Tidak sampai tiga puluh menit, Mercedes merah milik Nia tampak memasuki halaman rumah mewah milikku. Sebenarnya, aku bisa saja pindah dari sini. Ke rumah yang tiga kali lipat lebih mewah dari ini. Karena Mas Heru mampu membelikannya, tapi lagi-lagi aku sayang membiarkan rumah peninggalan Papi ini dalam keadaan kosong. Di sini penuh kenanganku bersama Papi. Aku tak akan pernah mau pergi kemana pun. "Hei... Mukanya kok masam banget, kayak jeruk busuk," sapa Nia mendekatiku, kemudian kami berpelukan dan cium pipi kanan, cium pipi kiri. "Gimana ga masam, coba? Mas Heru tu sekarang berubah banget, sering pulang tengah malam. Dan kemarin aku periksa tas kerjanya, banyak banget tagihan belanja, Hotel, juga bill di Restoran mahal. Sementara, aku udah satu bulan ini nggak pernah minta temanin sama dia belanja, nggak pernah diajak dinner di luar, apalagi nginap di Hotel. Apa aku nggak boleh curiga sama dia, kalau udah gini?" cerocosku tak henti pada Nia yang baru saja datang.
Read more