Home / Romansa / Sang Sekretaris / Kabanata 101 - Kabanata 110

Lahat ng Kabanata ng Sang Sekretaris: Kabanata 101 - Kabanata 110

156 Kabanata

Mengakhirinya

“Aku pulang setelah Awan tidur.” Sederet kalimat tersebut sudah dikirimkan Aga sekitar dua jam yang lalu. Setelah itu, Aga tidak lagi membuka chat yang dikirimkan oleh Bening, padahal angka jarum jam digital di ponselnya kini sudah menunjukkan angka sebelas malam. Menurut informasi yang Aga berikan siang tadi, Awan sudah pulang ke rumah karena kondisinya memang sudah baik-baik saja. Memang belum terlalu pulih, tapi karena Awan merengek meminta kembali ke rumahnya, maka akhirnya Aga menuruti hal tersebut. Itu berarti, saat ini Aga sedang berada di rumah Vira dan sekali lagi Bening menekankan bahwa saat ini sudah jam sebelas malam. Seperti kebiasaan Bening sebelumnya, ia pun sudah mengirimkan sebuah foto beserta sederet kalimat yang mampu memancing Aga agar cepat kemba
Magbasa pa

I'm Out

Ponsel, kunci mobil, berikut dengan dompet yang sempat Bening letakkan di nakas, ia ambil dengan kasar. Berbalik cepat untuk pergi keluar kamar, karena Bening sudah lelah jika harus bertengkar di tengah malam seperti ini. Lebih baik ia yang keluar, jika Aga memang tidak ingin angkat kaki dari unit tersebut. “Mau pergi ke mana lagi, kamu, Ning?” Kaki Aga melangkah cepat, dan dengan segera meraih siku Bening yang hendak pergi menuju pintu. Aga yang sudah terlalu lelah dengan semua drama hari ini, sebenarnya ingin beristirahat dengan tenang. “Bukan urusan kamu,” desis Bening sembari menghentak tangan Aga tapi tidak kunjung lepas dari sikunya. “Kamu istriku! Dari ujung rambut sampai kaki, kamu itu tanggung jawabku. Dan urusanmu, juga urusanku.” Karena tidak bisa melepas cengkraman Aga, Bening lantas menghabiskan jarak dan mengakat tinggi wajah geramnya. “Sekarang aku tanya sama kamu, apa tujuanmu nikah sama aku? Cuma cari teman ‘tidur’? Iya, kan? Sementara hatimu masih berat, dan masi
Magbasa pa

Dan, Terima Kasih

Bening menginjak pedal gasnya, dan sudah tidak lagi peduli dengan Aga yang baru saja muncul dari pintu basement, dan berteriak mengejarnya. Saat Bening pergi dari kamar pun, Aga masih berat dan sibuk membujuk Awan agar tidak memintanya pulang ke rumah malam ini. Untuk kali ini, Bening mengaku kalau dirinya memanglah egois. Namun, rasanya wajar jika Bening meminta sedikit saja perhatian dari Aga, yang saat ini sudah menjadi suaminya. Akan tetapi, semua musnah hanya karena Awan. Bening bukan mempermasalahkan Awan yang memang butuh perhatian dari Aga, tapi, Vira. Yang Bening tahu, Vira masih ingin rujuk dengan Aga. Hal itulah yang membuat pikiran Bening sibuk berlari ke sana kemari. Sebagai seorang istri yang belum dinyatakan sah secara hukum, jelas saja kekhawatiran Bening semakin menjadi. Ditambah, status Aga saat ini pun masihlah abu-abu, karena belum ada keputusan yang sah dari pengadilan agama. Cukup sudah. Bening tidak ingin lagi menderita batin seperti sekarang. Ia hanya ingin
Magbasa pa

Sebuah Tekad

Bening segera berdiri dari sofa setelah melihat Rohit muncul di ruang tengah kediaman pria itu. Memberikan senyum kecil, dengan menjulurkan tangan kanannya. “Maaf, ya, Pak. Pagi-pagi gini sudah ganggu. Saya jadi nggak enak sama ibu.” Sebenarnya, Bening benar-benar merasa tidak nyaman karena sudah menghubungi sang pengacara kepercayaannya di kala subuh baru menjelang. Bening memohon untuk bertemu Rohit pagi-pagi sekali untuk membicarakan sesuatu yang penting dan tidak bisa ditunda sama sekali. Setelah semalaman berpikir, akhirnya Bening sudah mengambil keputusan yang cukup besar. Karena itulah, pagi ini Bening ingin menuntaskan semua hal dengan Rohit. “Udah nggak papa,” sahut Rohit sambil menjabat tangan Bening, lalu mempersilakan gadis itu untuk duduk kembali. “Apa ada masalah, sampai pagi-pagi gini kamu ke sini? Kamu sakit?” Dari awal menerima telepon saja, Rohit sudah menduga kalau Bening sedang terlibat masalah. Ditambah, gadis itu datang dengan memakai kaos oblong dan celana p
Magbasa pa

Tanda Tangan

Bening menarik panjang napas dengan penuh keyakinan. Setelah menghelanya, Bening menyodorkan sebuah map pada Romi yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya sedang berada di kantin sebuah rumah sakit, setelah Bening mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh.“Cocok, dan kita bisa segera melakukan operasinya,” ujar Bening bersandar pada kursi plastik, tanpa memberi senyum sama sekali.Romi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika melihat hasil yang tertera di dalam map tersebut. Kendati, ada beberapa hal yang memang tidak ia mengerti. “Oke, saya akan atur semuanya dan—”“Dan saya punya syarat lagi,” putus Bening dengan wajah datar dan sudah memasrahkan semuanya.“Syarat?” Romi meletakkan map tersebut kembali ke atas meja. Khawatir, jika syarat yang diajukan Bening justru memberatkan sang istri dan mereka tidak jadi melakukan operasi.Bening mengangguk masih dengan posisi yang sama. Telunjuknya mengarah pada map yang baru diletakkan oleh Romi di atas meja. “Di b
Magbasa pa

Lupakan Aku

"What a surp—"Christ langsung diam membisu ketika Bening tiba-tiba memeluknya. Merasa ada yang salah, Christ segera mengurai pelukan gadis yang sudah jadi mantan kekasihnya itu. “Are you oke?”“Iya dong!” Bening berseru sembari mengangkat kantong kresek putih yang ada di tangan kanannya. Garis bibirnya pun melengkung begitu lebar, dan tidak menunjukkan sebuah gurat kesedihan sama sekali. “Aku masakin mi instan ya!”Bening lantas menutup pintu unit apartemen milik Christ dengan kakinya. Ia melewati pria itu, dan segera melangkah menuju dapur. Tanpa sungkan karena sudah terbiasa berada di sana, Bening langsung membuka lemari pendingin milik pria itu. Mengambil dua buah telur, lalu kembali menutup pintunya.“Ning.” Christ segera mengikuti Bening, lalu mencekal tangan gadis itu untuk meminta sebuah penjelasan. “Kamu bebas keluar masuk apartemen ini, dan aku nggak peduli kamu mau lakuin apa aja. Tapi, dengan syarat, kamu bukan istri orang.”Bening masih memberi senyumnya pada Christ, deng
Magbasa pa

Menunggu Kabar

Malam itu, Christ sungguh tidak bisa memejamkan kedua matanya sama sekali. Pertemuannya dengan Bening siang tadi, mendadak membuat banyak pikiran yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Christ mencoba menarik benang merah untuk menghubungkan semua hal, tapi kepalanya semakin pusing ketika harus mengingat semua hal.Pada akhirnya, Christ yang sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur langsung bangkit seketika. Beranjak dari kamar dan pergi ke dapur untuk mengambil air mineral yang ada di dalam lemari pendingin.Manik Christ terhenti pada dua buah telur yang masih berada di samping kompor. Siang tadi, Bening juga tidak memakai telur tersebut ketika tengah memasak mi instannya. Sungguh hal yang tidak biasa, kecuali gadis itu menyeduh mi instan yang ada di dalam cup.Tidak jadi mengambil air mineral dingin, Christ langsung berlari kembali ke kamar untuk mengambil ponsel miliknya. Mencari nama Bening, lalu segera menelepon gadis itu.Sekali.Dua kali.Bahkan, hampir berkali-kali Christ
Magbasa pa

Rasa Bersalah

“Rohit!”Aga yang baru melewati pintu lobi, lantas mengurungkan niat untuk menghampiri meja resepsionis. Ia melihat Rohit baru keluar dari lift, dan langsung bergegas menghampiri pria itu. Entah mengapa, kinerja otaknya kali ini sangat lamban untuk berpikir. Sehingga sampai sesiang ini, Aga baru sadar kalau ia bisa juga bertanya mengenai Bening kepada Rohit.Bukankah Rohit dahulu kala merupakan pengacara keluarga Bening? Ditambah, gadis itu juga sempat bertemu dengan Rohit beberapa kali, untuk mengurus perihal warisan.“Kamu nggak hadir di pengadilan?” tanya Rohit ketika mereka sudah berdiri berhadapan, di tengah-tengah lobi. “Bukannya hari ini sidang putusan—”“Bening!” henti Aga lalu meraup wajahnya dengan kasar. “Bening cucunya almarhumah ibu Sinta. Kamu ada ketemu dia, Hit?”Rohit melipat kedua tangannya di depan dada. Tegak menatap bingung dengan sikap Aga. Yang sempat Rohit dengar dari Vira, hari ini adalah sidang putusan cerai pernikahan wanita itu dengan sang suami, yakni Aga.
Magbasa pa

Pertemuan Terakhir

“Hapemu, bunyi dari tadi.”Bening mengangguk. Menutup pintu kamar mandi, lalu kembali menuju ranjang pasien. Ia duduk di tepi ranjang, dan hanya melihat ponselnya di atas nakas, yang sudah tidak lagi berdering. “Om bisa balik ke kamar mama.”“Sudah ada Dean, Fika sama oma kamu di sana,” ujar Romi yang sedari tadi sudah ada menemani Bening. “Kamu nggak lihat hapemu dulu? Sudah bunyi dua kali.”Manik Bening tertuju pada jam dinding dan memilih untuk tidak mengacuhkan ucapan Romi mengenai keluarga sang mama. Kurang dari satu jam lagi, ia akan melakukan operasi yang sudah ditunggu-tunggu semua orang. Tidak ada rasa sesal sama sekali di dalam hatinya, karena sudah memutuskan hal tersebut. Bening sudah memasrahkan semuanya, dan sudah tidak memiliki minat dengan semua hal.Setelah melihat jam dinding, tatapan Bening berpindah pada tas ransel yang beberapa hari ini selalu menemani hari-harinya. Beberapa pakaian baru yang pernah digunakannya sebagai ganti, semua sudah tertumpuk di sana. Dalam
Magbasa pa

Tangis Clara

Seminggu kemudian …Sebelum Clara membuka mulut untuk bertanya dengan hal yang sama, Romi yang baru saja masuk ke dalam ruang perawatan itu menggeleng lesu. Ia berjalan gontai menghampiri Clara, lalu meminta sang putri yang duduk di sebelah ranjang pasien untuk menyingkir. Romi menduduk kursi yang baru saja ditempati Fika, kemudian meletakkan ransel yang selalu dibawanya di pangkuan.Melihat sikap sang suami, Clara kembali menitikkan air mata untuk yang kesekian kalinya.“Kalau tahu begini, aku lebih baik nggak usah operasi,” ucap Clara mulai terisak. “Kita bisa nunggu donor la—”“Waktumu yang nggak banyak untuk menunggu, Ma,” sahut Romi langsung berdiri dan duduk di samping sang istri. Meletakkan tas ransel berwarna cokelat itu di atas nakas, lalu mengusap titik basah yang sudah membasahi pipi Clara.Serba salah. Itulah yang Romi rasakan saat ini. Sepertinya, Bening sendirilah yang sudah tidak memiliki minat, pada dunia yang sempat dikatakannya sebagai fatamorgana. Pasca operasi besa
Magbasa pa
PREV
1
...
910111213
...
16
DMCA.com Protection Status