"Mama, ayo kita pulang, Mama?" Langit menarik pergelangan tanganku. "Kita pulang Mama … Usah risau, ada Mas Langit yang menemani Mama. Mas Langit akan selalu ada untuk Mama. Mana yang sakit Mama, mana yang sakit? Sini, biar Mas Langit obati?" Dengan air mata meleleh di wajah yang mulai berubah menjadi merah darah, Langit memperhatikan bekas tamparan Mamak di kedua pipiku. "Memar Mama, berdarah." Diam. Hanya itu yang mampu aku lakukan sekarang. Ah, bukan hanya sekarang sebenarnya. Seperti inilah aku di hadapan Mamak, Bapak dan Limas sedari dulu. Sejak masih kanak-kanak dulu. Diam, diam dan diam. Menahan segala sesak, pedih, sakit, kecewa dan amarah di rongga dada. Tanpa air mata karena ia hanya aku izinkan menetes ketika sendiri, di kamar yang gelap. "Sini Mama, Mas Langit tiup …?" lembut, hati-hati Langit memegang wajahku, meniup semua bekas tamparan Mama. Air matanya kian deras mengalir. "Kita pulang ya Mama, kita sembuhkan luka Mama di ru---""Orang baru datang kok, sudah mau pul
Terakhir Diperbarui : 2022-04-30 Baca selengkapnya