti biasa, di rumah sakit adiknya. Hatice Hospital Dailuna," jawabnya dengan santai.Dia mengangguk-angguk, dan berkata lagi, "Aku ingin meminta izin, apa boleh? Aku ingin menjenguk anak Pak Martin…"Belum sempat mengatakan semuanya, Fainah terlihat memandang Ibrahim dengan kesal. Sudah sering kali dia meminta izin dan menggantinya dengan kerja lembur."Tenang saja, aku akan lembur lagi, aku akan kembali kemari sebentar okey," ucap Ibrahim saat dia menyadari tatapan tajam Fainah."
Read more
PREV
1
...
910111213
...
32
DMCA.com Protection Status