Home / Fiksi Remaja / FREL. / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of FREL.: Chapter 51 - Chapter 60

84 Chapters

51. Menguping (2)

Kutilik kembali tingkah Kenn. Ia terdiam sejenak, lalu diketup-ketupkan lagi rokoknya di asbak. "Menurut lo?" Setelahnya ia menyesap batang terbakar itu dengan santai. "Sialan lo! Ditanya bukan dijawab, malah tanya balik." Aku nggak tahu ekspresi Tomi kali ini seperti apa, yang jelas ia pasti jengkel setengah mati sebagaimana suaranya yang terdengar jutek. Suasana kini berubah sunyi. Tak kudengar suara apa pun dari Tomi maupun Kenn. Tatapanku sekarang mengarah pada bagian belakang kepala Tomi yang terlihat menyembul dari balik sofa yang ia duduki. Asap putih juga mengepul kuat di sana. Aku menghela napas berat. Sampai kapan ia bisa berhenti merusak dirinya sendiri seperti ini? Menunggu sampai pabrik rokok tutup semua? Bah, mana mungkin! "Kalo emang lo suka beneran sama Frel, kejar dia, Kenn. Jangan pernah lo lepasin dia. Jangan sampai lo nyesel kayak gu
Read more

52. Menanggung Risiko

Akibat dari perbuatanku memasuki kawasan terlarang, membuatku harus menanggung risiko untuk menjalani sebuah hukuman. Bukan hukuman dari para guru, melainkan dari Kenn dan Tomi. Aku bersandar pada dinding yang menghadap pintu toilet yang tertutup di depanku. Kupegang punggungku lalu kupijat pelan dengan sebelah tangan. Aku meringis tatkala rasa pegal dan ngilu menjalar ke seluruh anggota badanku. Duh, sakit semua rasanya! Kuusap keringat yang menetes dari dahi sembari melirik Tomi yang berdiri di sampingku sambil menyaksikan video dari hasil rekamannya saat menyiksaku. Aku nggak tahu itu hanya alasan mereka untuk mengerjaiku atau memang benar ingin membantuku. Kata mereka, hukuman menyuruhku mengepel toilet cowok dan cewek di lantai 3 kelas X, sudah cukup sebagai bukti bahwa aku sudah mendapat hukuman, jadi seumpama ada guru atau lebih parahnya sang pemilik sekolah berang dan ingin menghukumku l
Read more

53. Bersitegang

Kami kini sedang berdiri di tengah taman yang terdapat air mancurnya. Dengan raut muka yang tak terbaca Kenn berkata, "Udah tau alasan gue kasih hukuman?" "Ya. Tadi Tomi udah bilang ke gue," jawabku sambil mengalihkan pandanganku pada sekeliling taman. "Gue harap ini terakhir kali lo membahayakan diri sendiri." Serta-merta aku berpaling dan mendapati Kenn tengah menatapku lekat. "Mak-maksud lo?" Aku sadar benar apa yang ia katakan, akan tetapi otakku memerintahkan lebih baik aku berpura-pura tidak mengerti daripada salah menjawab karena serangan gugup. Langkahnya perlahan mendekat ke arahku. "Gue yakin lo paham apa yang gue maksud." Aku berdecak mendengar jawabannya. Ia selalu memberikan respons yang tak pernah sesuai dengan keinginanku. "Ya, gue paham. Paham banget. Gue tuh cerobo
Read more

54. Senyum Palsu

"Woy, ngelamun terus dari tadi." Aku tersentak mendengar seruan Kak Alvin yang berada di samping kananku. Ia tertawa ketika menyadari kebingunganku. "Kesurupan setan penunggu ruangan ini, tau rasa lo, Frel!" "Garing lo, Vin," sahut Kak Ari dari samping kiriku. "Biarin!" Aku hanya diam. "Palingan setannya maunya sama lo doang," celetuk Kak Ari, lagi. "Enak aja, lo kira gue nggak laku sampai setan pada nempel di gue," balas Kak Alvin sembari menimpuk Kak Ari dengan penggaris besi dari depan wajahku, sedangkan aku sedari tadi masih enggan bersuara. Aku menunduk sambil memilin rok seragamku. Entahlah, rasa-rasanya aku tak punya semangat lagi walaupun hanya sekadar menanggapi candaan mereka berdua. 
Read more

55. Cemburu

Segalanya berubah semenjak kejadian di taman beberapa hari yang lalu. Semua tak sama dan tak akan pernah sama dengan hari-hari sebelumnya. Sejak kejadian di taman waktu itu, besoknya aku memilih diam, mencoba memaksa diri untuk tidak bertanya pada siapa pun mengenai keadaan Kenn. Meski akhirnya Dara tetap aja bercerita tentang Kenn yang tidak mau dibawa ke rumah sakit maupun UKS, dan lebih memilih pergi begitu aja tanpa mengatakan apa pun. Aku hanya diam mendengarkan Dara yang berceloteh bagaimana ekspresi Kenn saat aku pergi meninggalkannya. Tatapan tajam tetapi sarat akan luka, tangan terkepal kuat menyalurkan emosinya, hingga tetesan darah yang tak ia hiraukan sama sekali. Namun, sekali lagi, aku tetap memilih bungkam meski Dara dan Tomi memprotes respons dariku yang tak sesuai keinginannya. Aku memasang wajah datar, tak menyahut sedikit pun ucapan
Read more

56. Pesona Kenn

Suara riuh rendah bergemuruh memecah kesunyian, aura semangat yang tinggi menebar membawa keceriaan, berbagai teriakan silih berganti menembus gendang para pendengar, mengantarkan decak kagum untuk kami semua. Bunyi khas tepuk tangan pun tidak luput dari segala penjuru yang memadati lapangan besar di tengah-tengah sekolah SMA Bakti Airlangga, sementara pemandu acara yang dipimpin oleh Kak Alvin berkoar-koar di atas panggung guna menyemangati para peserta lomba dan meneriakkan petuahnya untuk para peserta agar tetap menjunjung tinggi sportifitas. Ya, setelah berakhirnya ujian semester, seakan sudah menjadi tradisi, kini pihak sekolah melaksanakan class meeting guna menghilangkan kejenuhan dan penat para siswa selepas berkutat pada soal-soal ujian. Berbagai lomba antar kelas diselenggarakan. Tak tanggung-tanggung tiga belas lebih jenis
Read more

57. Kemurkaan Frel

"Gue nggak mau buat keributan. Singkirin tangan lo, kecuali lo emang senang buat dia sakit." Serta-merta Kak Kevan melepas tangannya. Wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang. Aku nggak sengaja." Aku tersenyum mencoba memahami perasaan Kak Kevan. "Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti." Aku menghela napas sejenak sebelum beralih ke arah Kenn. "Kenn, gue kayaknya nggak—" "Reno kritis," sela Kenn cepat. "A-apa?" Mataku membulat. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari mengepalkan tanganku "Nggak. Nggak mungkin!" Wajah Kenn mengeras. Tatapannya berubah menjadi sedih, "Reno ditemukan pingsan di depan kamar mandi panti. Waktu kami larikan ke rumah sakit, di sana Reno langsung dimasukkan dalam ruang gawat darurat. Gue cuma nggak mau lo meny
Read more

58. Pergi

Sekian menit hanya keheningan yang tercipta di antara kami. Aku duduk terdiam di sebuah bangku taman rumah sakit, menyalurkan seluruh emosi pada tanganku yang memegang kuat-kuat bangku di kedua sisi tubuhku. Memandang satu arah pada tanaman merambat di depanku seraya berusaha menekan segala perasaan marah yang sempat meluap. Aku menghela napas panjang, mengatur napasku yang memburu. "Emosinya belum turun juga?" Aku menoleh ke arah Kenn yang duduk sebangku denganku. Tatapannya menunjukkan kekhawatirannya padaku. "Lo mau ngomong sesuatu? Kalo itu bisa bikin lo lebih tenang, keluarkan semuanya." Aku menunduk sembari tersenyum getir. "Gue cuma nggak nyangka aja, wanita yang gaya busananya sering gue jadiin panutan serta fotonya juga sering gue buat rebutan sama Dara, selama ini ternyata mamanya Abel dan Reno. Gue nggak habis pikir sama dia, segitu teganya
Read more

59. Setelah Kepergiannya

Sedari tadi tanganku sibuk memencet-mencet remot televisi. Mencari saluran yang menurutku pantas untuk ditonton, bukan berita tentang dia lagi. Sudah enam hari berturut-turut tayangan televisi selalu memberitakan segala hal tentangnya—Claretta Maharani—membuatku muak. Seakan menjadi sebuah trending topic, berbagai macam informasi dan kemungkinan-kemungkinan terdengar dari para penyiar di layar kaca televisi tanpa ada pembuktian yang jelas. Bahkan, sampai sekarang pun Claretta masih bungkam tiap ada pertanyaan yang ditujukan padanya tentang status Abel dan Reno. Aku mendengkus. Katanya menyesal, mana buktinya? Kutekan kuat tombol off dan kulempar asal remot ke atas meja kayu di depanku. Mood-ku selalu
Read more

60. Tentang Hubungan

Ketika aku sampai di ruang tamu, kulihat Kak Kevan duduk di sofa sambil menunduk. Baru aja aku hendak menyapanya, tak tahunya Kak Kevan tiba-tiba mendongak dan langsung memelukku. Aku terkesiap detik itu juga. "Aku kangen banget sama kamu," ucapnya sambil memelukku erat. Beberapa saat tubuhku kaku. Aku meringis mendengar ucapan Kak Kevan di telingaku. Tanganku pelan-pelan terangkat membalas pelukannya. "Kak Kevan juara 1 kan di kelas?" Kurasakan anggukan Kak Kevan ketika menjawab pertanyaanku. "Udah kuduga. Selamat ya, Kak." Tak berapa lama, Kak Kevan melepas pelukan kami dan tersenyum melihatku. "Makasih. Kamu juga, selamat buat perolehan peringkatnya." Aku mengangguk pelan dan ikut tersenyum. Kami sama-sama terdiam. Kutilik Kak Kevan yang menatapku lekat. Seperti ada kerinduan yang mendalam dari sorot matanya,
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status