Sekali lagi, Aga melukis senyum kecil di wajahnya. Memandang sepasang buku nikah, yang sudah diberikan Sisil beberapa waktu yang lalu. Di dalam sana, sudah tertulis nama lengkap Bening dan Aga dengan jelas. Itu artinya, akhirnya mereka berdua sudah resmi menikah secara hukum dan diakui oleh negara. Aga memasukkan kedua buku tersebut, kembali ke dalam laci dashboard mobilnya. Menghela sejenak, saat memandang rumah kedua orang tuanya. Sejak hari itu, Aga memang tidak pernah pulang ke rumah orang tuanya sama sekali. Hidupnya, hanya berkisar antara rumah sakit, apartemen, dan menjemput Awan di sekolah. Ketika Arum ataupun Ernest meneleponnya, Aga hanya menjawab mereka seperlunya saja. Aga masih menunggu, sampai pernikahannya dengan Bening sah secara hukum, agar kedua orang tuanya sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Aga keluar dari mobil yang hanya ia parkir di depan pagar. Setelah bertemu Sisil untuk mengambil surat nikahnya, Aga sebenarnya ingin segera pergi ke rumah sakit dan menga
“Ohh, Bapak di sini?” tanya Aga ketika memasuki kamar yang ditempati oleh Bening. Ia melihat Romi bersama seorang wanita tua, yang tengah duduk pada kursi besi di samping ranjang pasien. Aga menghampiri kedua orang tersebut dan menyalami mereka satu per satu.“Beliau Oma Camila, Omanya Bening. Ibunya istri saya.” ujar Romi memperkenalkan wanita tua tersebut pada Aga. Manik Romi pun menyipit ketika melihat memar di wajah Aga. Ia yakin sekali kalau tadi malam, memar tersebut tidak ada di pipi kiri pria itu. Namun, sudahlah. Romi tidak ingin membahas hal tersebut di depan Bening.“Ohh, saya Aga, Oma, suami Bening.”Camila tersenyum kecil sembari menyambut uluran tangan Aga, ketika memperkenalkan diri. “Romi bilang, pernikahan kalian sudah sah secara hukum.”Aga mengangguk tanpa ragu, untuk menunjukkan sedikit kebahagiaan yang akhirnya bisa ia bagi. “Iya, saya baru ambil buku nikah sama pengacara saya.”Setelah menjabat tangan Aga dan mendengar pernyataan pria itu, Camila lantas menggengg
“Semuanya normal,” ujar sang dokter memberi tahu setelah melakukan pemeriksaan dengan seksama, dan melihat respons Bening yang baru saja membuka mata. “Kita tinggal tunggu perkembangannya untuk beberapa hari ke depan.”“Terima kasih, Dok,” ujar Aga tidak bisa menyembunyikan buncahan rasa bahagianya. Akhirnya setelah penantian yang menurutnya sangat panjang, gadis yang sudah menjadi istri sahnya itu telah sadar.Aga pun segera duduk pada kursi yang selalu ada di samping ranjang pasien, setelah sang dokter dan perawat kembali keluar dari ruangan tersebut. Ia menarik kursinya lebih rapat lagi, agar semakin dekat dengan gadis itu.Aga sampai tidak sanggup mengatupkan kedua bibirnya, karena terlalu bahagia dengan apa yang dilihatnya saat ini. Aga pun meraih tangan Bening dan memberi kecupan berkali-kali di sana, karena masih belum percaya kalau semua ini adalah nyata.“Kamu mau apa, Ning?” tanya Aga dengan binar bahagia yang tidak lepas dari sorot matanya. “Mau makan apa?”Sudut bibir Beni
Setelah pertemuannya dengan Bimo selesai, Aga kembali menghampiri Bening yang sedari tadi hanya merebahkan diri sembari menonton televisi. Aga duduk di tepi ranjang, lalu meraih tangan Bening dan memberi satu kecupan di sana.“Sorry kalau mengganggu istirahatmu.”Bening dengan posisi separuh duduk dan bersandar itu menoleh malas, dengan wajah datar. Banyak hal yang ingin disampaikannya kepada Aga, tapi, tubuhnya seolah masih terlalu lelah untuk mengungkapkan itu semua. Di sudut hati, Bening masih menyesalkan, mengapa Tuhan masih memberi kesempatan pada dirinya untuk membuka mata. Padahal, banyak doa yang ia panjatkan, untuk meminta Tuhan segera mengambilnya dari hiruk pikuk kepalsuan dunia.Bodoh.Namun, hanya hal tersebut yang saat itu ada di kepala Bening. Ia benci dengan semua hal mengenai dirinya, dan sudah berada di titik jenuh dalam menjalani hidup. Akan tetapi, garis takdir berkata lain, kendati meskipun membutuhkan waktu lebih lama, akhirnya Bening kembali sadar.“Hmm.” Akhirn
Langkah Aga terhenti sekitar lima meter dari meja yang dituju, ketika melihat ada seorang wanita yang ternyata ikut menemani sang papa siang ini. Ia mengusap wajah sebentar, lalu membuang napas panjang sembari kembali melangkah menuju meja tersebut.Aga menarik kursi tepat di depan Ernest, sambil melihat sang mama lebih dulu, sebelum meletakkan bokongnya di sana.“Bukannya ini empat mata?” tanya Aga meminta penjelasan pada Ernest. “Kenapa Papa bawa Mama juga?”“Kamu keberatan Mama ada di sini?” sambar Arum lalu berdecak menatap putranya. “Mama bukan orang lain, jadi jangan durhaka jadi anak.”Aga menyentak alisnya begitu tinggi untuk melihat Ernest yang hanya balas memandang datar. Tidak punya pilihan lain, Aga akhirnya siap jika hari ini harus dihakimi oleh kedua orang tuanya.“Jadi … Mama sama Papa sudah dengar sendiri, kan, masalah yang ada di dalam rumah tanggaku sama Vira.” Satu bahu Aga lantas mengendik. “Dan, karena itulah aku nggak akan pernah lagi mau masuk ke lubang yang sam
“Yakin nggak mau pake kursi roda?” tanya Aga sudah menyampirkan tas ransel Bening di punggungnya. Bersiap pulang, karena kondisi sang istri sudah pulih dan bisa kembali ke apartemen. Akhirnya, Aga bisa tidur dengan tenang dan bebas di apartemen mereka seperti sedia kala. Tidak lagi harus berbagi ranjang sempit, hanya untuk tidur memeluk sang istri.Dengan bibir yang mengerucut, Bening menggeleng perlahan. Ia menyambut tangan Aga dan menggamitnya. Bening berjalan keluar ruang, yang tidak ingin lagi jumpai di sisa hidupnya. “Jalan aja pelan-pelan.”“Masih nggak mau ketemu sama keluargamu?” Aga kembali mengajukan pertanyaan ketika mereka sudah berjalan di koridor rumah sakit.Sejak kembali sadar, Bening memang masih enggan menemui keluarganya. Aga sudah menyampaikan hal tersebut kepada Romi, dan meminta mereka untuk tidak menghubungi Bening untuk sementara waktu. Mungkin, sampai kondisi mental atau jiwa Bening kembali stabil.Aga tidak ingin, kehadiran salah satu anggota keluarga Bening
Manik Aga tidak lepas menatap sang istri, yang baru saja keluar dari kamar mandi. Langkah pelan itu, lantas berhenti pada sisi tempat tidur kosong yang berseberangan dengan Aga. Sebelum Bening menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur, Aga lebih dahulu berceletuk.“Beb, bisa nggak bajunya pake yang agak panjangan?” Aga menahan napas, saat Bening menjatuhkan tubuh dengan perlahan di tempat tidur. Bagaimana tidak, jika gaun tidur berbahan satin nan tipis itu sangat menggoda hasrat Aga. Terlebih lagi, Aga sudah cukup lama tidak menyalurkan hal tersebut di tempat yang seharusnya.“Nggak bisa, panas.”“Ada AC.”“Tetep aja, aku nggak mau,” tolak Bening sudah merebahkan tubuh dan menarik selimut hingga sebatas dada. Memperlihatkan, seutas tali spaghetti yang masing betah tersampir di pundak. “Coba hitung, udah berapa lama aku tidur pake baju panjang di rumah sakit? Gerah banget tahu, nggak.”“Tapi, Beb—”“Pengeeen, yaaaa?” goda Bening menoleh pada Aga, sambil menaikturunkan kedua alisnya dan mena
Aga berdiri di depan Bening dengan bertolak pinggang. Menatap bubur kacang hijau yang penampakannya tidak jauh berbeda, seperti saat Aga meninggalkan sang istri untuk mandi. “Kenapa belum habis juga?” “Eneg.” Bening mengerucutkan bibirnya, sembari memutar-mutar sendok ke dalam bubur yang ada di dalam mangkuk. “Aku nggak suka bubur kacang hijau. Aku mau makan burger, Beb. Atau, hotdog. Atau, beliin mi—” “Bening!” Aga berseru lalu meraup wajahnya dengan cepat. “Kamu itu harus makan makanan yang bergizi. Dan yang barusan kamu sebut itu, semuanya junk food. Nggak baik, Beb.” “Aku boseen,” rengek Bening lalu menunduk, menatap enggan pada mangkuk yang ada di pangkuannya. “Coba hitung, berapa lama aku cuma makan makanan rumah sakit. Cheat daylah, Beb.” “No!” tolak Aga demi kesehatan sang istri, agar cepat pulih. “Ini bukan masalah kamu lagi diet, terus pake cheat day, tapi, ini semua karena kamu baru operasi dan biar cepat pulih.” “Nggak ada hubungannya.” Bening mencebik dan masih saja
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.