공유

Pengobatan Kedua

작가: Minang KW
last update 최신 업데이트: 2021-12-07 00:07:01

“Ap—apa yang harus aku lakukan terhadap makhluk-makhluk ini, Inyiak?”

Buyung Kacinduaan mengumpulkan cacing-cacing pipih bercahaya itu di tangan kirinya. Untuk sesaat, Buyung marasa takjub dengan cahaya kebiru-biruan yang terkadang terlihat redup sedang yang lainnya malah terlihat benderang, di telapak tangannya itu.

“Inyiak?” kembali padangan sang bocah tertuju pada sang harimau.

Harimau putih melenguh pendek satu kali. Dan bocah itu masih tidak memahami apa yang diinginkan sang harimau.

Makhluk buas itu mendekati sang bocah, kembali ia melenguh, menyentuhkan batang hidungnya ke tangan kiri sang bocah yang berisi cacing-cacing bercahaya itu.

Mungkinkah Inyiak memintaku memakan cacing-cacing ini? gumam Buyung Kacinduaan di dalam hati.

Bola mata sang bocah membesar menatap makhluk-makhluk bertubuh lunak di telapak tangannya, dan kembali memandang ke dalam bola mata sang harimau yang memantulkan cahaya biru dari cacing-cacing yang ada di

잠긴 챕터
앱에서 이 책을 계속 읽으세요.

관련 챕터

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kenangan yang Mungkin Terlupakan

    Sang bocah terlihat hening, tidak ada pergerakan sama sekali dari tubuh yang menelentang di permukaan air itu, tidak pula gerakan dada sebagai penanda ia masih hidup.Tidak sama sekali.Sepasang mata itu memang terbuka, bahkan tidak berkedip sama sekali. Tidak ada pergerakan di sana. Pupil mata itu terlihat membesar.Detik selanjutnya, seiring pupil mata itu kembali ke ukuran semula, sang bocah seperti baru saja bangkit dari kematian. Ia menghela napas sebanyak-banyaknya memenuhi rongga dadanya.Namun, justru hal itu membuat dia terbatuk-batuk. Buyung Kecinduaan bangkit, terbatuk-batuk lagi. Lalu…Hoeck!Ia muntah. Muntah sebanyak-banyaknya di aliran air tersebut. Meski ia merasakan perutnya melilit disebabkan karena perut itu kosong dan kini harus kembali muntah-muntah, tapi ia tidak peduli. Sang bocah terus saja mengeluarkan muntahnya.Ia tidak dapat memastikan warna muntahannya itu sebab ruangan di dalam gua itu tidak memili

    최신 업데이트 : 2021-12-07
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Tekad di Hati

    Mata yang terpejam itu bergerak-gerak, lalu perlahan kelopak mata itu terbuka. Buyung Kacinduaan berdiam diri untuk sesaat. Dan setelah semua kepingan peristiwa kembali memenuhi ingatannya, barulah bocah tujuh tahun itu bangkit. Ia meringis, merasakan seluruh persendian di tubuhnya seolah lepas.Ia begitu lemah dengan perut yang kempis. Terduduk berselonjor kaki di atas tanah berumput tebal.Sang bocah mengingat jelas rentetan peristiwa menyakitkan yang ia alami. Mulai dari kedatangan Darna Dalun ke rumah orang tuanya itu, lalu terjadi pertikaian, satu per satu penghuni rumah yang roboh ke tanah, ia yang harus melarikan diri bersama ibunya yang sedang hamil besar. Sampai pada kejadian di tebing ngarai, ia yang menyaksikan sang ibu jatuh, lalu ia sendiri pun terjatuh.Kemudian ia bertemu dengan harimau besar yang ternyata berwarna putih dengan matanya yang biru terang. Dibenamkan ke dalam sungai hingga berkali-kali, dan terakhir, yang ia ingat ad

    최신 업데이트 : 2021-12-08
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Utusan Kerajaan

    Buyung Kacinduaan kembali meneruskan untuk memanjat tebing berbatu-batu itu. Semakin ke atas, jumlah bebatuan itu semakin berkurang. Di satu titik, sang bocah kesulitan untuk terus merangkak naik sebab rumpun semak belukar yang lebat di hadapannya menghalangi langkahnya. Teringat lagi akan peristiwa ia yang bergelantungan pada tanaman kerakap yang menjalar di tebing sisi timur malam itu, Buyung pun mengurungkan niatnya untuk mencengkeram semak beluar itu sebagai pegangannya. Tidak, pikirnya. Rumput-rumput ini pasti akan licin di tanganku. Ia menelan ludah. Di sisi kanan, ia melihat tonjolan batu besar, dan segera sang bocah merayap ke sisi kanan itu. Buyung mencoba naik ke atas tonjolan batu besar tersebut. Bersusah payah sang bocah mencoba, namun akhirnya ia terpeleset sebab tangan dan kakinya yang belepotan tanah kuning basah. “Inyiak…!” Buyung berteriak kencang. Tubuh bocah tujuh tahun itu mengelinding, membentur bebatuan yang

    최신 업데이트 : 2021-12-08
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hulubalang Kerajaan

    Kedua wanita itu semakin merasa terintimidasi sebab dugaan mereka ternyata benar, pria gagah itu bukan orang sembarangan. Kenyataanya, dia utusan dari Kerajaan Minanga, itu artinya, dia adalah salah seorang Hulubalang Kerajaan[1].Kembali keduanya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan pria gagah berbaju panghulu warna hijau itu.“Amak Tuo,” ujar sang pria, dan lantas mengangkat wanita tua di hadapannya itu untuk kembali berdiri. “Berdirilah, tidak usah sungkan terhadapku.”“Maafkan kami yang tidak tahu budi bahasa.”“Tidak,” ujar si pria sembari tersenyum, “aku tidak pantas,” lalu ia memandang sang gadis yang masih berlutut di samping wanita tua itu. “Berdirilah.”Sang gadis mengangguk dan lantas berdiri di samping ibunya.“Upik,” ujar wanita tua itu kepada anak gadisnya. “Ambilkan air untuk Tuan Hulubalang.”“Tidak,”

    최신 업데이트 : 2021-12-09
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Janji Seorang Teman

    Sang gadis menggeleng, menghela napas dalam-dalam, menundukkan pandangannya. Dan pria itu, sepertinya tak hendak memaksa gadis tersebut alih-alih wanita tua di samping sang gadis.“Senja kemarin,” kata sang gadis itu kemudian. “Orang-orang bilang bahwa ada yang berkelahi di rumah Sialang Babega. Tapi…” sang gadis memberanikan diri menatap wajah gagah bermata teduh di hadapannya itu. “Tidak ada yang berani mendekat.”Sang pria menghela napas dalam-dalam, ia bisa memaklumi hal itu. Bukankah penduduk jorong ini kebanyakannya adalah petani biasa? Pencari kayu bakar?Ya, tentu saja mereka akan ketakutan jika perkelahian itu melibatkan Sialang Babega sendiri. Itu artinya, bukan jenis perkelahian biasa. Paling tidak, inilah yang dipikirkan si Hulubalang Kerajaan itu.“Rumahnya dibakar orang, kami hanya bisa melihat dari tempat yang jauh.”Yaah, itu sudah pasti, pikir pria tersebut. Dengan kenyataan ba

    최신 업데이트 : 2021-12-09
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Akan Membunuhmu

    Harimau putih besar bermata sebiru laut di siang hari itu masih berdiri di sana. Kepalanya merunduk memandangi bocah tujuh tahun yang perlahan-lahan merayap di dinding tebing yang sedikit lebih landai. Sembari mengawasi, ekornya yang panjang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan sangat perlahan, seakan-akan ia sedang bersiaga dengan apa yang akan terjadi di bawah sana.Kembali ia melenguh pendek seolah memberi kata semangat pada Buyung Kacinduaan.Sang bocah merayap sejengkal demi sejengkal. Dua tangan dan kakinya telah terlihat sangat kotor oleh tanah kuning, begitu pula dengan celana komprang hitamnya.Meski sebelumnya ia sempat terpeleset lalu berguling jatuh dan terhempas hingga menyebabkan satu tulang rusuk di bagian kanannya patah, namun ia tetap bersikeras untuk bisa mencapai ketinggian tebing tersebut.Tubuh kecil itu semakin basah oleh keringat yang memercik dari setiap pori-pori yang ada di tubuhnya. Dan Buyung Kacinduaan c

    최신 업데이트 : 2021-12-10
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Keping Kedua

    “Jika ada hal yang aku sesali dari semua kejadian kemarin itu,” ujar Darna Dalun kepada kedua orang gurunya itu. “Itu di saat aku tidak bisa mencegah Zuraya bunuh diri.” Saat ini, Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak sedang berada di belakang sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu sendiri berada belasan langkah di belakang bangunan utama rumah Sutan Kobeh. Rumada dan Daro sama-sama sedang berendam di satu aliran sungai kecil yang berair sangat jernih. Di bagian seberangnya, adalah hutan rimba yang cukup lebat. Sementara Darna sendiri sedang duduk di atas pagar bambu, hanya mengenakan celana komprang putihnya itu saja tanpa pakaian bagian atas. “Kau berkata seolah-olah kau peduli dengan wanita yang tengah hamil itu,” sahut Daro. “Apa maksudmu?” tatapan Darna berkilat tertuju kepada wanita yang satu itu. Tanpa tudung kepala dari bulu beruang hitam itu, Daro terlihat seperti seorang gadis sepantaran 25 tahun, meskipun us

    최신 업데이트 : 2021-12-10
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Si Kucing Emas

    Sutan Kobeh tertawa terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk punggung Masuga.“Kau bahkan jauh lebih baik, Masuga,” ujar sang empu rumah. “Mari-mari, kawan, masuklah ke gubukku ini.”Masuga tersenyum. “Jangan terlalu merendah,” ujarnya. “Nanti Datuk bisa dipijak orang lain.”Kembali Sutan Kobeh tertawa-tawa, sembari merangkul bahu sang Hulubalang Kerajaan tersebut, Sutan Kobeh membawa tamunya itu memasuki ruangan depan yang luas itu.“Lihat siapa yang bicara?”Masuga hanya tersenyum saja, tak hendak berbalas ucapan lagi sebab ia tahu akan ke mana ucapan itu berujung.“Seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar Sutan Kobeh. “Gagah, tampan, dan masih saja melajang yang selalu saja menolak gadis-gadis cantik yang mencoba mendekat.”Apa kubilang? Masuga tertawa dalam hatinya.“Kau akan terus menertawaiku?”Bukannya berhenti, Sutan Kobeh tetap

    최신 업데이트 : 2021-12-11

최신 챕터

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status