Zuraya masih melakukan perlawanan terhadap Angku Mudo Bakaluang Perak meski dengan hanya mengandalkan satu tangan kirinya saja sebab tangan kanannya tidak lagi bisa ia gerakkan. Tangan itu terkilir saat dipelintir oleh Angku Mudo tadi.
Tapi, tentu saja, pukulan lemah dan tanpa keahlian apa-apa itu tidak berarti banyak bagi Angku Mudo sama sekali.
Luka di bahu dan dada pria muda itu tidak ia pedulikan sama sekali meski darah sudah mengalir dari luka itu sendiri.
Pukulan-pukulan lemah dari tangan Zuraya pun hanya semakin membuat Angku Mudo bernafsu. Dan ya, dua kali gerakan saja, maka pakaian Zuraya robek-robek tidak keruan.
“Iblis…!” teriak Zuraya. “Terkutuk kau, Darna!”
Angku Mudo menyeringai. “Mungkin kau benar, aku adalah seorang iblis. Tapi itu tidak masalah.”
Sementara itu, Buyung Kacinduaan yang duduk memeluk lutut di dalam goa kecil di tebing tersebut mendengar jeritan-jeritan dari ibunya.
Sang bocah sangat mengkhawatirkan keselamatan ibunya. Hanya saja, ia sudah berjanji untuk tidak bersuara alih-alih memperlihatkan dirinya kepada orang-orang itu.
Tidak! Hentikan! Jangan sakiti ibuku!
Hentikan! Para dewa, bantu kami, bantu ibuku! Kumohon…
Semakin lama jeritan sang ibu terdengar semakin kencang di telinga Buyung Kacinduaan. Dan di antara suara jeritan parau itu, ia juga mendengar suara tawa seorang pria yang akan ia ingat untuk seumur hidupnya.
Ak—aku… aku pasti akan membunuhmu laki-laki biadab!
Menjauhlah dari ibuku…!
Setiap kali sang bocah mendengar jeritan sang ibu yang terkadang memaki seseorang dan terkadang pula memohon-mohon, setiap kali itu pula Buyung merasakan tubuhnya menggigil.
Menggigil demi menahan tangisnya sendiri, demi menahan amarah yang tidak terlampiaskan seiring air mata yang semakin menganak sungai di pipinya.
Pada akhirnya, sang bocah sudah tidak tahan lagi dengan suara jeritan sang ibu yang menyayat hati di atas sana itu. Ia menutup kedua kupingnya, menekan kuping itu kuat-kuat.
“Hentikan,” gumam Buyung yang bahkan nyaris tanpa suara yang terdengar. “Hentikan! Hentikan!”
Beberapa menit berselang dengan kondisi yang semakin mencekam bagi bocah laki-laki tujuh tahun itu sebelum akhirnya ia tidak lagi mendengar suara jeritan ibunya.
Dan baru saja ia melepas tangannya dari membekap telinganya sendiri, Buyung dikejutkan dengan satu sosok yang melayang jatuh.
Sang bocah membelalak lebar sembari menjulurkan tangannya. Meski kondisi gelap, namun ia dapat memastikan jika sosok yang jatuh tadi itu adalah ibunya.
Ibu!
Zuraya jatuh dengan kepala mengarah ke bawah, ia menjulurkan tangannya seolah-olah ia ingin menggapai ke arah goa kecil di mana anak sulungnya berada.
“Tetaplah hidup, Nak…” gumam Zuraya dengan air mata berlinang, berhamburan seiring kecepatan jatuh tubuhnya itu.
Tetaplah hidup!
Buyung nyaris saja berteriak kencang, untung saja ia masih mengingat janjinya kepada sang ibu, dan dengan cepat pula ia menutup mulutnya sendiri dengan dua tangan.
Ibu…!
Duhai para dewa-dewi, selamatkan ibuku…!
Buyung menjatuhkan kepalanya ke tanah, seolah bersujud kepada sang ibu yang sudah jauh berada di bawah sana.
Zuraya terhempas kencang di satu gundukan tanah yang tinggi di sisi tebing ngarai, lalu terpelanting dan membentur pohon sebelum akhirnya terhempas ke lantai ngarai.
Wanita malang itu terkapar di antara bebatuan besar tepian sungai. Tanda-tanda kehidupan semakin menghilang dari tubuhnya. Kelopak mata terbuka lebar, dari lubang hidung dan bibir yang pecah mengalir darah. Satu tangannya patah, darah juga mengalir deras dari selangkangannya, dan kedua kakinya itu juga patah.
Kondisi Zuraya benar-benar di ujung hayatnya. Pakaian di tubuhnya itu tak lagi sempurna.
Di atas tebing itu, Daro baru saja kembali dan dia tidak melihat Zuraya di sana lagi.
“Kau ke manakan wanita hamil itu?”
Angku Mudo Bakaluang Perak yang sedang memakai kembali celananya menyeringai, lalu memandang Daro dari ujung bahunya.
“Kau menemukan anak laki-laki itu?”
“Jawab dulu pertanyaanku!” sahut Daro dengan bola mata membesar.
“Hei,” Rumada menyentuh bahu wanita tersebut. “Jangan khawatir. Angku Mudo tidak membunuh istri Sialang Babega. Tapi, justru wanita itu sendiri yang melompat dari tebing.”
“Jadi?” Ya, memang itu yang dicemaskan oleh Daro. “Dia bunuh diri?”
“Begitulah,” Angku Mudo terkekeh, “dia melompat setelah bersenang-senang denganku.”
Luka di bahu dan di dada pria muda itu tidak lagi mengucurkan darah. Sebelumnya, ketika dia akan memperkosa Zuraya, Angku Mudo masih menyempatkan diri untuk menotok beberapa titik darah di sekitar lukanya itu.
“Tidak ada orang yang bersenang-senang dan kemudian melompat bunuh diri.”
“Itu hanya perumpamaan,” Angku Mudo menyambar bajunya dan mengenakan baju itu kembali. “Kau tidak bisa diajak bercanda sama sekali. Menyedihkan!”
“Peduliah sedikit, Angku Mudo,” ujar Daro pula seraya melipat kedua tangannya ke dada. “Aku mengkhawatirkan dirimu. Siapa yang bisa menjamin bahwa kau pada akhirnya tidak akan membunuh seorang wanita, hemm?”
“Tenang saja,” kata Angku Mudo. “Itu tidak akan terjadi.”
“Terkutuk kau, Angku Mudo.”
Pria muda terkekeh. “Ya, aku memang sudah terkutuk dengan tidak bisa membunuh wanita. Ini menyedihkan.”
“Dan aku bersyukur untuk itu,” sahut Daro. “Karena kau, pasti bermaksud akan membunuhku juga, cepat atau lambat. Apa aku salah?”
Tawa Angku Mudo semakin menjadi-jadi. “Kau adalah guruku, Daro. Kenapa kau berpikir seperti itu terhadapku?”
“Karena aku tidak suka dengan sifatmu yang selalu melecehkan perempuan!”
“Daro,” lagi-lagi Rumada menyentuh bahu wanita tersebut demi menenangkannya. “Sudahlah, jangan terlalu keras kepadanya.”“Kau juga sama, Rumada!” karena semakin merasa kesal, Daro pun memutar langkah dan berlalu dari tepi tebing tersebut, masuk kembali ke dalam hutan.Rumada mendesah panjang menatap kepergian Daro sembari bertolak pinggang, dan kemudian kepalanya tertunduk.“Sudahlah,” ujar Angku Mudo dan berhenti sejenak di samping Rumada. “Perempuan memang susah untuk dipahami. Lebih baik, sekarang kita tinggalkan saja tempat ini atau istrimu itu akan semakin mengamuk.”Rumada menyeringai. Dan seperti sebelumnya, sekali mereka begerak, tubuh keduanya langsung menghilang di dalam kelebatan hutan.Kembali kepada Buyung Kacinduaan yang meringkuk di dalam cekungan di dinding ngarai.Meski bocah tujuh tahun itu tidak lagi mendengar suara seseorang dari atas tebing sana, namun tidak sed
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.“Ibu…!”Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.“Ibu, tunggu aku, Bu…”Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lemb
“Dewa…!” Buyung menjerit ke langit tinggi. “Ibu…” dan lantas tertunduk dengan air mata berderai jatuh ke bumi. “Ma—maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menemukanmu. Maafkan aku, Bu…!”Bagaimanapun, ia tahu ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dan tangis menggelegar itu adalah bentuk pelampiasan dari itu semua. Raungan panjang yang merobek keheningan malam buta di dasar lembah Ngarai Sianok.Setelah tangis itu mereda, sang bocah perlahan-lahan kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya menuju selatan.Jauh melangkah di antara bebatuan yang ada di tepian sungai, terkadang tidak sengaja ia menginjak sisi tajam dari batu-batu yang pecah dan terpaksa ia berguling lagi demi menahan rasa sakit di telapak kakinya.Sampai pada satu titik, titik di dasar lembah yang begitu rimbun dengan begitu banyaknya bayangan hitam dari lebatnya pepohonan, Buyung Kacinduaan meliha
Sang harimau menggeser posisi sang bocah yang tertelungkup di telapak kakinya. Sedikit salah perhitungan saja, maka, kuku-kuku harimau yang melengkung tajam itu pasti sudah menembus dada dan perut Buyung Kacinduaan. Setelah memposisikan tubuh sang bocah sedemikian rupa, sang harimau besar kembali melanjutkan menyantap kijang yang telah ia tangkap sebelumnya itu. Sesekali, harimau itu melirik ke arah sang bocah yang pingsan di sampingnya. Merasa kenyang, sang harimau bangkit, lalu meninggalkan kijang yang telah tinggal setengah itu, meninggalkan sang bocah begitu saja. Sang harimau menuju tepian sungai dangkal. Di tepian itu, binatang buas tersebut minum dengan sorot matanya yang liar pertanda ia sedang siaga kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saja membahayakannya yang sedang bersembunyi di satu tempat di tengah kegelapan. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa di sekitar sana. Sang harimau mengibas-ngibaskan kepala dan lehernya sedemikian rupa. Seolah-olah
Plekh! Gerakan tangan Sutan Kobeh kali ini justru sengaja ditahan oleh Darna Dalun. Pemuda itu dengan cepat telah berhasil menangkap pergelangan tangan sang ayah sebelum tangan itu untuk kedua kalinya mendarat ke pipinya, pipi yang masih terasa perih dan dengan telinga yang berdenging. “Kau berani melawanku, Darna!” hardik Sutan Kobeh yang semakin larut dalam kemarahannya terhadap sang anak. “Ayah, tolong,” ujar Darna Dalun sembari melepaskan pegangannya pada tangan sang ayah. “Dengarkan aku untuk sekali ini saja.” Sutan Kobeh membanting tangannya itu, memukul udara kosong, sekencang mungkin, demi melampiaskan kemarahannya. Darna Dalun menghela napas lega. Paling tidak, ia merasa sang ayah sudah lebih bisa diajak bicara. Atau pula, sang ayah telah menyadari bahwa sesungguhnya, tenaga dalam yang dimiliki Darna Dalun justru telah menyamai tingkat tenaga dalam sang ayah sendiri. Sang pemuda menyembunyikan seringainya. “Tiga purnam
Sang istri pun merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Untuk sesaat, Sutan Kobeh masih menggendong putrinya, dan satu tangannya mengusap kening sang istri.“Maafkan aku…”Sang istri tersenyum. “Aku tahu,” ujar sang istri, “aku tidak berhak untuk berkata ini padamu, Suamiku.”“Karena Darna bukan anakmu?”“Benar,” ujar sang istri pula. “Tapi, bisakah kau tidak beringan tangan kepada putramu sendiri, Suamiku?”Sutan Kobeh menghela napas dalam-dalam. Ia tahu, putrinya yang dalam gendongannya itu belumlah tidur, jadi, ia menahan ucapannya untuk mengatakan perihal bunuh membunuh keluarga Sialang Babega yang dilakukan Darna Dalun sebelumnya.Ya, tidak baik bagi anak kecil untuk mendengar hal mengerikan seperti itu.Kembali Sutan Kobeh mengusap kening sang istri tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan istrinya tersebut. Ia membaringkan putri kecilnya itu di tenga
Sisa-sisa api masih terlihat pada puing-puing menghitam dari rumah Sialang Babega. Puing-puing itu telah ambruk ke tanah, dan ya, masih mengepulkan asap di sana-sini. Bahkan, masih saja ada bara yang menyala.Mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana, termasuk mayat Sialang Babega sendiri.Tidak ada tetangga yang berani mendekat ke areal rumah yang telah terbakar habis itu, tidak seorang pun. Selain karena jarak satu rumah ke rumah lainnya memang cukup berjauhan, juga lantaran disebabkan sore sebelumnya itu mereka tahu bahwa ada perkelahian di rumah tersebut.Para tetangga Sialang Babega yang rata-rata adalah petani dan pencari kayu bakar di hutan—dan itu artinya, mereka tidak membekal ilmu silat apa pun—memilih untuk tidak ikut campur. Sehingga, tiada seorang tetangga pun yang tahu siapa yang kali ini berkelahi dengan Sialang Babega.Padahal, sebagai Wali Jorong, Sialang Babega cukup terkenal baik dan ramah pada para tetan
Hingga subuh menjelang pagi, ketika selimut gelap sang malam tak lagi mampu membendung cahaya sang mentari, Rumada dan Daro tetap berada di atas pohon yang lebat itu. Mereka tetap mengawasi dua orang pria di bawah sana.Semakin terang langit, semakin ramai para tetangga yang berdatangan ke lokasi rumah Sialang Babega yang kini hanya tersisa puing-puing hitam yang masih saja mengepulkan asap tipis.Orang-orang yang berdatangan itu langsung membantu dua orang yang telah lebih dahulu berada di sana.Mereka mengumpulkan jasad-jasad mengenaskan itu. Terlebih lagi, pada jasad Sialang Babega. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang muntah-muntah dan terpaksa menjauh atau melakukan hal lain selain harus mengurusi jasad yang satu itu.Dan sampai sejauh itu, Rumada dan Daro tidak melihat seorang pun orang-orang dari Kerajaan Minanga.“Kurasa orang-orang itu tidak akan datang,” bisik Daro pada Rumada. “Sutan Kobeh dan Darna hanya terlal
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a