Share

Dari Hal Kecil

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 16:26:14

Pasar kecil itu tidak terlalu jauh, hanya berjarak sepeminuman teh saja ke arah barat dari rumah bocah sepuluh tahun tersebut.

Di sana, Mantiko Sati belajar satu hal dari sang bocah. Dia yang masih di bawah umur, yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarganya, terlihat begitu antusias menawarkan ikan-ikan hasil tangkapannya sendiri pada setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya.

Tidak ada meja di sana, hanya ada dua pelepah daun pisang yang digunakan untuk menuangkan ikan-ikan segar yang bahkan sebagian besar masih hidup itu di atas tanah.

Meski kehidupannya begitu susah, namun senyum selalu mengembang di bibir bocah. Diam-diam, Mantiko Sati mengagumi hal itu darinya.

Ya, tersenyum menghadapi kenyataan, tidak menyalahkan siapa-siapa akan buruknya takdir diri, adalah sebagian yang bisa dipelajari Mantiko Sati dari bocah bernama Talago itu.

Benar, pikir sang pemuda, Talago memang setenang telaga.

Dan tentu saja, kehadiran Mantiko Sati

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Bakti

    Mantiko Sati menyempatkan diri mandi di sumur tanah yang ada beberapa langkah di belakang gubuk tempat tinggal Talago bersama ayahnya, sebab tubuh pemuda itu sendiri juga berbau anyir ikan, sementara bocah itu sendiri langsung membuat perapian dari susunan beberapa buah batu untuk memanggang empat ekor ikan yang tersisa.Dan ternyata, sang pemuda mengetahui bahwa Talago sudah tidak memiliki ibu. Jadi, praktis hanya bocah sepuluh tahun itu saja yang hidup berdua dengan ayahnya yang cacat.‘Seorang mantan Datuk Hulubalang Kerajaan, haa?’ pikir Mantiko Sati kala ia bebersih diri di sumur tanah. ‘Sepertinya aku bisa bertanya banyak hal pada beliau nanti.’Dari mulut Mak Utiah dan orang-orang yang ada di atas perahu besar kemarin, Mantiko Sati masih mengingat bahwa dari Tujuh Hulubalang Kerajaan yang lama, yang masih hidup hanya ada dua orang saja.‘Yang pertama adalah si Kuciang Ameh itu,’ pikir sang pemuda

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Si Kumbang Janti

    “Talago mungkin bercerita padamu bahwa aku sebelumnya adalah seorang Hulubalang Kerajaan,” ujar pria setengah baya pada Mantiko Sati.“Tapi, apakah itu benar?” tanya sang pemuda rupawan. “Aah, tidak. Saya seharusnya tidak bertanya seperti itu sebab sudah jelas bahwa hal tersebut adalah sebuah kebenaran.”Pada saat sekarang ini, Mantiko Sati hanya berdua saja di ruangan itu dengan ayahnya si Talago, sementara Talago sendiri telah tertidur pulas di kamar kecil yang satu lagi, bahkan ia tertidur sembari mengorok.Mantiko Sati tidak heran dengan hal tersebut. Apa yang bisa dikatakan? Dia masih sepuluh tahun dan harus bekerja keras melebihi kemampuannya sendiri demi menghidupi dirinya dan ayahnya, tentu semua itu telah menguras energinya sehari-hari yang berujung dengan istirahat, tidur dengan suara mengorok yang keras.“Kau pikir seperti itu?”Sang pemuda rupawan tersenyum, ia menghela na

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Jangan Menunggu Esok

    “Ya, kau tidak salah dengar,” Datuk Janti tersenyum tipis memandangi kedua tangan dan kakinya yang lumpuh.Mantiko Sati menelan ludah. Ia memerhatikan pula dua tangan dan kaki Datuk Janti yang menjadi lumpuh. Bola matanya berkilat seolah dilapisi cahaya tipis kebiru-biruan.Seakan memiliki kemampuan yang sama dengan si Harimau Putih Bermata Biru yang mengasuhnya selama sepuluh tahun, Mantiko Sati seakan mampu melihat menembus lapisan kulit, daging, otot, hingga ke tulang di kedua tangan dan kaki tersebut.Meskipun sesungguhnya, Mantiko Sati menganalisa semua itu berdasarkan luka yang ada di permukaan kulit tangan sang datuk, atau bentuk otot yang tak lazim yang menonjol, begitu pula dengan yang ada di bagian kakinya. Namun, dari hal itu saja, ia sudah mampu membaca semuanya.Sang pemuda melihat jelas bahwa kedua tangan pria paruh baya itu terdapat banyak bekas luka sayat. Hal yang dapat diperkirakan sang pemuda adalah kedua tangan sang datuk p

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Naif

    “Apakah Datuk membutuhkan minum?” tanya Mantiko Sati.“Tidak,” sahut pria paruh baya. “Duduk sajalah, dan dengarkan ceritaku.”“Baik,” sang pemuda mengangguk.“Sepuluh tahun yang lalu,” ujar Datuk Janti memulai ceritanya, “Paduko Rajo jatuh sakit, seiring berlalunya waktu, sakit Paduko Rajo tidak pernah membaik.”“Ermm, sepertinya saya pernah mendengar soal ini dari mendiang ayah saya.”“Ya, tentu saja,” Datuk Janti mengangguk-angguk. “Jika orang sebesar Paduko Rajo mengalami sesuatu, tentu kita yang rakyat Minanga ini akan mengetahui itu.”“Lalu?”“Telah banyak orang pintar yang didatangkan,” kata Datuk Janti. “Orang-orang sakti, namun tak satu jua dari mereka yang dapat mengobati penyakit Paduko Rajo, sedangkan kala itu Ratu Mudo baru berusia sembilan tahun.”“Begitu, ya?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Orang yang Sama

    “Dengar, Sati,” ujar Datuk Janti, “Masuga yang aku sebutkan tadi itu adalah orang yang sama dengan pemilik nama si Kuciang Ameh.”“Hah?!” bola mata si pemuda membelalak lebih lebar.Pria paruh baya terkekeh-kekeh.“Be—benarkah?”“Masuga itu nama aslinya dia, Sati,” kata sang datuk. “Dia bergelar si Kuciang Ameh. Di antara Tujuh Hulubalang Kerajaan yang ada pada waktu itu, termasuk aku sendiri, si Kumbang Janti, Masuga lah yang paling muda dan paling sakti di antara kami bertujuh.”“Ooh, dewa…” Mantiko Sati menunduk, dua tangan bersitekan ke lututnya. “Sungguh, selama ini, saya pikir… yaa, tidak ada yang bisa saya katakan selain bahwa pada kenyataannya diri ini masihlah terlalu mentah dalam mengenal dunia. Ooh, dewa… apa yang aku pikirkan? Datuk Janti benar, tidak seharusnya aku melangkahkan kakiku menuju istana Minanga.”

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-20
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pertalian Darah

    “Talago tidak mengetahui itu,” ujar Datuk Janti. “Dia belum genap setahun kala itu terjadi.”“J—jadi, siapa yang membesarkan Talago?” tanya Mantiko Sati. “Maaf, maksud saya,” sang pemuda menelan ludah sembari menunjuk pada pria paruh baya. “Dengan kondisi Datuk sendiri, saya—”“Sebelumnya ada kerabat yang mengurus Talago dan aku,” Datuk Janti tersenyum, namun jelas di mata si pemuda rupawan senyuman itu diselimuti kepedihan. “Yaa, kau tentu memahami, tidak ada orang yang mau hidupnya terbebani, tidak dengan pria lumpuh sepertiku ditambah pula dengan mengurus seorang bayi.”Mantiko Sati menghela napas dalam-dalam. ‘Berat,’ pikirnya, ‘kehidupan yang dijalani Datuk Janti dan khususnya si Talago itu jauh lebih berat dari apa yang bisa aku bayangkan.’“Si—siapa yang begitu kejam melakukan semua itu kepada Anda, Datuk?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Benang Kusut

    “Pantas saja,” ujar Datuk Janti, “aku merasa pernah mendengar nama aslimu.”“M—maafkan ketidaktahuan diri ini tentang sejarah pertalian darah diri sendiri.”‘Dan itu berarti,’ guman sang pemuda di dalam hati, ‘Talago adalah adik sepupuku.’“Tidak, Sati,” sahut pria paruh baya, “ermm, Buyung—yaa, dewa… bahkan aku bingung harus memanggilmu apa sekarang. Tapi, jangan kau pikirkan. Aku ingin bertanya padamu, kabar yang aku ketahui dari mulut Masuga, bahwa Sialang Babega dan seluruh keluarganya terbunuh. B—bagaimana bisa kau selamat?”“Maaf,” Mantiko Sati juga tak mampu mengekspresikan perasaannya sendiri.‘Haruskah aku tersenyum dengan kenyataan bahwa Datuk Janti memiliki pertalian darah denganku? Atau aku harus menangisi nasib tragis keluarga kami ini?’“S—saya pun bingung harus memanggil Datuk sebagai

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Lebih Menyakitkan

    “Sungguh,” ujar Mantiko Sati, “saya tidak menduga sama sekali.”“Inilah yang dinamakan jalan takdir, Sati,” sahut Datuk Janti. “Kita manusia ini, hanya menjalani apa yang sudah digariskan. Baik dan buruk, tentu terletak pada bagaimana kita akan menyelesaikan satu persoalan yang ditakdirkan pada pundak kita.”“Jadi, Datuk yakin bahwasannya Datuk Masuga sama sekali tak hendak menipu Paduko Rajo sebelumnya itu?”“Tentu saja,” ujar pria paruh baya. “Kau akan mengerti andai kau bertemu langsung dengan laki-laki itu sendiri.”Sang pemuda menghela napas dalam-dalam. “Orang-orang di perahu itu malah memintaku untuk membebaskan Datuk Masuga.”Pria paruh baya tersenyum. “Itu sudah sewajarnya.”“Anda pikir demikian, Datuk?”Sang datuk tersenyum, ia memiringkan sedikit kepalanya. “Walaupun aku adalah Mak Adang bagimu, aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-21

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status