Hingga subuh menjelang pagi, ketika selimut gelap sang malam tak lagi mampu membendung cahaya sang mentari, Rumada dan Daro tetap berada di atas pohon yang lebat itu. Mereka tetap mengawasi dua orang pria di bawah sana.
Semakin terang langit, semakin ramai para tetangga yang berdatangan ke lokasi rumah Sialang Babega yang kini hanya tersisa puing-puing hitam yang masih saja mengepulkan asap tipis.
Orang-orang yang berdatangan itu langsung membantu dua orang yang telah lebih dahulu berada di sana.
Mereka mengumpulkan jasad-jasad mengenaskan itu. Terlebih lagi, pada jasad Sialang Babega. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang muntah-muntah dan terpaksa menjauh atau melakukan hal lain selain harus mengurusi jasad yang satu itu.
Dan sampai sejauh itu, Rumada dan Daro tidak melihat seorang pun orang-orang dari Kerajaan Minanga.
“Kurasa orang-orang itu tidak akan datang,” bisik Daro pada Rumada. “Sutan Kobeh dan Darna hanya terlal
“Inyiak Tuo,” ujar Darna Dalun sembari mengambil ancang-ancang langkahnya sendiri. “Tolong, jangan teruskan!”Harimau putih kembali menggeram, perlahan-lahan ia justru mendekati Darna Dalun yang melangkah mundur.Bersamaan dengan itu, Buyung Kacinduaan pun terbangun dari tidurnya—atau, lebih tepatnya disebut; siuman dari pingsan semalaman.Lalu, ia mendengar suara geraman kencang dari seekor harimau, juga, suara yang sempat ia rekam di dalam kepalanya sebelum ini.Ia mencoba bangkit, lalu, dari balik semak belukar yang lebat dan tinggi itu, sang bocah melihat sosok Darna Dalun.Hanya saja, bersamaan dengan ia melihat sosok pemuda itu, sang bocah langsung menunduk. Menyembunyikan dirinya di balik kerimbunan semak belukar tersebut.Buyung terlihat begitu cemas. Bagaimanapun, ia tahu, pria itulah yang sebelumnya bertarung dengan ayahnya, Sialang Babega. Dan pria itu juga yang telah menyebabkan ibunya terjun dari at
Harimau putih bermata biru berdiri mematung sembari menatap Buyung Kacinduaan yang masih bersujud menahan tangisnya. Kedua tangan bocah itu semakin kotor oleh tanah hitam. Dan saat sang bocah menyadari ada satu sosok yang sedang memerhatikannya, ia pun mengangkat wajahnya. Buyung Kacinduaan sempat terkesiap, namun ingatannya kembali ke malam tadi. ‘Benar, i—itu harimau yang sama. Ta—tapi, kenapa putih? Kenapa matanya berwarna biru?’ Seolah ingin mengadukan nasibnya yang malang, sang bocah kembali menjulurkan tangannya untuk bisa menyentuh wajah sang harimau. Sang bocah, sudah terlihat seperti seseorang yang kehilangan gairah kehidupannya. Pasrah meski hati tak rela begitu saja. ‘Biarlah, jika aku harus mati menjadi mangsa dari harimau putih ini, mungkin itu lebih baik sebab aku tidak tahu lagi harus menumpang hidup pada siapa? Harus bergantung kepada siapa? Konon pula untuk membalaskan dendam orang tuaku…’ Seperti malam kemarin itu, sa
Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak mengentakkan tinjunya ke permukaan bebatuan, asap tipis mengepul dari kepalan tangannya itu. Sorot matanya menegang dan memerah, ia menggeram kencang laksana seekor harimau yang sedang terluka.“Tidak bisa tidak!” gumam Darna dengan semakin bertambah geram. “Pasti ini abu sisa pembakaran Zuraya! Jahanam…!”Darna bangkit seraya mencakar dan menerbangkan sejumlah bebatuan kerikil ke berbagai arah, tubuhnya berputar sedemikian rupa diiringi teriakan menggelegar dari mulutnya.“Seseorang pasti telah menemukan tanda khusus itu!”Darna kembali menatap sisa abu yang memang adalah sisa-sisa dari tubuh Zuraya yang terbakar. Meski tiada secarik pakaian pun yang tersisa di sana, tidak pula sekepal daging, sejumput rambut, atau juga sejengkal tulang yang bisa dilihat oleh Darna Dalun.Hanya saja, pemuda itu sangat yakin bahwa seseorang telah membantu mengkremasi jasad Zuray
Buyung Kacinduaan mencoba untuk tenang meski rasa perih laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum di sekujur tubuhnya itu tidak mungkin ia abaikan begitu saja. Akan tetapi, dengan menyadari kaki harimau putih itu yang menahan dadanya, Buyung berpikir, ‘Mungkin saja Inyak ingin menyembuhkan luka-luka di tubuhku.’Semakin lama berada di bawah permukaan air, semakin membuat sang bocah merasakan dadanya tak sanggup lagi menahan rasa sesak yang ada. Ia merasa paru-parunya harus segera diisi udara yang segar.Buyung pun akhirnya meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari tekanan kaki sang harimau putih.Begitu sang bocah merasa tekanan kaki hewan buas itu di dadanya telah berkurang, ia pun segera muncul kepermukaan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.Tapi itu hanya untuk sesaat saja, sang harimau kembali menggunakan kaki depannya itu untuk membuat Buyung Kacinduaan tenggelam ke bawah permukaan air.Beberapa saat kemudian sang bocah muncul lagi
Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa jauh ia memasuki gua itu, sudah hitungan berapa langkah ia menapaki lantai gua yang terasa berbatu-batu tapi juga sekaligus licin itu.Tidak sama sekali.“Inyiak?” panggil sang bocah seraya terus melangkah di tengah kegelapan yang absolut.Bahkan, ketika sang bocah mencoba menoleh ke belakang, ia sama sekali tidak melihat mulut gua. Dan itu artinya, gua itu pastilah berliku-liku, pikir sang bocah.“Inyiak?”Dan kembali terdengar suara lenguhan pendek itu, Buyung mencoba mengingat-ingat dari sudut mana suara itu berasal.Tuk!Buyung menjerit, namun detik selanjutnya ia mengatupkan mulutnya. Ia tidak tahu benda apakah gerangan yang barusan ia tendang itu, tapi yang jelas, ia merasakan sakit luar biasa pada jari kakinya.Hanya saja, Buyung mencoba bertahan untuk tidak sampai jatuh dengan berpegangan ke dinding gua berdasarkan instingnya saja.Sang bocah mungk
“Ap—apa yang harus aku lakukan terhadap makhluk-makhluk ini, Inyiak?” Buyung Kacinduaan mengumpulkan cacing-cacing pipih bercahaya itu di tangan kirinya. Untuk sesaat, Buyung marasa takjub dengan cahaya kebiru-biruan yang terkadang terlihat redup sedang yang lainnya malah terlihat benderang, di telapak tangannya itu. “Inyiak?” kembali padangan sang bocah tertuju pada sang harimau. Harimau putih melenguh pendek satu kali. Dan bocah itu masih tidak memahami apa yang diinginkan sang harimau. Makhluk buas itu mendekati sang bocah, kembali ia melenguh, menyentuhkan batang hidungnya ke tangan kiri sang bocah yang berisi cacing-cacing bercahaya itu. Mungkinkah Inyiak memintaku memakan cacing-cacing ini? gumam Buyung Kacinduaan di dalam hati. Bola mata sang bocah membesar menatap makhluk-makhluk bertubuh lunak di telapak tangannya, dan kembali memandang ke dalam bola mata sang harimau yang memantulkan cahaya biru dari cacing-cacing yang ada di
Sang bocah terlihat hening, tidak ada pergerakan sama sekali dari tubuh yang menelentang di permukaan air itu, tidak pula gerakan dada sebagai penanda ia masih hidup.Tidak sama sekali.Sepasang mata itu memang terbuka, bahkan tidak berkedip sama sekali. Tidak ada pergerakan di sana. Pupil mata itu terlihat membesar.Detik selanjutnya, seiring pupil mata itu kembali ke ukuran semula, sang bocah seperti baru saja bangkit dari kematian. Ia menghela napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya.Namun, justru hal itu membuat dia terbatuk-batuk. Buyung Kecinduaan bangkit, terbatuk-batuk lagi. Lalu…Hoeck!Ia muntah. Muntah sebanyak-banyaknya di aliran air tersebut. Meski ia merasakan perutnya melilit disebabkan karena perut itu kosong dan kini harus kembali muntah-muntah, tapi ia tidak peduli. Sang bocah terus saja mengeluarkan muntahnya.Ia tidak dapat memastikan warna muntahannya itu sebab ruangan di dalam gua itu tidak memili
Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, lalu perlahan kelopak mata itu terbuka. Buyung Kacinduaan berdiam diri untuk sesaat. Dan setelah semua kepingan peristiwa kembali memenuhi ingatannya, barulah bocah tujuh tahun itu bangkit. Ia meringis, merasakan seluruh persendian di tubuhnya seolah lepas.Ia begitu lemah dengan perut yang kempis. Terduduk berselonjor kaki di atas tanah berumput tebal.Sang bocah mengingat jelas rentetan peristiwa menyakitkan yang ia alami. Mulai dari kedatangan Darna Dalun ke rumah orang tuanya itu, lalu terjadi pertikaian, satu per satu penghuni rumah yang roboh ke tanah, ia yang harus melarikan diri bersama ibunya yang sedang hamil besar. Sampai pada kejadian di tebing ngarai, ia yang menyaksikan sang ibu jatuh, lalu ia sendiri pun terjatuh.Kemudian ia bertemu dengan harimau besar yang ternyata berwarna putih dengan matanya yang biru terang. Dibenamkan ke dalam sungai hingga berkali-kali, dan terakhir, yang ia ingat ad
Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b
Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be
Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai
“Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh
Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat
“Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada
“Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d
Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi
Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a