“Aga …” Setelah memanggil putranya, Arum kemudian mengetuk pintu kamar lalu membukanya. Menahan nampan dengan satu tangan, dan menumpu sisi lainnya di pinggang, Arum kemudian masuk lalu kembali menutup pintu. Ia menghampiri Aga yang masih terbaring di atas tempat tidur, lalu meletakkan nampan tersebut di atas nakas terlebih dahulu.Arum duduk di tepi ranjang, kemudian menghela. Mengusap bahu Aga yang tidur bertelungkup dengan lembut, lalu kembali memanggil nama sang putra. “Ga, sudah siang. Ayo makan dulu. Kamu belum makan dari semalam.”Aga tidak merespons. Ia masih terdiam, tanpa bergerak sedikit pun.“Kalau kamu memang nggak mau makan, ayo! Mama temani mulai hari ini,” ujar Arum melihat keterdiaman Aga. Ia tidak mengerti, apa yang terjadi pada Aga. Putranya itu, bahkan sudah tidak pernah pergi ke kantor dan selalu ada di rumah setiap harinya. Hal itu dilakukan Aga, sejak putusan cerainya dengan Vira disahkan di pengadilan. Jika Aga memang tertekan dengan hal tersebut, bukankah putr
Tubuh Aga mematung di bibir pintu. Tepat di depannya, Aga melihat seorang wanita yang pernah Bening katakan sebagai ibu kandungnya. Wanita itu, sedang duduk bersandar pada ranjang pasiennya dengan mata yang terlihat bengkak. Tidak perlu dipertanyakan lagi, Aga sudah bisa menebak, apa yang telah dilakukan Bening selama gadis itu menghilang dari peredaran.Kaki Aga lemas seketika. Namun, ia berusaha menguatkan diri dengan segera berpegangan pada bingkai pintu.Bening pasti telah melakukan operasi seorang diri, dan terjadi sesuatu pada gadis itu. Aga berusaha mengenyahkan semua pikiran buruk yang berterbangan di dalam kepalanya, tapi tidak kunjung bisa.“Di mana Bening?” Aga tidak ingin berbasa basi. Yang ia inginkan saat ini hanyalah, bertemu dengan Bening seorang. “Kamu—”“Suami Bening!” Aga memutus ucapan seorang pria, yang baru saja berdiri dari tempat duduk yang berada di samping ranjang pasien. Aga bisa memastikan, kalau pria itu adalah Romi. Pria yang sama, yang pernah ia jumpai
Seumur hidupnya, Aga tidak pernah berada di posisi seperti detik ini. Akhirnya, Aga bisa mengerti apa yang selama ini dirasakan oleh Bening. Sebuah rasa kehilangan, frustrasi, sekaligus putus asa yang sama sekali tidak bisa Aga jabarkan dengan satu kata pun. Melebihi rasa kosong, dan juga hampa yang belakangan ini selalu menyelimuti dirinya.Di hadapan Aga, tengah terbaring seorang gadis yang sudah membawa separuh jiwanya pergi. Tidak pernah terbayang di benak Aga, jika kehilangan sosok Bening di sisinya, bisa membuat jiwanya jatuh terpuruk seperti sekarang.Entah sudah berapa kali, Aga mengusap sudut matanya yang selalu basah tanpa terasa. Rasa sakit itu, benar-benar begitu nyata. Menusuk erat hingga terasa menembus dada.“Apa kata dokter, Pak?” tanya Aga sembari menggenggam erat jemari Bening, seolah tidak ingin melepasnya sampai kapan pun.Romi menggeleng. “Nggak ada komplikasi apapun, dan semuanya baik-baik aja. Tapi … seperti yang kamu lihat, Bening masih seperti itu sejak operas
Hal pertama yang Aga lakukan setelah mengetahui kondisi Bening dari dokter ialah, meminta pengacaranya untuk mengurus semua hal terkait pengesahan pernikahannya dengan gadis itu. Aga memasrahkan semua hal pada Sisil, dan ia hanya mau terima beres dengan menerima buku nikah di akhir prosesnya.Setelah itu, Aga akan mulai bercerita, dan mengenalkan Bening kepada keluarganya. Mau diterima atau tidak, Aga sudah tidak memedulikan hal tersebut. Aga akan berbicara dengan jujur pada orang tuanya, dan pelan-pelan akan ‘mendekatkan’ Awan dengan Bening. Walaupun, kondisi gadis itu masih tidak bisa diramalkan sama sekali.Aga juga yakin sekali, kalau Bening sebenarnya mampu mendengar semua hal yang telah diutarakan olehnya. Hanya saja, Aga sepertinya harus lebih bersabar dan berjuang untuk membangkitkan jiwa yang sudah ‘mati’ itu.Meskipun yang dialami Aga tidak seberat Bening, tapi ia sudah bisa merasakan bagaimana rapuhnya hati istrinya itu selama ini. Oleh sebab itu, Aga sudah berniat untuk se
Sekali lagi, Aga melukis senyum kecil di wajahnya. Memandang sepasang buku nikah, yang sudah diberikan Sisil beberapa waktu yang lalu. Di dalam sana, sudah tertulis nama lengkap Bening dan Aga dengan jelas. Itu artinya, akhirnya mereka berdua sudah resmi menikah secara hukum dan diakui oleh negara. Aga memasukkan kedua buku tersebut, kembali ke dalam laci dashboard mobilnya. Menghela sejenak, saat memandang rumah kedua orang tuanya. Sejak hari itu, Aga memang tidak pernah pulang ke rumah orang tuanya sama sekali. Hidupnya, hanya berkisar antara rumah sakit, apartemen, dan menjemput Awan di sekolah. Ketika Arum ataupun Ernest meneleponnya, Aga hanya menjawab mereka seperlunya saja. Aga masih menunggu, sampai pernikahannya dengan Bening sah secara hukum, agar kedua orang tuanya sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Aga keluar dari mobil yang hanya ia parkir di depan pagar. Setelah bertemu Sisil untuk mengambil surat nikahnya, Aga sebenarnya ingin segera pergi ke rumah sakit dan menga
“Ohh, Bapak di sini?” tanya Aga ketika memasuki kamar yang ditempati oleh Bening. Ia melihat Romi bersama seorang wanita tua, yang tengah duduk pada kursi besi di samping ranjang pasien. Aga menghampiri kedua orang tersebut dan menyalami mereka satu per satu.“Beliau Oma Camila, Omanya Bening. Ibunya istri saya.” ujar Romi memperkenalkan wanita tua tersebut pada Aga. Manik Romi pun menyipit ketika melihat memar di wajah Aga. Ia yakin sekali kalau tadi malam, memar tersebut tidak ada di pipi kiri pria itu. Namun, sudahlah. Romi tidak ingin membahas hal tersebut di depan Bening.“Ohh, saya Aga, Oma, suami Bening.”Camila tersenyum kecil sembari menyambut uluran tangan Aga, ketika memperkenalkan diri. “Romi bilang, pernikahan kalian sudah sah secara hukum.”Aga mengangguk tanpa ragu, untuk menunjukkan sedikit kebahagiaan yang akhirnya bisa ia bagi. “Iya, saya baru ambil buku nikah sama pengacara saya.”Setelah menjabat tangan Aga dan mendengar pernyataan pria itu, Camila lantas menggengg
“Semuanya normal,” ujar sang dokter memberi tahu setelah melakukan pemeriksaan dengan seksama, dan melihat respons Bening yang baru saja membuka mata. “Kita tinggal tunggu perkembangannya untuk beberapa hari ke depan.”“Terima kasih, Dok,” ujar Aga tidak bisa menyembunyikan buncahan rasa bahagianya. Akhirnya setelah penantian yang menurutnya sangat panjang, gadis yang sudah menjadi istri sahnya itu telah sadar.Aga pun segera duduk pada kursi yang selalu ada di samping ranjang pasien, setelah sang dokter dan perawat kembali keluar dari ruangan tersebut. Ia menarik kursinya lebih rapat lagi, agar semakin dekat dengan gadis itu.Aga sampai tidak sanggup mengatupkan kedua bibirnya, karena terlalu bahagia dengan apa yang dilihatnya saat ini. Aga pun meraih tangan Bening dan memberi kecupan berkali-kali di sana, karena masih belum percaya kalau semua ini adalah nyata.“Kamu mau apa, Ning?” tanya Aga dengan binar bahagia yang tidak lepas dari sorot matanya. “Mau makan apa?”Sudut bibir Beni
Setelah pertemuannya dengan Bimo selesai, Aga kembali menghampiri Bening yang sedari tadi hanya merebahkan diri sembari menonton televisi. Aga duduk di tepi ranjang, lalu meraih tangan Bening dan memberi satu kecupan di sana.“Sorry kalau mengganggu istirahatmu.”Bening dengan posisi separuh duduk dan bersandar itu menoleh malas, dengan wajah datar. Banyak hal yang ingin disampaikannya kepada Aga, tapi, tubuhnya seolah masih terlalu lelah untuk mengungkapkan itu semua. Di sudut hati, Bening masih menyesalkan, mengapa Tuhan masih memberi kesempatan pada dirinya untuk membuka mata. Padahal, banyak doa yang ia panjatkan, untuk meminta Tuhan segera mengambilnya dari hiruk pikuk kepalsuan dunia.Bodoh.Namun, hanya hal tersebut yang saat itu ada di kepala Bening. Ia benci dengan semua hal mengenai dirinya, dan sudah berada di titik jenuh dalam menjalani hidup. Akan tetapi, garis takdir berkata lain, kendati meskipun membutuhkan waktu lebih lama, akhirnya Bening kembali sadar.“Hmm.” Akhirn
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.