Beranda / Fiksi Remaja / FREL. / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab FREL.: Bab 61 - Bab 70

84 Bab

61. Jujur atau Melepas?

Suara dentingan piano itu mengusik pendengaranku. Menyadarkan bahwa aku kini sudah sampai di depan ruang musik—mencari sosoknya—aku perlahan membuka pintu yang tak terkunci. Sudah kuduga. Dia pasti berada di ruangan ini. Aku bersandar pada dinding seraya menatap wajah Kenn yang terlihat dari samping. Mataku terpejam mencoba menyelami dan menyatu pada nada yang Kenn ciptakan. Aku tidak tahu itu lagu apa, tapi dengan mendengarkannya aja aku bisa merasakan paduan dari rendah dan tingginya terasa pas di telingaku. Serasa aku tengah berdiri di depan sebuah hamparan laut yang tenang. Aku menghirup udara sebanyak mungkin. Menikmati keindahan suara instrumen itu. Entah sejak kapan, mendengarkan permainan pianonya sudah menjadi bagian dari kegemaranku. Aku selalu merasa tenang. Beberapa menit kemudian, permai
Baca selengkapnya

62. Kenn Membuktikan Ucapannya

Kalian tahu labirin? Sebuah jalur yang begitu rumit dengan lorong yang berliku-liku, dan mempunyai banyak jalan buntu. Mungkin akan terdengar seru dan menantang jika dilakukan pada sebuah permainan, tetapi apakah akan tetap seru jika labirin itu berpindah pada otak kita? Jawabannya tentu tidak. Karena aku tengah merasakannya sekarang. Aku kini telah terjebak dalam labirin otakku sendiri. Selepas pembicaraan itu, aku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa. Mencoba memerankan sebagai sosok yang ceria seperti sediakala. Namun, ternyata semua menjadi serba kebalikannya. Otakku dipenuhi oleh Kenn, Kenn dan Kenn. Pikiranku tak pernah mau jauh darinya. Mengingat kembali tiap kata yang ia ucapkan terakhir kali. Membayangkan lagi raut wajahnya yang bagai dihiasi langit mendung dalam tatapannya. Seakan-akan
Baca selengkapnya

63. Kacau

Duduk di bangku taman favoritku dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajah, harusnya menjadi sebuah kegiatan santai yang sangat menyenangkan. Tetapi nyatanya, kali ini aku tidak bisa menikmatinya. Aku mencoba mengayun-ayunkan kakiku sembari mengamati danau kecil di depanku. Melihat berbagai ikan berwarna-warni berenang dengan mengibas-ngibaskan ekor cantiknya. Berusaha ikut larut dalam tingkah lucunya, namun, pengalihan yang aku lakukan lagi-lagi tak membuahkan hasil. Aku masih aja memikirkannya. Kilasan peristiwa di dalam kelas tadi selalu menari-nari di kepalaku. Aku tak akan pernah lupa, bagaimana canggungnya aku tiap kali mataku tak sengaja bertemu dengan mata hitam Kenn. Aku juga nggak bisa melupakan raut muka dingin dan datarnya setiap berpapasan denganku. Ia bersandiwara, aku pun sama. Bedanya, aku hanya bisa mendiaminya, sedangkan Kenn telah sukses menjalankan segala perannya untuk
Baca selengkapnya

64. Terkuak

Dari balik jendela, aku memandang keluar. Mengawasi beberapa orang dan kendaraan berseliweran, sibuk sendiri meski dalam keadaan langit yang agak menggelap. Rumahku ini memang di pinggir jalan, walaupun bukan di pinggir jalan raya besar, tetapi merupakan akses yang bisa dilalui dua mobil, sehingga sering juga dilewati angkot dan beberapa kendaraan lainnya yang kerap menimbulkan kebisingan. Ah, sebenarnya aku tak pernah keberatan dengan suara bising apa pun, karena pada dasarnya aku memang lebih suka keramaian daripada kesunyian. Tapi entah mengapa, saat ini rasanya aku mau berada di sebuah tempat yang sangat sepi, jauh dari semua hiruk pikuk suara di sekitarku. Aku pengin menyatu bersama sepi, melebur dengan kesendirian. Suara nenek membuyarkanku dari segala sepi yang ingin kupeluk. "Frel." Aku menoleh ke belaka
Baca selengkapnya

65. Fakta Selanjutnya

Tidak ada salahnya aku berdiri di sini. Memilih pergi ke rumah Kak Kevan, memenuhi permintaan Om Aditya serta nenek yang beberapa hari lalu—lewat pesan singkatnya—mengundangku datang kemari. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka menghubungi melalui telepon, tapi selalu aku abaikan mengingat betapa kacaunya aku waktu itu. Kedua tanganku memegang jeruji pagar seraya melihat halaman luas yang di sisi kiri terdapat taman dan ditumbuhi berbagai macam tanaman hijau serta bunga kesayangan Tante Viona. Ada juga sebuah mobil mewah yang belum pernah kulihat, terparkir di halaman rumah. Apakah ada tamu penting? Sesaat aku ragu untuk masuk, apalagi dalam cuaca mendung seperti ini. Aku menghirup udara dalam-dalam. Mungkin, sebaiknya aku pulang. Namun, baru aja aku berbalik, terdengar suara Pak Satpam memanggilku. "Neng, kenapa balik?"
Baca selengkapnya

66. Dijemput Kenn

Aku menggigil di sudut gardu. Meringkuk seraya melipat lututku. Gemetar di tubuhku tak kunjung reda, membuatku harus menekan cengkeraman kedua kaki ini pada alas yang tengah kupijak. Kepalaku tenggelam ke dalam lipatan lutut. Kaku menjalar di seluruh ototku. Rasa takut pun makin bertambah setiap ada suara-suara di kepalaku yang berteriak histeris memaki kejahatan yang telah aku lakukan pada kakek dan nenek. Aku yang salah, meskipun aku bersikeras untuk tak mempercayai apa yang kini terjadi. Namun, perkataan Dara selalu saja terngiang di kepalaku, mematahkan segala hal yang kuanggap ilusi. "Frel?" Tiba-tiba ada sebuah suara seperti memanggil namaku. "Frel? Apa itu lo?" Aku sontak mendongak di panggilan kedua. Kukerjapkan mataku untuk menghalau pandangan yang buram akan air mata. 
Baca selengkapnya

67. Berduka

Beberapa detik setelahnya aku tertawa kecil dan menggeleng tak percaya. "Kakek dan nenek pasti bercanda. Aku tau kalian pasti pura-pura tidur kayak dulu waktu kalian marah sama Frel. Kalian nggak mau bicara sama aku, kan?" Aku menengadah dan mengerjapkan mataku sesaat, lalu kuusap kasar sisa air mata dengan punggung tanganku. "Oke, Frel minta maaf. Aku tadi udah bentak kalian, nggak mau menuruti semua permintaan kalian. Frel ngaku salah. Frel nyesel. Frel janji setelah ini nggak bakalan bentak kalian lagi, Frel nggak bakalan marah lagi, Frel nggak bakalan pergi lagi, Frel nggak akan bandel lagi, Frel akan turutin semua ucapan kalian. Sekarang, kalian nggak marah sama Frel lagi, kan? Ayo, sekarang kalian bangun." Ketakutan mulai menyergapku tatkala tak ada pergerakan sekecil apa pun dari kakek dan nenek. "Kek? Nek? Ayo, bangun." Aku menggoyang-goyangkan
Baca selengkapnya

68. Kehilangan Pegangan

Hari mulai senja, matahari perlahan tenggelam, dan langit mengeluarkan semburat warna orange kemerahan di ufuk barat. Cahaya dari sisa matahari mengenai nisan nenek dan kakekku yang bertuliskan "Fredasari" serta "Elfarezi Prasetyo". Kakek dan nenek termasuk pecinta senja. Aku masih ingat kakek selalu bilang, "Jika ingin melihat pesona keindahan alam, di waktu senjalah tepatnya. Tepat di ujung sore dan di awal malam.", sementara nenek akan selalu menambahkan dengan wajah yang antusias dan berkata, "Senja adalah hal yang paling menakjubkan dan selalu menjadi salah satu peristiwa terindah di langit.". Ah, apakah senja waktu itu selalu mendengar pujian kakek dan nenek yang sering dilontarkan kepadanya? Apakah senja juga sekarang tahu jika penggemarnya kini sudah tiada? Kertak dedaunan terdengar di beberapa arah, membuatku yakin bahwa mer
Baca selengkapnya

69. Sang Mama Datang

Senja sudah berganti malam. Sayup-sayup suara adzan isya berkumandang ketika langkah kaki ini keluar dari pintu mobil. Kuedarkan pandanganku di setiap sisi depan rumah. Sepi.... Meski ada rasa kecewa yang menyentak dada, tapi tetap kuambil kunci rumah dan kubuka dengan perlahan. Deritan pintu tertangkap indra pendengarku, mengingatkanku pada beberapa hari lalu saat aku protes pada kakek bahwa bunyi itu sangat mengganggu dan menjengkelkan. Kata kakek itu perkara mudah—tinggal olesi minyak goreng atau oli—selesai. Tapi, lihat sekarang. Derit itu masih ada, kan? Dasar kakek! Kukerjapkan mataku, kutarik napas dan kuembuskan perlahan. Aku berbalik ke arah pintu sebelum Dara, Tomi dan Kenn masuk ke dalam rumah.
Baca selengkapnya

70. Pertentangan Hati

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah buku kecil yang jatuh dari atas bufet di ruang tamu. Kupicingkan mataku, dan aku langsung tahu bahwa itu adalah buku tabungan yang diperlihatkan kakek tadi siang kepadaku. Dengan langkah tegas, aku maju dan lekas mengambilnya. "Apa uang ini yang Anda maksud?" tanyaku tajam seraya melontarkan buku itu ke atas meja di hadapan Claretta. "Buka buku tabungan itu dan hitung, apa masih ada kekurangan dari uang yang Anda kirim?" Meskipun ada raut tanda tanya di wajahnya, akan tetapi ia tetap meraih buku tabungan yang aku berikan. Dengan perlahan ia membuka lembar demi lembar meski sebelumnya sempat kulihat ada keraguan dalam gerakan tangannya. Mata Claretta membelalak. "Jadi, mereka—" "Ya. Nenek dan kakek selama ini nggak pernah sekalipun ambil sepeser uang dari Anda. Beli
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status