Share

Utusan Kerajaan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-08 02:31:43

Buyung Kacinduaan kembali meneruskan untuk memanjat tebing berbatu-batu itu. Semakin ke atas, jumlah bebatuan itu semakin berkurang.

Di satu titik, sang bocah kesulitan untuk terus merangkak naik sebab rumpun semak  belukar yang lebat di hadapannya menghalangi langkahnya. Teringat lagi akan peristiwa ia yang bergelantungan pada tanaman kerakap yang menjalar di tebing sisi timur malam itu, Buyung pun mengurungkan niatnya untuk mencengkeram semak beluar itu sebagai pegangannya.

Tidak, pikirnya. Rumput-rumput ini pasti akan licin di tanganku.

Ia menelan ludah. Di sisi kanan, ia melihat tonjolan batu besar, dan segera sang bocah merayap ke sisi kanan itu.

Buyung mencoba naik ke atas tonjolan batu besar tersebut. Bersusah payah sang bocah mencoba, namun akhirnya ia terpeleset sebab tangan dan kakinya yang belepotan tanah kuning basah.

“Inyiak…!”

Buyung berteriak kencang. Tubuh bocah tujuh tahun itu mengelinding, membentur bebatuan yang

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hulubalang Kerajaan

    Kedua wanita itu semakin merasa terintimidasi sebab dugaan mereka ternyata benar, pria gagah itu bukan orang sembarangan. Kenyataanya, dia utusan dari Kerajaan Minanga, itu artinya, dia adalah salah seorang Hulubalang Kerajaan[1].Kembali keduanya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan pria gagah berbaju panghulu warna hijau itu.“Amak Tuo,” ujar sang pria, dan lantas mengangkat wanita tua di hadapannya itu untuk kembali berdiri. “Berdirilah, tidak usah sungkan terhadapku.”“Maafkan kami yang tidak tahu budi bahasa.”“Tidak,” ujar si pria sembari tersenyum, “aku tidak pantas,” lalu ia memandang sang gadis yang masih berlutut di samping wanita tua itu. “Berdirilah.”Sang gadis mengangguk dan lantas berdiri di samping ibunya.“Upik,” ujar wanita tua itu kepada anak gadisnya. “Ambilkan air untuk Tuan Hulubalang.”“Tidak,”

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Janji Seorang Teman

    Sang gadis menggeleng, menghela napas dalam-dalam, menundukkan pandangannya. Dan pria itu, sepertinya tak hendak memaksa gadis tersebut alih-alih wanita tua di samping sang gadis.“Senja kemarin,” kata sang gadis itu kemudian. “Orang-orang bilang bahwa ada yang berkelahi di rumah Sialang Babega. Tapi…” sang gadis memberanikan diri menatap wajah gagah bermata teduh di hadapannya itu. “Tidak ada yang berani mendekat.”Sang pria menghela napas dalam-dalam, ia bisa memaklumi hal itu. Bukankah penduduk jorong ini kebanyakannya adalah petani biasa? Pencari kayu bakar?Ya, tentu saja mereka akan ketakutan jika perkelahian itu melibatkan Sialang Babega sendiri. Itu artinya, bukan jenis perkelahian biasa. Paling tidak, inilah yang dipikirkan si Hulubalang Kerajaan itu.“Rumahnya dibakar orang, kami hanya bisa melihat dari tempat yang jauh.”Yaah, itu sudah pasti, pikir pria tersebut. Dengan kenyataan ba

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Akan Membunuhmu

    Harimau putih besar bermata sebiru laut di siang hari itu masih berdiri di sana. Kepalanya merunduk memandangi bocah tujuh tahun yang perlahan-lahan merayap di dinding tebing yang sedikit lebih landai. Sembari mengawasi, ekornya yang panjang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri dengan sangat perlahan, seakan-akan ia sedang bersiaga dengan apa yang akan terjadi di bawah sana.Kembali ia melenguh pendek seolah memberi kata semangat pada Buyung Kacinduaan.Sang bocah merayap sejengkal demi sejengkal. Dua tangan dan kakinya telah terlihat sangat kotor oleh tanah kuning, begitu pula dengan celana komprang hitamnya.Meski sebelumnya ia sempat terpeleset lalu berguling jatuh dan terhempas hingga menyebabkan satu tulang rusuk di bagian kanannya patah, namun ia tetap bersikeras untuk bisa mencapai ketinggian tebing tersebut.Tubuh kecil itu semakin basah oleh keringat yang memercik dari setiap pori-pori yang ada di tubuhnya. Dan Buyung Kacinduaan c

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Keping Kedua

    “Jika ada hal yang aku sesali dari semua kejadian kemarin itu,” ujar Darna Dalun kepada kedua orang gurunya itu. “Itu di saat aku tidak bisa mencegah Zuraya bunuh diri.” Saat ini, Darna Dalun alias Angku Mudo Bakaluang Perak sedang berada di belakang sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu sendiri berada belasan langkah di belakang bangunan utama rumah Sutan Kobeh. Rumada dan Daro sama-sama sedang berendam di satu aliran sungai kecil yang berair sangat jernih. Di bagian seberangnya, adalah hutan rimba yang cukup lebat. Sementara Darna sendiri sedang duduk di atas pagar bambu, hanya mengenakan celana komprang putihnya itu saja tanpa pakaian bagian atas. “Kau berkata seolah-olah kau peduli dengan wanita yang tengah hamil itu,” sahut Daro. “Apa maksudmu?” tatapan Darna berkilat tertuju kepada wanita yang satu itu. Tanpa tudung kepala dari bulu beruang hitam itu, Daro terlihat seperti seorang gadis sepantaran 25 tahun, meskipun us

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Si Kucing Emas

    Sutan Kobeh tertawa terbahak-bahak sembari menepuk-nepuk punggung Masuga.“Kau bahkan jauh lebih baik, Masuga,” ujar sang empu rumah. “Mari-mari, kawan, masuklah ke gubukku ini.”Masuga tersenyum. “Jangan terlalu merendah,” ujarnya. “Nanti Datuk bisa dipijak orang lain.”Kembali Sutan Kobeh tertawa-tawa, sembari merangkul bahu sang Hulubalang Kerajaan tersebut, Sutan Kobeh membawa tamunya itu memasuki ruangan depan yang luas itu.“Lihat siapa yang bicara?”Masuga hanya tersenyum saja, tak hendak berbalas ucapan lagi sebab ia tahu akan ke mana ucapan itu berujung.“Seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar Sutan Kobeh. “Gagah, tampan, dan masih saja melajang yang selalu saja menolak gadis-gadis cantik yang mencoba mendekat.”Apa kubilang? Masuga tertawa dalam hatinya.“Kau akan terus menertawaiku?”Bukannya berhenti, Sutan Kobeh tetap

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hubungan yang Tidak Baik

    “Mari makan, Masuga,” tawar Sutan Kobeh. “Tolong, jangan sungkan. Ini pertama kalinya kau mendatangi rumahku ini. Jadi, biarkan aku memberikan layanan terbaik sebagai tuan rumah.”“Anda hanya terlalu merendah saja, Datuk.”Meski begitu, demi menghormati sang tuan rumah, Masuga meraih sepotong singkong rebus.“Aku terkesan dengan anak sulungmu itu, Datuk.”Seketika wajah Sutan Kobeh seperti ditarik paksa untuk menatap pria di samping kanannya itu. Untung saja Masuga sedang dalam keadaan menundukkan kepala sebab menyuap potongan kecil singkong rebus ke dalam mulutnya sendiri.‘Apakah dia benar-benar sudah tahu?’ Tanya Sutan Kobeh di dalam hati. ‘Apa yang harus aku lakukan?’Sementara itu, tangan kanan Sutan Kobeh sudah gemetar. Gemetar dalam pengaliran tenaga dalamnya tanpa ia sendiri menyadari. Semua, hanya karena insting untuk melindungi keluarganya.“Maksud

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kecemasan Ayah dan Anak

    Dan ketika telapak tangan pemuda itu sudah mulai kurang ajar dengan menangkup buah dadanya, Lamina tidak punya pilihan lain selain mendorong dada pemuda itu dengan kasar sehingga Darna jadi menjauhinya. “Hentikan, Darna!” dengan wajah merah yang bercampur malu tak terhingga. “Dasar wanita munafik!” Darna menyeringai. “Jaga mulutmu!” Darna Dalun mengangkat satu tangannya. Sorot mata sang ibu tiri seperti hendak mencekik lehernya. “Kau hendak menamparku, hah?” ucap Lamina dengan mata berkaca-kaca namun ia masih menekan suaranya agar tidak didengar oleh orang lain alih-alih Sutan Kobeh sendiri. Lamina benar-benar merasa dipermalukan oleh anak tirinya itu. Tidak di hadapan orang lain melainkan di mata para Dewa dan Dewi di Swarga sana. “Lakukan saja, Darna!” ujar Lamina dengan air mata yang bergulir menuruni lereng wajahnya. “Lakukan, agar orang gagah Hulubalang Kerajaan itu mendengarkan suara jeritanku!” “Apa kau bilang?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Berkura-kura Dalam Perahu

    “Maafkan pengetahuan diri yang masih sejengkal pinggalan[1] ini…,” ujar Darna Dalun pada Masuga. Darna melirik pada sang ayah, bagaimanapun, ia menemukan kecemasan yang besar dari diri sang ayah yang berarti tamu mereka tersebut tidak bisa dianggap enteng. Meskipun Sutan Kobeh menutupi itu dengan suara tawanya tersebut, namun Darna cukup mengetahui sifat dan karakter ayahnya. Dan ya, itulah yang ia rasakan pula. “…Datuk Hulubalang yang mana satukah Datuk ini?” tanya Darna dan kemudian merendahkan kepalanya. “Maaf.” Masuga tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Darna. “Kau tidak perlu bersopan seperti itu. Namaku, Masuga.” “Maaf,” kembali Darna Dalun menundukkan kepalanya. “Benar kata orang-orang tua, kaki ini belum jauh melangkah, itu sebab tak mengenal rimba tak tahu rantau.” “Sudah, sudah,” ujar Masuga menggeleng-gelengkan kepala. “Kau bijak, sama seperti Datuk Kobeh ketika muda. Mengenalku pun bukanlah sebuah keharusa

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-12

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status