Bening menginjak pedal gasnya, dan sudah tidak lagi peduli dengan Aga yang baru saja muncul dari pintu basement, dan berteriak mengejarnya. Saat Bening pergi dari kamar pun, Aga masih berat dan sibuk membujuk Awan agar tidak memintanya pulang ke rumah malam ini. Untuk kali ini, Bening mengaku kalau dirinya memanglah egois. Namun, rasanya wajar jika Bening meminta sedikit saja perhatian dari Aga, yang saat ini sudah menjadi suaminya. Akan tetapi, semua musnah hanya karena Awan. Bening bukan mempermasalahkan Awan yang memang butuh perhatian dari Aga, tapi, Vira. Yang Bening tahu, Vira masih ingin rujuk dengan Aga. Hal itulah yang membuat pikiran Bening sibuk berlari ke sana kemari. Sebagai seorang istri yang belum dinyatakan sah secara hukum, jelas saja kekhawatiran Bening semakin menjadi. Ditambah, status Aga saat ini pun masihlah abu-abu, karena belum ada keputusan yang sah dari pengadilan agama. Cukup sudah. Bening tidak ingin lagi menderita batin seperti sekarang. Ia hanya ingin
Bening segera berdiri dari sofa setelah melihat Rohit muncul di ruang tengah kediaman pria itu. Memberikan senyum kecil, dengan menjulurkan tangan kanannya. “Maaf, ya, Pak. Pagi-pagi gini sudah ganggu. Saya jadi nggak enak sama ibu.” Sebenarnya, Bening benar-benar merasa tidak nyaman karena sudah menghubungi sang pengacara kepercayaannya di kala subuh baru menjelang. Bening memohon untuk bertemu Rohit pagi-pagi sekali untuk membicarakan sesuatu yang penting dan tidak bisa ditunda sama sekali. Setelah semalaman berpikir, akhirnya Bening sudah mengambil keputusan yang cukup besar. Karena itulah, pagi ini Bening ingin menuntaskan semua hal dengan Rohit. “Udah nggak papa,” sahut Rohit sambil menjabat tangan Bening, lalu mempersilakan gadis itu untuk duduk kembali. “Apa ada masalah, sampai pagi-pagi gini kamu ke sini? Kamu sakit?” Dari awal menerima telepon saja, Rohit sudah menduga kalau Bening sedang terlibat masalah. Ditambah, gadis itu datang dengan memakai kaos oblong dan celana p
Bening menarik panjang napas dengan penuh keyakinan. Setelah menghelanya, Bening menyodorkan sebuah map pada Romi yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya sedang berada di kantin sebuah rumah sakit, setelah Bening mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh.“Cocok, dan kita bisa segera melakukan operasinya,” ujar Bening bersandar pada kursi plastik, tanpa memberi senyum sama sekali.Romi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika melihat hasil yang tertera di dalam map tersebut. Kendati, ada beberapa hal yang memang tidak ia mengerti. “Oke, saya akan atur semuanya dan—”“Dan saya punya syarat lagi,” putus Bening dengan wajah datar dan sudah memasrahkan semuanya.“Syarat?” Romi meletakkan map tersebut kembali ke atas meja. Khawatir, jika syarat yang diajukan Bening justru memberatkan sang istri dan mereka tidak jadi melakukan operasi.Bening mengangguk masih dengan posisi yang sama. Telunjuknya mengarah pada map yang baru diletakkan oleh Romi di atas meja. “Di b
"What a surp—"Christ langsung diam membisu ketika Bening tiba-tiba memeluknya. Merasa ada yang salah, Christ segera mengurai pelukan gadis yang sudah jadi mantan kekasihnya itu. “Are you oke?”“Iya dong!” Bening berseru sembari mengangkat kantong kresek putih yang ada di tangan kanannya. Garis bibirnya pun melengkung begitu lebar, dan tidak menunjukkan sebuah gurat kesedihan sama sekali. “Aku masakin mi instan ya!”Bening lantas menutup pintu unit apartemen milik Christ dengan kakinya. Ia melewati pria itu, dan segera melangkah menuju dapur. Tanpa sungkan karena sudah terbiasa berada di sana, Bening langsung membuka lemari pendingin milik pria itu. Mengambil dua buah telur, lalu kembali menutup pintunya.“Ning.” Christ segera mengikuti Bening, lalu mencekal tangan gadis itu untuk meminta sebuah penjelasan. “Kamu bebas keluar masuk apartemen ini, dan aku nggak peduli kamu mau lakuin apa aja. Tapi, dengan syarat, kamu bukan istri orang.”Bening masih memberi senyumnya pada Christ, deng
Malam itu, Christ sungguh tidak bisa memejamkan kedua matanya sama sekali. Pertemuannya dengan Bening siang tadi, mendadak membuat banyak pikiran yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Christ mencoba menarik benang merah untuk menghubungkan semua hal, tapi kepalanya semakin pusing ketika harus mengingat semua hal.Pada akhirnya, Christ yang sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur langsung bangkit seketika. Beranjak dari kamar dan pergi ke dapur untuk mengambil air mineral yang ada di dalam lemari pendingin.Manik Christ terhenti pada dua buah telur yang masih berada di samping kompor. Siang tadi, Bening juga tidak memakai telur tersebut ketika tengah memasak mi instannya. Sungguh hal yang tidak biasa, kecuali gadis itu menyeduh mi instan yang ada di dalam cup.Tidak jadi mengambil air mineral dingin, Christ langsung berlari kembali ke kamar untuk mengambil ponsel miliknya. Mencari nama Bening, lalu segera menelepon gadis itu.Sekali.Dua kali.Bahkan, hampir berkali-kali Christ
“Rohit!”Aga yang baru melewati pintu lobi, lantas mengurungkan niat untuk menghampiri meja resepsionis. Ia melihat Rohit baru keluar dari lift, dan langsung bergegas menghampiri pria itu. Entah mengapa, kinerja otaknya kali ini sangat lamban untuk berpikir. Sehingga sampai sesiang ini, Aga baru sadar kalau ia bisa juga bertanya mengenai Bening kepada Rohit.Bukankah Rohit dahulu kala merupakan pengacara keluarga Bening? Ditambah, gadis itu juga sempat bertemu dengan Rohit beberapa kali, untuk mengurus perihal warisan.“Kamu nggak hadir di pengadilan?” tanya Rohit ketika mereka sudah berdiri berhadapan, di tengah-tengah lobi. “Bukannya hari ini sidang putusan—”“Bening!” henti Aga lalu meraup wajahnya dengan kasar. “Bening cucunya almarhumah ibu Sinta. Kamu ada ketemu dia, Hit?”Rohit melipat kedua tangannya di depan dada. Tegak menatap bingung dengan sikap Aga. Yang sempat Rohit dengar dari Vira, hari ini adalah sidang putusan cerai pernikahan wanita itu dengan sang suami, yakni Aga.
“Hapemu, bunyi dari tadi.”Bening mengangguk. Menutup pintu kamar mandi, lalu kembali menuju ranjang pasien. Ia duduk di tepi ranjang, dan hanya melihat ponselnya di atas nakas, yang sudah tidak lagi berdering. “Om bisa balik ke kamar mama.”“Sudah ada Dean, Fika sama oma kamu di sana,” ujar Romi yang sedari tadi sudah ada menemani Bening. “Kamu nggak lihat hapemu dulu? Sudah bunyi dua kali.”Manik Bening tertuju pada jam dinding dan memilih untuk tidak mengacuhkan ucapan Romi mengenai keluarga sang mama. Kurang dari satu jam lagi, ia akan melakukan operasi yang sudah ditunggu-tunggu semua orang. Tidak ada rasa sesal sama sekali di dalam hatinya, karena sudah memutuskan hal tersebut. Bening sudah memasrahkan semuanya, dan sudah tidak memiliki minat dengan semua hal.Setelah melihat jam dinding, tatapan Bening berpindah pada tas ransel yang beberapa hari ini selalu menemani hari-harinya. Beberapa pakaian baru yang pernah digunakannya sebagai ganti, semua sudah tertumpuk di sana. Dalam
Seminggu kemudian …Sebelum Clara membuka mulut untuk bertanya dengan hal yang sama, Romi yang baru saja masuk ke dalam ruang perawatan itu menggeleng lesu. Ia berjalan gontai menghampiri Clara, lalu meminta sang putri yang duduk di sebelah ranjang pasien untuk menyingkir. Romi menduduk kursi yang baru saja ditempati Fika, kemudian meletakkan ransel yang selalu dibawanya di pangkuan.Melihat sikap sang suami, Clara kembali menitikkan air mata untuk yang kesekian kalinya.“Kalau tahu begini, aku lebih baik nggak usah operasi,” ucap Clara mulai terisak. “Kita bisa nunggu donor la—”“Waktumu yang nggak banyak untuk menunggu, Ma,” sahut Romi langsung berdiri dan duduk di samping sang istri. Meletakkan tas ransel berwarna cokelat itu di atas nakas, lalu mengusap titik basah yang sudah membasahi pipi Clara.Serba salah. Itulah yang Romi rasakan saat ini. Sepertinya, Bening sendirilah yang sudah tidak memiliki minat, pada dunia yang sempat dikatakannya sebagai fatamorgana. Pasca operasi besa
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.