Home / Fantasi / Memulai Kisah Baru / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Memulai Kisah Baru: Chapter 71 - Chapter 80

85 Chapters

Bab 71 - Aku Datang

~Jonah~Waktu seolah-olah berhenti saat aku mendengar suara istriku. Ketika aku menoleh, seorang pria mendekatinya dari belakang. Hanya tinggal satu orang lagi yang keras kepala berdiri untuk melawan aku dan Raven, lalu kami bisa pergi dari tempat ini. Mengapa dia tidak menepati janjinya?Namun aku tidak mendengar atau melihat ada mobil lain yang sudah siap sedia untuk menangkap Celeste di saat kami lengah. Pria itu menyumpal mulutnya dengan kain yang ada di tangannya dan beberapa saat kemudian, istriku kehilangan kesadarannya.Bunyi tembakan menyadarkan aku dan sebuah tangan segera mendorong aku untuk tiarap. Aku menurut dan melihat mobil itu melaju membawa istriku. Walaupun aku jarang menggunakannya, tetapi aku tahu cara memakai pistol. Aku mengambil satu yang ada di dekatku dan mengarahkannya kepada pria yang menarik perhatian Celeste hingga keluar dari mobil.Tidak peduli bagian tubuhnya yang mana yang akan kena peluru itu, aku menembakkannya tanpa pi
Read more

Bab 72 - Hanya Pion

“Jonah, Celeste, kalian baik-baik saja?” tanya Bunda yang menatap kami dengan khawatir. Aku melihat kedua tangan Bunda diikat di depan tubuhnya dengan sebuah tali.Felix berengsek! Dia sudah tidak waras lagi. Bagaimana bisa dia melibatkan ibuku dalam masalah kami berdua? Bundaku adalah adik kandung ayahnya. Apa dia akan menyakiti Bunda juga? Dasar pengecut. Aku seharusnya tidak bermain aman dengannya. Seharusnya dari awal aku akhiri semua ini seperti yang aku lakukan pada investor bodong dan Om Gunawan.“Ada apa ini, Felix?” tanya Bunda dengan penuh amarah. “Mengapa kamu menahan anak dan menantuku? Apa kamu sudah kehilangan nurani gara-gara perempuan ini? Kalau sampai Kak Avir tahu, kamu pasti akan diusir dan tidak lagi dianggap anak.”“Ayah tahu tentang ini, Tante.” Felix menyeringai puas melihat wajah terkejut Bunda. “Ayah juga ingin semua milik keluarga kami kembali kepada kami.”“Semua
Read more

Bab 73 - Belum Terlambat

Pria yang pertama tadi mendekat dan meletakkan tangan kiri istriku di atas meja. Dia mengeluarkan sebuah pisau dari bagian belakang tubuhnya dan mengarahkannya ke ruas jari pertama kelingking Celeste. Aku bisa melihat istriku berusaha memberanikan dirinya dengan tidak terlihat takut.Walaupun aku berusaha terlihat tenang, bahkan memasang topeng bahwa aku tidak terpengaruh dengan apa pun yang sedang terjadi di hadapanku, tidak begitu yang aku rasakan di dalam tubuhku. Jantungku berdebar dengan cepat, peluh mengalir turun di dada dan punggung, serta tenggorokan dan mulutku terasa kering.Belum pernah dalam hidupku, aku berada di sarang musuh dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kedua wanita yang sangat penting bagiku ada di dalam ruangan ini bersamaku. Salah langkah atau bicara sedikit saja, nyawa mereka bisa melayang. Jika aku hanya sendirian, masalah ini sudah lama aku selesaikan sendiri. Mudah saja membekuk mereka semua dengan mendekati Felix dan menodong senjata ke kepala
Read more

Bab 74 - Aku Bebas

Keheningan yang menyebabkan telinga berdenging menyusul setelah bunyi tembakan tersebut. Semua orang berlutut dengan kedua tangan melindung wajah mereka. Tetapi tidak dengan aku. Aku tidak punya alasan untuk melindungi diriku sendiri saat aku gagal menjaga istriku.Dia terjatuh di lantai bersama seseorang dengan pakaian serba hitam. Aku menoleh ke arah datangnya bunyi tembakan. Jovita sedang bergelut dengan dua orang pria yang mencoba merebut kembali senjata itu dari tangannya. Saat pandangan kami bertemu, dia tersenyum puas. Beraninya dia menembak istriku.“Kalau bukan karena pelayan miskin itu, aku sudah melakukan segalanya dengan mulus. Tidak ada laki-laki yang aku inginkan bisa menjadi milik wanita lain. Tidak Celeste, tidak Sapphira, tidak Lydia, tidak juga dengan mereka yang mengaku sahabatku.” Dia tersenyum kepadaku. “Seharusnya kamu bangga aku mau memberikan diriku untukmu. Sekarang kamu rasakan akibatnya bila lebih memilih gadis lain daripada
Read more

Bab 75 - Pelajaran

“Celeste? Apa maksudmu, Nak?” tanya Bunda yang terlihat khawatir. “Semuanya sudah selesai. Biar kakakku yang mengurus dia dan para penjahat ini. Kamu sudah aman, jadi jangan khawatirkan dia akan menyakiti kamu lagi.”“Aku tidak keberatan bila kamu ingin memberi dia pelajaran.” Sapphira tersenyum penuh arti. “Kita bisa tunda kepergian kita ke kantor polisi untuk beberapa menit.” Dia menoleh ke arah ayah mertuanya yang tersenyum menuruti permintaannya.Semua orang mundur untuk memberi ruang bagi Celeste dan Felix. Masih dengan posisi berlutut, para pria bawahan Sapphira membentuk lingkaran, sedangkan Sapphira dan orang tua kami berdiri bersisian. Aku mencium pelipis istriku. “Jangan terlalu keras kepadanya,” bisikku.Celeste tidak menjawab. Perhatiannya sudah tertuju kepada Felix sepenuhnya. Pria itu tersenyum meremehkan kemampuan istriku. Mereka berdua berdiri berhadapan. Seandainya saja Raven ada di sin
Read more

Bab 76 - Kritis Terlewati

Setelah mengetahui keadaan Raven, aku mengajak Celeste untuk memeriksakan tubuh kami. Hanya ada beberapa memar pada tubuh istriku karena melawan saat mereka menculiknya. Berbeda dengan keadaanku yang lebih parah karena perkelahian yang aku hadapi saat mobil kami dihadang.Dokter memberi aku salep yang harus aku oleskan pada memar di tubuhku dan aku menolak obat yang dia resepkan. Aku hanya mengalami luka luar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari tubuh bagian dalamku. Jika harus, aku lebih baik meminta resep dari dokter keluarga kami atau Nevan.Celeste menolak saat aku mengajaknya pulang. Dia masih ingin menunggu sampai keadaan Raven  membaik. Tetapi dia tertidur di ruang tunggu tidak menyadari bahwa malam panjang yang kami lalui ini telah mencapai batas kemampuan tubuhnya.Ayah dan Bunda telah pulang lebih dahulu, jadi aku pulang bersama Ihsan, sopir pribadi Bunda yang sempat panik di rumah karena tidak tahu di mana majikannya berada. Keadaannya sudah
Read more

Bab 77 - Mengalihkan Pikiran

Pada keesokan harinya, kami menerima surat panggilan untuk hadir memberi kesaksian di kantor polisi. Aku, Celeste, dan Bunda meminta agar bisa hadir pada hari yang sama dan tidak berbeda hari seperti yang tercantum dalam surat panggilan tersebut. Pak Omar memberi kabar baik bahwa mereka memenuhi permintaan kami tersebut.Sebagai penasihat hukum keluarga kami, Pak Omar yang lebih banyak bicara mewakili kami bertiga. Dia yang menentukan mana pertanyaan yang bisa kami jawab dan yang mana yang tidak ada hubungannya dengan investigasi kasus yang sedang mereka tangani.Mereka lebih banyak bertanya seputar ledakan yang terjadi pada pintu apartemenku, perkelahian di jalan raya yang sengaja diblokir atas perintah Felix, penculikan Celeste, serta pemaksaan atas Bunda dan penembakan yang terjadi di pelabuhan.Aku menjawab sedetail mungkin mengenai peristiwa di apartemen dan jalan raya, karena mereka perlu memberi laporan kepada pihak asuransi. Aku tidak mau merogoh uangku
Read more

Bab 78 - Penawaran Besar

Dia seharusnya tidak berada di sini. Untuk kejahatan yang sudah dia lakukan, dia tidak mungkin dibiarkan bebas dengan jaminan apa pun. Keberadaannya di dekat kami bisa mengancam nyawa kami. Dia tidak segan menyakiti keluarganya sendiri demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa dia bisa berada di sini, di kantor Ayah?“Tenang, Nak. Masuklah. Dia tidak akan menyakiti siapa pun,” kata Ayah.Aku membuka pintu lebih lebar dan melihat ada dua orang polisi yang duduk di dekat Felix. Aku pun merasa sedikit tenang. Ada Ayah, Bunda, Om Mahavir, dan Tante Clara duduk bersama di ruangan itu. Meskipun aku bingung apa yang sedang terjadi, aku masuk dan menutup pintu. Ayah menunjuk di mana sebaiknya aku dan istriku duduk.“Kita tidak bisa berlama-lama karena Felix harus segera kembali ke tempatnya.” Ayah memajukan tubuhnya dan memasang wajah serius. “Aku dan Avir sudah berembuk sampai kami sampai pada sebuah keputusan yang sangat besar.” Ayah me
Read more

Bab 79 - Syarat

“Apa katamu? Kamu punya syarat? Kamu sudah mendapatkan posisi yang tidak perlu susah payah kamu perjuangkan dari nol, kamu masih berani mengajukan syarat?” ejek Felix. “Ayah lihat, ‘kan? Dia tidak lain hanyalah seorang pecundang yang akan membuat perusahaan kita bangkrut!”“Syarat hanya diajukan oleh orang yang percaya diri dengan kemampuannya. Dia belum memberi tahu syaratnya mengapa kamu langsung marah? Sabar, Felix. Lihat baik-baik bagaimana seorang pemimpin berdiskusi dan menyatakan pendapat tanpa bersitegang leher,” kata Om Mahavir.“Katakan, Jonah. Apa syarat darimu?” tanya Om kepadaku.“Aku hanya meminta hak penuh yang Om dapatkan sebagai direktur utama juga diberikan kepadaku saat aku menggantikan posisi Om. Aku tidak akan mau memimpin bila mendadak dibentuk dewan komisaris untuk membatasi wewenangku. Aku tidak keberatan dengan kehadiran para pemegang saham, dan aku akan menghormati setiap penda
Read more

Bab 80 - Rahasia Besar

~Celeste~Restoran yang dimiliki Papa berawal dari warung makan sederhana yang dimulainya bersama Mama. Mereka mengawali usaha itu dari nol hingga akhirnya berdiri sebuah restoran berlantai tiga. Dari menu makanan sehari-hari khas Indonesia hingga orang tuaku mempekerjakan koki khusus masakan luar negeri. Restoran itu unik karena lantai dasar tetap diperuntukkan bagi makanan yang terjangkau layaknya warung nasi sederhana, sedangkan lantai dua khusus makanan yang sedikit lebih mahal.Pelanggan semakin banyak dan mereka berharap ada cabang lain yang jaraknya lebih dekat dari tempat tinggal atau kantor mereka. Karena itu Papa ingin membangun restoran yang kedua. Itu adalah prestasi terbesarnya setelah lama berdua kehilangan Mama.Lalu ada orang yang sengaja menghancurkan impian Papa dan sengaja merebut semua itu darinya. Dan orang itu tidak lain adalah ayah mertuaku sendiri? Bagaimana bisa orang kaya punya pikiran yang begitu egois? Mereka tidak lebih baik dari Fel
Read more
PREV
1
...
456789
DMCA.com Protection Status