Dengan langkah panjang dan cepat, aku menghampiri kedua mertuaku yang katanya sudah menungguku. "Maaf Ma, Pa, lama nunggunya. Masih mandi dulu," ucapku merasa tak enak. "Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan." Aku segera mendaratkan tubuhku disamping Sesil. "Begini, Prabu ... sebelumnya papa TEKANKAN, Sesil adalah anak kami, kami yang membesarkan dia, kami yang menyekolahkan dia, kami yang merawat dia." Aku mengangguk mengerti. "Meskipun, saat ini dia sudah menikah denganmu, meskipun dia menjadi hak kamu, Papa dan Mama ingin agar Sesil berhenti bekerja. Kami ingin Sesil di rumah saja. Tidak capek-capek bekerja. Kamu mengerti?" "Loh, Pa ... nggak bisa gitu dong! Sesil ingin berkarir terus. Sayang loh, Pah!" protes Sesil.
Baca selengkapnya