Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.
Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.
Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.
Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Api berkobar dari sebuah rumah, membakar habis bangunan yang hanya terdiri dari papan dan atap dari susunan daun rumbia. Besarnya kobaran api bisa terlihat dari kejauhan.Areal di depan rumah itu, tergeletak beberapa jasad, bergelimpangan dengan kondisi tubuh yang mengenaskan, bersimbah darah.Ada tiga orang lainnya di sana yang berdiri tegak seolah mengabaikan rasa panas dari api yang berkobar-kobar.Seorang dengan menggenggam dua golok berkilat. Dua bilah golok itu sisi tajamnya masing-masing berlumuran darah. Darah-darah itu masih menetes di ujung golok yang mengarah ke tanah. Sosok yang satu ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, namun wajahnya tidak terlihat dengan jelas sebab tertutup tudung kepala yang menyatu dengan jubah pendeknya. Tudung dan jubah itu terbuat dari kulit dan bulu beruang coklat.Seorang lainnya bertubuh lebih kecil dari pria di sampingnya. Ia seorang wanita. Dan sebagaimana dengan pria di sampingnya, kepala d
“Dia tidak akan berlari jauh,” ujar sang wanita kepada Darna Dalun. “Tidak dengan kakinya yang terluka.”“Kau memang tidak punya hati,” sahut Darna seraya menyeringai.Wanita itu mendengus. “Lihat siapa yang bicara! Kau percaya itu, Rumada?”“Dia hanya menginginkan tanda khusus itu, Daro.”“Kau dengar itu?” Darna terkekeh.“Yang benar saja!” Daro mendengus lebih kecang. “Kau benar-benar terlalu lurus, Rumada, atau kau memang bodoh untuk menyadari?!”“Jaga ucapanmu, Daro!” Rumada menggeram. Dua bilah goloknya itu kembali ia sarungkan ke belakang punggungnya.“Kau bahkan mengancamku,” sahut Daro. “Apa kau tidak paham juga?”“Apa yang harus aku pahami?”“Angku Mudo hanya ingin bersenang-senang dengan istri Sialang Babega itu. Kau tidak bisa melihat ini, hemm?&rdq
“Bu, kumohon… jangan mengusirku!”Sekali lagi Zuraya memeluk sang anak, mengecup lagi keningnya dengan sangat dalam. Dan kemudian, ia mengikatkan satu ujung tali dari robekan kain sarung itu ke pinggang sang anak.Bocah laki-laki tujuh tahun itu tidak mengenakan baju, hanya celana komprang[1] berwarna hitam itu saja yang ia pakai.Meski Buyung Kacinduaan menangis dan menolak, namun sang ibu tetap mengikatkan tali tersebut ke pinggang sang anak.Setelah itu, dengan hati yang begitu masygul, Zuraya menurunkan sang anak dengan memegang kuat-kuat tali tersebut.“Turunlah, Sayang,” ujar Zuraya. “Ibu akan memegangi tali ini. Turun dengan hati-hati.”Meski menangis, sang bocah pada akhirnya mengikuti arahan sang ibu. Ia turun perlahan-lahan sembari berpegangan dengan tali dari kain sarung itu.Zuraya tahu pasti, panjang tali dari empat robekan kain sarungnya itu tidak akan mencapai dasar
“Percuma saja kau melarikan diri, Zuraya,” ujar Darna Dalun, dan kemudian ia berhenti sekitar lima langkah dari Zuraya. “Kalau hanya akan tertangkap juga pada akhirnya.”Zuraya tidak membalas ucapan pria muda itu yang bahkan lebih muda dari dirinya sendiri, namun sangat jelas di mata Zuraya bahwa Darna mungkin akan melakukan sesuatu yang kurang ajar kepadanya.Itu terlihat jelas dari raut wajah, tatapan dan seringai Angku Mudo tersebut. Meski kondisi sekitar sudah mulai gelap, namun Zuraya tidak buta untuk tidak menyadari hal tersebut.Sebenarnya, ini juga disebabkan Zuraya yang memiliki paras jelita yang membuat setiap laki-laki yang memandangnya langsung jatuh hati meskipun ia sedang hamil sekalipun.Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan kesenangan semudah itu, Darna.Utang darah dibayar darah, utang nyawa dibayar nyawa!Perlahan-lahan, Zuraya mengeluarkan sebuah benda berkilat dari balik pinggangnya. Sebuah senja
Zuraya masih melakukan perlawanan terhadap Angku Mudo Bakaluang Perak meski dengan hanya mengandalkan satu tangan kirinya saja sebab tangan kanannya tidak lagi bisa ia gerakkan. Tangan itu terkilir saat dipelintir oleh Angku Mudo tadi.Tapi, tentu saja, pukulan lemah dan tanpa keahlian apa-apa itu tidak berarti banyak bagi Angku Mudo sama sekali.Luka di bahu dan dada pria muda itu tidak ia pedulikan sama sekali meski darah sudah mengalir dari luka itu sendiri.Pukulan-pukulan lemah dari tangan Zuraya pun hanya semakin membuat Angku Mudo bernafsu. Dan ya, dua kali gerakan saja, maka pakaian Zuraya robek-robek tidak keruan.“Iblis…!” teriak Zuraya. “Terkutuk kau, Darna!”Angku Mudo menyeringai. “Mungkin kau benar, aku adalah seorang iblis. Tapi itu tidak masalah.”Sementara itu, Buyung Kacinduaan yang duduk memeluk lutut di dalam goa kecil di tebing tersebut mendengar jeritan-jeritan dari ibunya.
“Daro,” lagi-lagi Rumada menyentuh bahu wanita tersebut demi menenangkannya. “Sudahlah, jangan terlalu keras kepadanya.”“Kau juga sama, Rumada!” karena semakin merasa kesal, Daro pun memutar langkah dan berlalu dari tepi tebing tersebut, masuk kembali ke dalam hutan.Rumada mendesah panjang menatap kepergian Daro sembari bertolak pinggang, dan kemudian kepalanya tertunduk.“Sudahlah,” ujar Angku Mudo dan berhenti sejenak di samping Rumada. “Perempuan memang susah untuk dipahami. Lebih baik, sekarang kita tinggalkan saja tempat ini atau istrimu itu akan semakin mengamuk.”Rumada menyeringai. Dan seperti sebelumnya, sekali mereka begerak, tubuh keduanya langsung menghilang di dalam kelebatan hutan.Kembali kepada Buyung Kacinduaan yang meringkuk di dalam cekungan di dinding ngarai.Meski bocah tujuh tahun itu tidak lagi mendengar suara seseorang dari atas tebing sana, namun tidak sed
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.“Ibu…!”Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.“Ibu, tunggu aku, Bu…”Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lemb
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a