“Ya, kau tidak salah dengar,” Datuk Janti tersenyum tipis memandangi kedua tangan dan kakinya yang lumpuh.
Mantiko Sati menelan ludah. Ia memerhatikan pula dua tangan dan kaki Datuk Janti yang menjadi lumpuh. Bola matanya berkilat seolah dilapisi cahaya tipis kebiru-biruan.
Seakan memiliki kemampuan yang sama dengan si Harimau Putih Bermata Biru yang mengasuhnya selama sepuluh tahun, Mantiko Sati seakan mampu melihat menembus lapisan kulit, daging, otot, hingga ke tulang di kedua tangan dan kaki tersebut.
Meskipun sesungguhnya, Mantiko Sati menganalisa semua itu berdasarkan luka yang ada di permukaan kulit tangan sang datuk, atau bentuk otot yang tak lazim yang menonjol, begitu pula dengan yang ada di bagian kakinya. Namun, dari hal itu saja, ia sudah mampu membaca semuanya.
Sang pemuda melihat jelas bahwa kedua tangan pria paruh baya itu terdapat banyak bekas luka sayat. Hal yang dapat diperkirakan sang pemuda adalah kedua tangan sang datuk p
“Apakah Datuk membutuhkan minum?” tanya Mantiko Sati.“Tidak,” sahut pria paruh baya. “Duduk sajalah, dan dengarkan ceritaku.”“Baik,” sang pemuda mengangguk.“Sepuluh tahun yang lalu,” ujar Datuk Janti memulai ceritanya, “Paduko Rajo jatuh sakit, seiring berlalunya waktu, sakit Paduko Rajo tidak pernah membaik.”“Ermm, sepertinya saya pernah mendengar soal ini dari mendiang ayah saya.”“Ya, tentu saja,” Datuk Janti mengangguk-angguk. “Jika orang sebesar Paduko Rajo mengalami sesuatu, tentu kita yang rakyat Minanga ini akan mengetahui itu.”“Lalu?”“Telah banyak orang pintar yang didatangkan,” kata Datuk Janti. “Orang-orang sakti, namun tak satu jua dari mereka yang dapat mengobati penyakit Paduko Rajo, sedangkan kala itu Ratu Mudo baru berusia sembilan tahun.”“Begitu, ya?”
“Dengar, Sati,” ujar Datuk Janti, “Masuga yang aku sebutkan tadi itu adalah orang yang sama dengan pemilik nama si Kuciang Ameh.”“Hah?!” bola mata si pemuda membelalak lebih lebar.Pria paruh baya terkekeh-kekeh.“Be—benarkah?”“Masuga itu nama aslinya dia, Sati,” kata sang datuk. “Dia bergelar si Kuciang Ameh. Di antara Tujuh Hulubalang Kerajaan yang ada pada waktu itu, termasuk aku sendiri, si Kumbang Janti, Masuga lah yang paling muda dan paling sakti di antara kami bertujuh.”“Ooh, dewa…” Mantiko Sati menunduk, dua tangan bersitekan ke lututnya. “Sungguh, selama ini, saya pikir… yaa, tidak ada yang bisa saya katakan selain bahwa pada kenyataannya diri ini masihlah terlalu mentah dalam mengenal dunia. Ooh, dewa… apa yang aku pikirkan? Datuk Janti benar, tidak seharusnya aku melangkahkan kakiku menuju istana Minanga.”
“Talago tidak mengetahui itu,” ujar Datuk Janti. “Dia belum genap setahun kala itu terjadi.”“J—jadi, siapa yang membesarkan Talago?” tanya Mantiko Sati. “Maaf, maksud saya,” sang pemuda menelan ludah sembari menunjuk pada pria paruh baya. “Dengan kondisi Datuk sendiri, saya—”“Sebelumnya ada kerabat yang mengurus Talago dan aku,” Datuk Janti tersenyum, namun jelas di mata si pemuda rupawan senyuman itu diselimuti kepedihan. “Yaa, kau tentu memahami, tidak ada orang yang mau hidupnya terbebani, tidak dengan pria lumpuh sepertiku ditambah pula dengan mengurus seorang bayi.”Mantiko Sati menghela napas dalam-dalam. ‘Berat,’ pikirnya, ‘kehidupan yang dijalani Datuk Janti dan khususnya si Talago itu jauh lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan.’“Si—siapa yang begitu kejam melakukan semua itu kepada Anda, Datuk?”
“Pantas saja,” ujar Datuk Janti, “aku merasa pernah mendengar nama aslimu.”“M—maafkan ketidaktahuan diri ini tentang sejarah pertalian darah diri sendiri.”‘Dan itu berarti,’ guman sang pemuda di dalam hati, ‘Talago adalah adik sepupuku.’“Tidak, Sati,” sahut pria paruh baya, “ermm, Buyung—yaa, dewa… bahkan aku bingung harus memanggilmu apa sekarang. Tapi, jangan kau pikirkan. Aku ingin bertanya padamu, kabar yang aku ketahui dari mulut Masuga, bahwa Sialang Babega dan seluruh keluarganya terbunuh. B—bagaimana bisa kau selamat?”“Maaf,” Mantiko Sati juga tak mampu mengekspresikan perasaannya sendiri.‘Haruskah aku tersenyum dengan kenyataan bahwa Datuk Janti memiliki pertalian darah denganku? Atau aku harus menangisi nasib tragis keluarga kami ini?’“S—saya pun bingung harus memanggil Datuk sebagai
“Sungguh,” ujar Mantiko Sati, “saya tidak menduga sama sekali.”“Inilah yang dinamakan jalan takdir, Sati,” sahut Datuk Janti. “Kita manusia ini, hanya menjalani apa yang sudah digariskan. Baik dan buruk, tentu terletak pada bagaimana kita akan menyelesaikan satu persoalan yang ditakdirkan pada pundak kita.”“Jadi, Datuk yakin bahwasannya Datuk Masuga sama sekali tak hendak menipu Paduko Rajo sebelumnya itu?”“Tentu saja,” ujar pria paruh baya. “Kau akan mengerti andai kau bertemu langsung dengan laki-laki itu sendiri.”Sang pemuda menghela napas dalam-dalam. “Orang-orang di perahu itu malah memintaku untuk membebaskan Datuk Masuga.”Pria paruh baya tersenyum. “Itu sudah sewajarnya.”“Anda pikir demikian, Datuk?”Sang datuk tersenyum, ia memiringkan sedikit kepalanya. “Walaupun aku adalah Mak Adang bagimu, aku
Mantiko Sati menggeser kursinya, duduk lebih mendekat ke dipan bambu di mana Datuk Janti duduk bersandar.“Maaf,” ujar sang pemuda. “Apakah Datuk bisa bergeser lebih dekat?”Pria paruh baya tersenyum. “Tentu saja,” ujarnya. “Aku masih bisa beringsut, dua pahaku masih bisa aku gerakkan.”Sang pemuda mengangguk. Ya, ia bisa melihat itu sebab kenyataannya, dua paha sang datuk tidak mengalami luka atau cidera apa pun. Hanya bagian dari lutut ke bawah saja yang tidak berfungsi.“Maaf,” ujar sang pemuda, lagi.Datuk Janti benar-benar sangat terpesona dengan kesopanan pemuda rupawan itu. Dan kesenangan itu menjadi berlipat ganda sebab pemuda itu ternyata anaknya Zuraya dengan Sialang Babega, kemenakannya sendiri.Mantiko Sati meraih dengan penuh kehati-hatian kedua tangan Datuk Janti, ia menyelipkan setiap jari tangannya ke jari tangan sang datuk yang tidak mampu ia gerakkan.Sang p
Dan kini, Mantiko Sati bersiap pula melakukan pengobatan pada kedua kaki si Kumbang Janti, dimulai dari kaki kiri pria paruh baya tersebut.Hal pertama yang dilakukan sang pemuda adalah dengan mengembalikan posisi tempurung lutut itu sendiri, dan hal ini sama sakitnya dengan proses mematahkan tulang tangan itu tadi.Datuk Janti mengertakkan rahangnya demi menahan rasa sakit itu. Dan ketika pemuda itu melukai bagian lipatan lututnya dengan ketajaman tenaga dalamnya, sang datuk kembali berteriak kencang sebab merasakan bagian dalam kulitnya seperti terbakar oleh api yang sangat-sangat panas. Begitu juga yang terjadi pada kaki kanannya.Sementara si Talago hanya bisa membelalak ngeri menyaksikan bagaimana sang ayah begitu kesakitan sampai-sampai wajahnya memerah dan berkeringat.Namun semua dilakukan oleh Mantiko Sati dengan cepat. Dan kini, Datuk Janti terbaring di dipan bambu itu dengan napas yang turun naik. Sang bocah menyeka setiap keringat yang mengucu
“Ambillah pakaian itu, Sati,” ujar Datuk Janti. “Hanya itu yang bisa aku berikan padamu. Cobalah di dalam kamar, aku ingin melihat kegagahan putra Sialang Babega.”Mantiko Sati menghela napas dalam-dalam. Tentang bagaimana kehidupan di Kota Raja, tentulah si Kumbang Janti lebih tahu daripada dirinya, dan ya, pada akhirnya ia menerima pakaian tersebut.“Sebentar,” ujar sang pemuda dan kemudian berlalu ke dalam kamar.Tidak berapa lama kemudian, sang pemuda kembali. Tidak saja Datuk Janti yang terpukau, namun juga si bocah sepuluh tahun itu juga demikian.Baju itu memiliki bahan seperti kain beledu, laksana pakaian para panghulu yang tentunya cukup mahal. Memiliki warna hitam gelap dengan sulaman benang emas di bagian leher hingga ke dada, pada kedua ujung tangan—dan ujung baju itu sendiri, namun tidak terlihat sebab dibalut dengan sarung balikat—dan di ujung celana di dekat mata kaki. Juga ada rajutan benang
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a