Share

Tanpa Arah

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-26 16:00:29

Buyung Kacinduaan tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, ia juga tidak mengingat kenapa ia sampai tertidur. Namun yang pasti, kelepar sayap burung hantu dan suara burung itu sendiri mengagetkan bocah tujuh tahun tersebut, dan itu membuat ia terbangun.

“Ibu…!”

Saat bocah itu membuka matanya, kondisi di sekitar masihlah sangat gelap sebab sejatinya ia terbangun di tengah malam. Suhu udara di sekitar ngarai itu terasa sangat sejuk bagi sang bocah yang hanya mengenakan celana komprang.

Dengan penerangan seadanya dari sang rembulan yang tepat berada di titik tertingginya itu, sang bocah meraba-raba untuk mengawasi kawasan di sekitar lewat mulut goa.

Sepertinya orang-orang itu memang sudah pergi, pikirnya. Dan mulailah ia mencari-cari cara untuk turun.

“Ibu, tunggu aku, Bu…”

Sang bocah sama sekali tidak terpikirkan bahaya seperti apa yang akan ia temui jika ia memaksa untuk turun ke dasar lembah. Yang ada dalam pikirannya, ia harus menemukan tubuh sang ibu yang sebelumnya ia lihat jatuh tepat di hadapannya.

“Aku akan segera ke bawah.”

Jadi, besar kemungkinan tubuh sang ibu pasti berada tepat di bawah goa ini, begitu harapan sang bocah tujuh tahun. Dan berharap saja, ibu masih hidup.

“Tunggu aku…”

Sayangnya, ia hanya menemukan urat-urat kayu yang pendek di sekitar mulut goa itu. Tapi itu sudah cukup, pikirnya. Ia pun mengikatkan satu ujung tali dari kain sarung yang masih melingkar di pinggangnya itu ke salah satu urat kayu yang menyembul di mulut goa.

Perlahan-lahan dengan kaki yang gemetar, sang bocah mulai turun. Tapi, tali itu terlalu pendek untuk ia bisa mencapai dasar ngarai. Bahkan, ia belum mencapai setengah ketinggian dari tebing ngarai itu sama sekali.

“Para dewa, selamatkan ibuku.”

Buyung Kacinduaan menggapai-gapai, dan ia akhirnya berhasil berpegangan pada rumpun tanaman menjalar di dinding ngarai. Setelah memastikan pegangannya cukup kuat dengan satu tangan, dan tangan lainnya ia gunakan untuk melepas ikatan tali di pinggangnya.

Setelah berhasil melepas ikatan tali kain, sang bocah perlahan-lahan merayap turun dengan berpegangan pada tanaman menjalar yang sepertinya adalah tanaman jenis kerakap.

Sayangnya, beberapa hasta ke bawah, Buyung Kacinduaan tidak lagi menemukan tanaman tersebut. Jadi, ia bergantung begitu saja di setengah ketinggian tebing ngarai.

“Ibu, ak—aku, aku tidak kuat lagi…”

Lama kelamaan sang bocah tidak mampu menahan pegangannya. Tidak saja karena tenaganya yang lemah sebab masih kecil, juga lantaran tanaman kerakap itu yang telah mengeluarkan embunnya, sehingga menjadi cukup licin bagi genggaman sang bocah.

“Ibu…!”

Dan tidak dapat dihindari, Buyung Kacinduaan akhirnya jatuh ke bawah, ia berteriak kencang.

Tubuh sang bocah terhempas ke dalam rumpun semak belukar yang tebal, laju jatuh bocah itu seperti teredam. Kembali ia terguling, dan terjatuh bebas lagi.

Buyung Kacinduaan melenguh pendek ketika tubuhnya membentur dahan pohon yang besar. Tertahan sesaat di dahan pohon itu, lalu tergelincir dan kembali terjatuh.

Ada semak belukar lainnya di bawah sana yang menahan tubuh itu dari terbentur dengan batu-batu besar yang ada di dasar ngarai.

Kembali tubuh itu terguling-guling di lantai ngarai menjauh dari dinding ngarai itu sendiri. Dan kemudian tergeletak hening. Pingsan.

Ketika bulan tergelincir di sepertiga sudutnya ke arah barat, bocah itu terbangun dengan terbatuk-batuk. Ia tersedak dan kemudian memuntahkan darah kental dari mulutnya.

“Ib—Ibu…”

Buyung Kacinduaan mencoba bangkit di tengah kondisi yang gelap gulita. Sang bocah meringis, ia merasakan seluruh tubuhnya remuk redam.

Seakan sebuah mukjizat sang bocah tidak mengalami luka parah di tubuhnya, tidak pula dengan tulang yang patah.

Hanya saja, kini sang bocah menjadi bingung sendiri. ‘Ke mana langkah akan kubawa? Ke mana arah akan kutuju?’ gumamnya di dalam hati.

Sang bocah melangkah tertatih di tengah kegelapan dengan kedua tangan menggapai-gapai. Namun sejatinya, ia justru melangkah ke arah selatan, ke arah hilir. Sedangkan jasad sang ibu yang telah terbakar habis yang bahkan tidak lagi ada api yang terlihat di sana, itu berada di arah barat, ke arah tepian sungai.

“Bu…?” panggil bocah itu sembari terus melangkah. “Ibu…?”

Buyung Kacinduaan terus melangkah meski tanpa tahu arah, meski kedua tangan menggapai-gapai tanpa ada sesuatu pun yang bisa ia jadikan pegangan. Dan sembari memanggil-manggil sang ibu hingga suaranya menjadi serak.

“Ib—”

Satu ketika sang bocah tersungkur karena tidak sengaja menendang batu yang lebih besar. Ia berguling-guling, mengerang kesakitan sembari mengusap-usap jari kaki yang terasa kebas mati rasa.

“Dewa…!”

Lalu, ia mendengar suara aliran air yang begitu dekat di telinganya. Saat matanya sudah terbiasa dengan kegelapan, ia sedikit tersenyum sebab ia melihat bayangan terang pantulan rembulan di permukaan sungai.

Bergegas sang bocah merangkak ke tepian sungai itu. Ia memang haus, dan lantas minum begitu saja dari aliran air sungai yang lambat.

Sesaat kemudian, setelah ia merasa puas melepas dahaganya dan merasa kakinya tidak terlalu sakit, ia pun bangkit.

Sang bocah mengedarkan pandangan. Sama, masih terlihat gelap meski sepasang mata sedikit terbiasa. Dan tetap saja ia tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mencari sang ibu.

Bocah tujuh tahun kembali melanjutkan langkahnya ke arah selatan, hingga sampai sepeminuman teh[1] ia akhirnya merasakan lelah. Kakinya seolah tidak lagi mampu diajak untuk bekerja sama.

“Ibu…” gumamnya dengan lirih dan air mata yang kembali tumpah.

Buyung Kacinduaan jatuh berlutut, tertunduk. Tubuh itu bergetar, dan kemudian kepala itu tersentak, mendongak ke langit tinggi dengan satu raungan panjang dalam tangis yang menyayat hati.

CATATAN ...

[1] Rentang waktu antara 15 sampai 20 menit.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Samisagita Msi
pas msh gratis,, ampe blm kelar baca nya mlh udah abis gratis semua bab nya...
goodnovel comment avatar
Minang KW
Haha ^^ hajarr...
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
mumpung gratis semua babnya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Takdir Pertemuan

    “Dewa…!” Buyung menjerit ke langit tinggi. “Ibu…” dan lantas tertunduk dengan air mata berderai jatuh ke bumi. “Ma—maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa menemukanmu. Maafkan aku, Bu…!”Bagaimanapun, ia tahu ia tidak akan lagi bertemu dengan ibunya. Ia tidak tahu ke mana harus mencari. Dan tangis menggelegar itu adalah bentuk pelampiasan dari itu semua. Raungan panjang yang merobek keheningan malam buta di dasar lembah Ngarai Sianok.Setelah tangis itu mereda, sang bocah perlahan-lahan kembali bangkit dan melanjutkan langkahnya menuju selatan.Jauh melangkah di antara bebatuan yang ada di tepian sungai, terkadang tidak sengaja ia menginjak sisi tajam dari batu-batu yang pecah dan terpaksa ia berguling lagi demi menahan rasa sakit di telapak kakinya.Sampai pada satu titik, titik di dasar lembah yang begitu rimbun dengan begitu banyaknya bayangan hitam dari lebatnya pepohonan, Buyung Kacinduaan meliha

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Panghulu Nagari

    Sang harimau menggeser posisi sang bocah yang tertelungkup di telapak kakinya. Sedikit salah perhitungan saja, maka, kuku-kuku harimau yang melengkung tajam itu pasti sudah menembus dada dan perut Buyung Kacinduaan. Setelah memposisikan tubuh sang bocah sedemikian rupa, sang harimau besar kembali melanjutkan menyantap kijang yang telah ia tangkap sebelumnya itu. Sesekali, harimau itu melirik ke arah sang bocah yang pingsan di sampingnya. Merasa kenyang, sang harimau bangkit, lalu meninggalkan kijang yang telah tinggal setengah itu, meninggalkan sang bocah begitu saja. Sang harimau menuju tepian sungai dangkal. Di tepian itu, binatang buas tersebut minum dengan sorot matanya yang liar pertanda ia sedang siaga kalau-kalau ada sesuatu yang bisa saja membahayakannya yang sedang bersembunyi di satu tempat di tengah kegelapan. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa di sekitar sana. Sang harimau mengibas-ngibaskan kepala dan lehernya sedemikian rupa. Seolah-olah

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Perjanjian Ayah dan Anak

    Plekh! Gerakan tangan Sutan Kobeh kali ini justru sengaja ditahan oleh Darna Dalun. Pemuda itu dengan cepat telah berhasil menangkap pergelangan tangan sang ayah sebelum tangan itu untuk kedua kalinya mendarat ke pipinya, pipi yang masih terasa perih dan dengan telinga yang berdenging. “Kau berani melawanku, Darna!” hardik Sutan Kobeh yang semakin larut dalam kemarahannya terhadap sang anak. “Ayah, tolong,” ujar Darna Dalun sembari melepaskan pegangannya pada tangan sang ayah. “Dengarkan aku untuk sekali ini saja.” Sutan Kobeh membanting tangannya itu, memukul udara kosong, sekencang mungkin, demi melampiaskan kemarahannya. Darna Dalun menghela napas lega. Paling tidak, ia merasa sang ayah sudah lebih bisa diajak bicara. Atau pula, sang ayah telah menyadari bahwa sesungguhnya, tenaga dalam yang dimiliki Darna Dalun justru telah menyamai tingkat tenaga dalam sang ayah sendiri. Sang pemuda menyembunyikan seringainya. “Tiga purnam

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sedikit Kekhawatiran

    Sang istri pun merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Untuk sesaat, Sutan Kobeh masih menggendong putrinya, dan satu tangannya mengusap kening sang istri.“Maafkan aku…”Sang istri tersenyum. “Aku tahu,” ujar sang istri, “aku tidak berhak untuk berkata ini padamu, Suamiku.”“Karena Darna bukan anakmu?”“Benar,” ujar sang istri pula. “Tapi, bisakah kau tidak beringan tangan kepada putramu sendiri, Suamiku?”Sutan Kobeh menghela napas dalam-dalam. Ia tahu, putrinya yang dalam gendongannya itu belumlah tidur, jadi, ia menahan ucapannya untuk mengatakan perihal bunuh membunuh keluarga Sialang Babega yang dilakukan Darna Dalun sebelumnya.Ya, tidak baik bagi anak kecil untuk mendengar hal mengerikan seperti itu.Kembali Sutan Kobeh mengusap kening sang istri tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan istrinya tersebut. Ia membaringkan putri kecilnya itu di tenga

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Mengawasi

    Sisa-sisa api masih terlihat pada puing-puing menghitam dari rumah Sialang Babega. Puing-puing itu telah ambruk ke tanah, dan ya, masih mengepulkan asap di sana-sini. Bahkan, masih saja ada bara yang menyala.Mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana, termasuk mayat Sialang Babega sendiri.Tidak ada tetangga yang berani mendekat ke areal rumah yang telah terbakar habis itu, tidak seorang pun. Selain karena jarak satu rumah ke rumah lainnya memang cukup berjauhan, juga lantaran disebabkan sore sebelumnya itu mereka tahu bahwa ada perkelahian di rumah tersebut.Para tetangga Sialang Babega yang rata-rata adalah petani dan pencari kayu bakar di hutan—dan itu artinya, mereka tidak membekal ilmu silat apa pun—memilih untuk tidak ikut campur. Sehingga, tiada seorang tetangga pun yang tahu siapa yang kali ini berkelahi dengan Sialang Babega.Padahal, sebagai Wali Jorong, Sialang Babega cukup terkenal baik dan ramah pada para tetan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Harimau Putih Bermata Biru

    Hingga subuh menjelang pagi, ketika selimut gelap sang malam tak lagi mampu membendung cahaya sang mentari, Rumada dan Daro tetap berada di atas pohon yang lebat itu. Mereka tetap mengawasi dua orang pria di bawah sana.Semakin terang langit, semakin ramai para tetangga yang berdatangan ke lokasi rumah Sialang Babega yang kini hanya tersisa puing-puing hitam yang masih saja mengepulkan asap tipis.Orang-orang yang berdatangan itu langsung membantu dua orang yang telah lebih dahulu berada di sana.Mereka mengumpulkan jasad-jasad mengenaskan itu. Terlebih lagi, pada jasad Sialang Babega. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang muntah-muntah dan terpaksa menjauh atau melakukan hal lain selain harus mengurusi jasad yang satu itu.Dan sampai sejauh itu, Rumada dan Daro tidak melihat seorang pun orang-orang dari Kerajaan Minanga.“Kurasa orang-orang itu tidak akan datang,” bisik Daro pada Rumada. “Sutan Kobeh dan Darna hanya terlal

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Tak Bisa Ditawar

    “Inyiak Tuo,” ujar Darna Dalun sembari mengambil ancang-ancang langkahnya sendiri. “Tolong, jangan teruskan!”Harimau putih kembali menggeram, perlahan-lahan ia justru mendekati Darna Dalun yang melangkah mundur.Bersamaan dengan itu, Buyung Kacinduaan pun terbangun dari tidurnya—atau, lebih tepatnya disebut; siuman dari pingsan semalaman.Lalu, ia mendengar suara geraman kencang dari seekor harimau, juga, suara yang sempat ia rekam di dalam kepalanya sebelum ini.Ia mencoba bangkit, lalu, dari balik semak belukar yang lebat dan tinggi itu, sang bocah melihat sosok Darna Dalun.Hanya saja, bersamaan dengan ia melihat sosok pemuda itu, sang bocah langsung menunduk. Menyembunyikan dirinya di balik kerimbunan semak belukar tersebut.Buyung terlihat begitu cemas. Bagaimanapun, ia tahu, pria itulah yang sebelumnya bertarung dengan ayahnya, Sialang Babega. Dan pria itu juga yang telah menyebabkan ibunya terjun dari at

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pasrah

    Harimau putih bermata biru berdiri mematung sembari menatap Buyung Kacinduaan yang masih bersujud menahan tangisnya. Kedua tangan bocah itu semakin kotor oleh tanah hitam. Dan saat sang bocah menyadari ada satu sosok yang sedang memerhatikannya, ia pun mengangkat wajahnya. Buyung Kacinduaan sempat terkesiap, namun ingatannya kembali ke malam tadi. ‘Benar, i—itu harimau yang sama. Ta—tapi, kenapa putih? Kenapa matanya berwarna biru?’ Seolah ingin mengadukan nasibnya yang malang, sang bocah kembali menjulurkan tangannya untuk bisa menyentuh wajah sang harimau. Sang bocah, sudah terlihat seperti seseorang yang kehilangan gairah kehidupannya. Pasrah meski hati tak rela begitu saja. ‘Biarlah, jika aku harus mati menjadi mangsa dari harimau putih ini, mungkin itu lebih baik sebab aku tidak tahu lagi harus menumpang hidup pada siapa? Harus bergantung kepada siapa? Konon pula untuk membalaskan dendam orang tuaku…’ Seperti malam kemarin itu, sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-05

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status