Semua Bab Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa: Bab 151 - Bab 160

217 Bab

Menjaga Ketenangan Diri

Mantiko Sati bahkan tidak berusaha untuk menggapai sesuatu—atau apa pun itu, untuk mencegah tubuhnya tercebur. Ia berpasrah diri begitu saja.Dan ternyata genangan air itu semacam sumur tanah yang telah lama ditinggalkan sehingga keberadaan sumur tanah itu sendiri menjadi tidak terlihat sebab semak ilalang yang menutupi tepiannya.Sumur itu cukup dalam dari permukaan tanah, hanya saja airnya setinggi leher pemuda tersebut. Dari kesegaran air sumur itu sendiri, sang pemuda dapat menduga bahwa sesungguhnya air sumur itu cukup jernih.Terpikirkan satu hal, Mantiko Sati menenggelamkan tubuhnya seutuhnya ke bawah permukaan air sumur. Ia bahkan tidak memikirkan apakah di dalam sumur itu terdapat serangga beracun, atau justru ular beracun yang terjebak di sana.Tidak sama sekali, sebab tubuhnya itu sendiri adalah racun yang paling mematikan.Di bawah permukaan air itu, Mantiko Sati mengingat latihannya kala menahan napas di bawah aliran sungai di le
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Tuah Sakato

Di dekat bagian pertemuan aliran kecil dan sungai besar itu, ada seorang bocah sepantaran 10 tahun yang sedang memeriksa seutas tali rotan yang melintang panjang di tepian sungai besar itu. Setiap satu depa[1], terpasang tali yang lebih kecil dengan mata kail dan umpannya.Terkadang si bocah tersenyum lebar kala menemukan beberapa ekor ikan yang menyangkut pada rawai tersebut, ikan-ikan itu akan ia pindahkan ke dalam keranjang khusus yang ia seret-seret di sepanjang tepian sungai. Terkadang pula ia harus mendengus kecewa sebab tidak ada ikan yang menyangkut pada rawai yang ia angkat.Mantiko Sati tersenyum memerhatikan bocah tersebut sembari terus melangkah.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Tenang Seperti Telaga

“Ba—bagaimana kalau buaya besar tadi masih di sini?” sang bocah menelan ludah, kembali menggulung rawainya.“Kawasan sungai ini mungkin memang wilayah Inyiak Buayo tadi mencari makan,” ujar Mantiko Sati pula. “Bukan kesalahan dia jika dia terlihat muncul di kawasan ini.”Sang bocah tertegun, menatap lama pada pemuda rupawan itu. “Da—dari mana Uda bisa tahu?”“Bukankah sungai Batang Kuantan ini sungai yang besar?” ujar Mantiko Sati dan sibocah mengangguk. “Selain besar, juga liar, itu a
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Dari Hal Kecil

Pasar kecil itu tidak terlalu jauh, hanya berjarak sepeminuman teh saja ke arah barat dari rumah bocah sepuluh tahun tersebut.Di sana, Mantiko Sati belajar satu hal dari sang bocah. Dia yang masih di bawah umur, yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya, terlihat begitu antusias menawarkan ikan-ikan hasil tangkapannya sendiri pada setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya.Tidak ada meja di sana, hanya ada dua pelepah daun pisang yang digunakan untuk menuangkan ikan-ikan segar yang bahkan sebagian besar masih hidup itu di atas tanah.Meski kehidupannya begitu susah, namun senyum selalu mengembang di bibir bocah. Diam-diam, Mantiko Sati mengagumi hal itu darinya.Ya, tersenyum menghadapi kenyataan, tidak menyalahkan siapa-siapa akan buruknya takdir diri, adalah sebagian yang bisa dipelajari Mantiko Sati dari bocah bernama Talago itu.Benar, pikir sang pemuda, Talago memang setenang telaga.Dan tentu saja, kehadiran Mantiko Sati
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Bakti

Mantiko Sati menyempatkan diri mandi di sumur tanah yang ada beberapa langkah di belakang gubuk tempat tinggal Talago bersama ayahnya, sebab tubuh pemuda itu sendiri juga berbau anyir ikan, sementara bocah itu sendiri langsung membuat perapian dari susunan beberapa buah batu untuk memanggang empat ekor ikan yang tersisa.Dan ternyata, sang pemuda mengetahui bahwa Talago sudah tidak memiliki ibu. Jadi, praktis hanya bocah sepuluh tahun itu saja yang hidup berdua dengan ayahnya yang cacat.‘Seorang mantan Datuk Hulubalang Kerajaan, haa?’ pikir Mantiko Sati kala ia bebersih diri di sumur tanah. ‘Sepertinya aku bisa bertanya banyak hal pada beliau nanti.’Dari mulut Mak Utiah dan orang-orang yang ada di atas perahu besar kemarin, Mantiko Sati masih mengingat bahwa dari Tujuh Hulubalang Kerajaan yang lama, yang masih hidup hanya ada dua orang saja.‘Yang pertama adalah si Kuciang Ameh itu,’ pikir sang pemuda
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Si Kumbang Janti

“Talago mungkin bercerita padamu bahwa aku sebelumnya adalah seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar pria setengah baya pada Mantiko Sati.“Tapi, apakah itu benar?” tanya sang pemuda rupawan. “Aah, tidak. Saya seharusnya tidak bertanya seperti itu sebab sudah jelas bahwa hal tersebut adalah sebuah kebenaran.”Pada saat sekarang ini, Mantiko Sati hanya berdua saja di ruangan itu dengan ayahnya si Talago, sementara Talago sendiri telah tertidur pulas di kamar kecil yang satu lagi, bahkan ia tertidur sembari mengorok.Mantiko Sati tidak heran dengan hal tersebut. Apa yang bisa dikatakan? Dia masih sepuluh tahun dan harus bekerja keras melebihi kemampuannya sendiri demi menghidupi dirinya dan ayahnya, tentu semua itu telah menguras energinya sehari-hari yang berujung dengan istirahat, tidur dengan suara mengorok yang keras.“Kau pikir seperti itu?”Sang pemuda rupawan tersenyum, ia menghela na
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-19
Baca selengkapnya

Jangan Menunggu Esok

“Ya, kau tidak salah dengar,” Datuk Janti tersenyum tipis memandangi kedua tangan dan kakinya yang lumpuh.Mantiko Sati menelan ludah. Ia memerhatikan pula dua tangan dan kaki Datuk Janti yang menjadi lumpuh. Bola matanya berkilat seolah dilapisi cahaya tipis kebiru-biruan.Seakan memiliki kemampuan yang sama dengan si Harimau Putih Bermata Biru yang mengasuhnya selama sepuluh tahun, Mantiko Sati seakan mampu melihat menembus lapisan kulit, daging, otot, hingga ke tulang di kedua tangan dan kaki tersebut.Meskipun sesungguhnya, Mantiko Sati menganalisa semua itu berdasarkan luka yang ada di permukaan kulit tangan sang datuk, atau bentuk otot yang tak lazim yang menonjol, begitu pula dengan yang ada di bagian kakinya. Namun, dari hal itu saja, ia sudah mampu membaca semuanya.Sang pemuda melihat jelas bahwa kedua tangan pria paruh baya itu terdapat banyak bekas luka sayat. Hal yang dapat diperkirakan sang pemuda adalah kedua tangan sang datuk p
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-20
Baca selengkapnya

Naif

“Apakah Datuk membutuhkan minum?” tanya Mantiko Sati.“Tidak,” sahut pria paruh baya. “Duduk sajalah, dan dengarkan ceritaku.”“Baik,” sang pemuda mengangguk.“Sepuluh tahun yang lalu,” ujar Datuk Janti memulai ceritanya, “Paduko Rajo jatuh sakit, seiring berlalunya waktu, sakit Paduko Rajo tidak pernah membaik.”“Ermm, sepertinya saya pernah mendengar soal ini dari mendiang ayah saya.”“Ya, tentu saja,” Datuk Janti mengangguk-angguk. “Jika orang sebesar Paduko Rajo mengalami sesuatu, tentu kita yang rakyat Minanga ini akan mengetahui itu.”“Lalu?”“Telah banyak orang pintar yang didatangkan,” kata Datuk Janti. “Orang-orang sakti, namun tak satu jua dari mereka yang dapat mengobati penyakit Paduko Rajo, sedangkan kala itu Ratu Mudo baru berusia sembilan tahun.”“Begitu, ya?”
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-20
Baca selengkapnya

Orang yang Sama

“Dengar, Sati,” ujar Datuk Janti, “Masuga yang aku sebutkan tadi itu adalah orang yang sama dengan pemilik nama si Kuciang Ameh.”“Hah?!” bola mata si pemuda membelalak lebih lebar.Pria paruh baya terkekeh-kekeh.“Be—benarkah?”“Masuga itu nama aslinya dia, Sati,” kata sang datuk. “Dia bergelar si Kuciang Ameh. Di antara Tujuh Hulubalang Kerajaan yang ada pada waktu itu, termasuk aku sendiri, si Kumbang Janti, Masuga lah yang paling muda dan paling sakti di antara kami bertujuh.”“Ooh, dewa…” Mantiko Sati menunduk, dua tangan bersitekan ke lututnya. “Sungguh, selama ini, saya pikir… yaa, tidak ada yang bisa saya katakan selain bahwa pada kenyataannya diri ini masihlah terlalu mentah dalam mengenal dunia. Ooh, dewa… apa yang aku pikirkan? Datuk Janti benar, tidak seharusnya aku melangkahkan kakiku menuju istana Minanga.”
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-20
Baca selengkapnya

Pertalian Darah

“Talago tidak mengetahui itu,” ujar Datuk Janti. “Dia belum genap setahun kala itu terjadi.”“J—jadi, siapa yang membesarkan Talago?” tanya Mantiko Sati. “Maaf, maksud saya,” sang pemuda menelan ludah sembari menunjuk pada pria paruh baya. “Dengan kondisi Datuk sendiri, saya—”“Sebelumnya ada kerabat yang mengurus Talago dan aku,” Datuk Janti tersenyum, namun jelas di mata si pemuda rupawan senyuman itu diselimuti kepedihan. “Yaa, kau tentu memahami, tidak ada orang yang mau hidupnya terbebani, tidak dengan pria lumpuh sepertiku ditambah pula dengan mengurus seorang bayi.”Mantiko Sati menghela napas dalam-dalam. ‘Berat,’ pikirnya, ‘kehidupan yang dijalani Datuk Janti dan khususnya si Talago itu jauh lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan.’“Si—siapa yang begitu kejam melakukan semua itu kepada Anda, Datuk?”
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-21
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1415161718
...
22
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status