Beranda / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Bab 221 - Bab 230

Semua Bab Gadis Penari Sang Presdir: Bab 221 - Bab 230

298 Bab

221. Penjelasan Ibuku

Roy melepaskan Sahara yang meninggalkan ruang rapat dengan senyum tipis seraya memandang punggung wanita itu menghilang ke balik pintu. Dalam hatinya dia tersenyum lebar karena tak perlu adu otot untuk membuat Samuel menyadari posisinya. Rapat berlanjut hingga jam makan siang. Roy bisa langsung berdiri dari kursinya tanpa perlu berpura-pura membereskan berkas. Novan sudah berdiri di dekat pintu menunggunya. “Romantis sekali,” sindir Novan dengan wajah serius saat Roy melintas di depannya. “Sudah sejak dulu,” balas Roy. “Sekarang situasi sudah kondusif dan aku bisa melanjutkan rapat dengan tenang.” “Hanya satu orang yang bisa membuat istri Anda beranjak dari kursinya.” “Benar. Sudah pasti ibuku. Aku harus meminta bantuannya. Pekerjaan kalian juga lebih mudah. Dan yang paling penting, istriku tidak tahu kalau aku yang memintanya
Baca selengkapnya

222. Sedikit Masalah

Kehamilan Sahara memasuki bulan ketujuh dengan penuh ketenangan. Dia tetap menyimpan rahasia alasan Roy memintanya meninggalkan ruang rapat demi harga diri suaminya. Diam-diam menanamkan rasa percaya diri baginya. Memahami kalau Roy memang pria yang sedikit kaku. Tapi banyak sikap Roy yang membuat dirinya merasa amat begitu dicintai.   Hingga meski belakangan Roy beberapa kali pulang larut malam bahkan mendekati dini hari karena kesibukan proyek barunya, Sahara menjalani kehamilannya dengan tenang karena keyakinannya itu.   Berat badan Sahara bertambah cukup signifikan walaupun tinggi tubuhnya membuat dia masih bisa dikatakan ‘cukup berisi saja’. Kaki Sahara mulai sedikit bengkak dan Roy mulai mengkhawatirkan luka bekas kecelakaan di kaki istrinya seperti yang pernah diingatkan dokter pada mereka.   “Mana bantal perutku? Aku enggak enak tidur miring kalau enggak pakai itu,” kata Sahara, mencakari selimut dan menyingkirka
Baca selengkapnya

223. Drama Pagi

“Meski enggak ada ngapa-ngapain di klub itu, tetap aja kamu melihat perempuan-perempuan di sana,” gerutu Sahara, kembali berbaring dan membelakangi Roy. “Aku tidak harus pergi ke klub untuk melihat perempuan, Sayang. Aku melihat perempuan di dekatku setiap hari. Kamu, ibuku, Rini, Clara, Letta—" “Itu beda,” potong Sahara, kembali menepuk tangan Roy yang sedang mengusap perutnya. “Zheng Huang adalah pemilik proyek yang sedang kami kerjakan. Itu perusahaan penanaman modal asing yang harus kami maksimalkan untuk kemungkinan kerja sama berikutnya. Lagipula tidak setiap hari Huang meminta diajak minum. Dia juga tidak tinggal di negara ini. Aku menemaninya hanya sampai dia mabuk dan tak sadarkan diri. Tidak mungkin aku meminta staf biasa menemaninya. Dia pemilik tower yang sedang kami bangun. Aku sudah memiliki segalanya. Kamu, calon bayi kita … kamu sudah memberiku sebuah kelua
Baca selengkapnya

224. Mendengar Sandiwara Radio

“Yang aku tahu Zheng Huang itu laki-laki genit, gemuk, gatel, dan suka gadis-gadis,” sahut Rini. Usai mengatakan itu wajahnya sedikit meringis karena Novan meremas pahanya. “Aku cuma memaparkan kenyataan,” ucap Rini, memandang tajam suaminya. Omelan Sahara terhenti karena mendengar langkah kaki Roy mendekat ke meja makan. Dia mulai memakan pancakenya karena tak ingin Roy mengambil garpu dan mulai menyuapinya sambil menggerutu dengan halus. “Sudah minum susu?” tanya Roy, menunduk untuk mengecup pipi Sahara seakan tak terjadi apa-apa di antara mereka. “Nanti aja,” jawab Sahara tanpa menoleh. Aroma parfum Roy yang hangat masih tercium meski pria itu sedikit menjauh untuk menarik kursi di sisi kanannya. Mencium aroma itu, membuat pikiran Sahara kembali berspekulasi. Wanita-wanita di klub pasti berlomba-lomba meladeni suaminya lebih dulu ketimbang meladeni si Huang yang gemuk da
Baca selengkapnya

225. Menyenangkan Rekan

 Rini belum mematikan ponselnya hingga suara Sahara masih terdengar melalui speaker mobil.   "Mau ke mana?" Suara Rini terdengar setelah suara derit kursi yang digeser.       "Aku mau ke paviliun belakang." Sahutan Sahara terdengar.       "Mau mengadu pada ibu mertuamu?" Suara Rini kembali terdengar. Kali ini nadanya sedikit diturunkan. Seolah kata paviliun belakang membawa pengaruh tersendiri bagi Rini.   
Baca selengkapnya

226. Hentikan Ucapanmu

Klub yang dipilih Novan adalah sebuah klub yang terletak di lantai teratas sebuah menara. Persis di seberang pintu masuk klub terdapat restoran Italia yang pencahayaannya dibuat remang-remang untuk menonjolkan suasana romantis. Novan berjalan mendahului untuk menunjukkan tempat yang sudah dipilihnya siang tadi. “Sebelah sini, Sir. Meja kita berada di atas sana,” kata Novan seraya menunjukkan sofa tinggi berbentuk setengah lingkaran yang terletak lebih tinggi dibanding kursi-kursi besi di depan panggung. “Saya sudah menghubungi PR (Public Relations) yang menangani pemesanan. Dia sedang menuju ke sini,” jelas Novan saat menjajari langkah Roy. Sofa tinggi berbentuk lingkaran itu tertutup dengan tirai-tirai putih tipis. Dalam pencahayaan klub yang minim, kemungkinan besar aktifitas yang di balik tirai akan tersamar. Tiga orang wanita datang mendekati meja dan
Baca selengkapnya

227. Jangan Hina Istriku

Pikiran Roy sedang berpindah-pindah dengan cepat. Sedetik pikirannya terfokus pada Zheng Huang yang sedang meraba paha seorang wanita di sebelahnya, detik berikutnya berpindah pada pelayan pria yang menaruh butir es batu terlalu banyak ke gelas Zheng Huang, lalu fokusnya berpindah pada Novan yang sedang berbicara dengan seorang wanita. Karena berada di tepi sofa tempat terkumpulnya tirai putih yang menyelubungi, Roy tak melihat wajah wanita yang berbicara dengan Novan. Mungkin itu adalah Public Relations yang dimaksud Novan tadi, pikirnya. Zheng Huang ternyata tak berbohong. Pria tua itu benar-benar menikmati waktu bersama wanita Asia dan Eropa yang dimintanya. Dua pegawai pria Zheng Huang pun terlihat mengangguk-anggukkan kepala mengikuti musik tanda mereka terhanyut dalam euforia klub. Lalu Novan bertanya soal berapa lama mereka akan berada di sana. Waktu pemesanan pertama hanya tiga jam. Roy sudah menyepakati hal itu
Baca selengkapnya

228. Malam Bersenang-senang

Beberapa saat sebelum Roy meminta Novan dan Herbert menyeret Billy ke basement. Di rumah, Sahara sedang gelisah luar biasa. Berkali-kali melihat ponselnya dan mengetuk layar sambil bersungut-sungut.   “Mereka tetap pergi, kan, Miss? Mereka pasti berada di klub. Gimana kalau aku datang ke klub dan menyeret suamiku keluar?” tanya Sahara pada Rini yang duduk tak jauh darinya.   Rini menggeleng, "Jangan bertingkah seperti itu. Kamu tidak akan tidur seminggu kalau sampai melihat Roy marah."   Di tangan Rini ada alat menyulam yang dia belikan untuk Sahara untuk menyibukkan wanita itu. Tapi, Sahara hanya menghabiskan waktu sepuluh menit pertamanya mengikuti motif dan menyulamnya dengan benar. Menit berikutnya Sahara meletakkan alat menyulam ke meja dengan mulut mengerucut.   “Sekarang udah ada mesin, kenapa aku harus capek-capek menyulam sapu tangan suamiku? Roy pasti enggak akan mau make hasil sulamanku. S
Baca selengkapnya

229. Berita Dari Herbert

Billy masih terduduk di bawah tiang, empat orang pria keluar dari lift tempat mereka datang tadi. Billy langsung berdiri karena merasa posisinya di atas angin. Kedatangan teman-temannya bagai menjadi sebuah tenaga baru baginya.   Dua orang langsung berlari menuju Novan. Novan merunduk dan mendekap satu pria untuk langsung dibalik dan dibantingkan tubuhnya.   “Uuugh ….” Roy meringis melihat tubuh seorang pria yang melengkung usai dibanting Novan.   Di waktu bersamaan, Herbert menendang kaki pria yang baru mendekat padanya. Pria itu terhuyung dan punggungnya menghantam bagian depan mobil yang terparkir di dekat mereka.   Tak jauh dari Herbert, Roy diserbu dua pria sekaligus. Inke terlihat baru saja keluar dari lift menyusul mereka. Wanita itu berlari tertatih-tatih dengan sepatu tingginya. Wajah wanita itu terlihat khawatir saat memandang Billy, saat itu Roy langsung mengambil kesimpulan kalau Inke mem
Baca selengkapnya

230. Akhir Pertengkaran

Roy masuk dari teras samping hampir pukul satu pagi. Matanya langsung tertuju pada jendela-jendela besar yang seolah menatapnya dengan raut muram. Dalam sekejab saja istrinya sudah menelanjangi semua jendela dan membiarkannya begitu saja. Roy menggeleng pelan seraya menaiki tangga. Dari bayangan lantai pintu kamar, Roy melihat cahaya lampu kamar sudah berubah menjadi kuning temaram. Istrinya pasti sudah tidur sambil menutup selimut ke setengah wajahnya. Roy memutar pegangan pintu dengan sangat pelan. Meminimalisir suara agar tak mengganggu Sahara. Namun, saat pintu terayun dan dia melongokkan kepala ke ranjang, jantungnya mencelos melihat Sahara berbaring menghadap pintu dan menatap tajam padanya.“Aku kira sudah tidur,” kata Roy.“Berharap aku tidur biar masalah kita selesai gitu aja?”“Aku tidak mengatakan hal seperti itu. Dan tidak merasa kalau kita memiliki masalah. Sudah dini hari, jangan memulai perte
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2122232425
...
30
DMCA.com Protection Status