Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 201 - Chapter 210

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 201 - Chapter 210

298 Chapters

201. Jalannya Pertemuan

Sahara melihat sepasang pria dan wanita berusia hampir setengah baya mendekat ke lounge hotel dan berjalan menuju ke arah mereka. Itu pasti Edward dan istrinya, pikir Sahara. Edward berambut pirang, bertubuh tegap dan berkulit kecokelatan. Wajahnya cukup ramah kalau pria itu tidak memberengut. Sedangkan istrinya, wanita tinggi bertubuh berisi dan berwajah bulat. Dengan rambut pirang dan berpipi kemerahan, istri Edward mengingatkan Sahara pada Clara. Edward langsung melemparkan tatapan tak suka pada Roy. Sedangkan Roy menanggapi kedatangan Edward dengan santai. Roy mengerling Edward sejenak, lalu meneruskan ucapannya pada Matt. Setelah Edward duduk dengan nyaman, Roy melambai pada pelayan yang berdiri tak jauh dari mereka. Roy mengangguk meminta pelayan menyerahkan menu pada semua orang yang hadir di sana. “Aku mau cemilan,” kata Sahara. Roy mengangguk dan membalik menu. Restoran yang mereka tempati mengusung tema gastropub yang m
Read more

202. Daerah Kekuasaannya

“Aku tak bisa menyalahkan Thomas untuk itu. Dia masih muda dan normal sekali kalau dia menyukai seorang wanita cantik. Saat itu semua kembali pada sang wanita. Kalau memang wanita itu tidak memiliki kepentingan khusus dengan Thomas, dan dia memang mencintai kekasihnya, kurasa dia tak akan menemui Thomas seorang diri saja.” Edward mengangkat gelas berkaki tinggi berisi bayleys dengan dua petak es batu di dalamnya. Setelah menghirup minumannya sedikit, Edward memandang Anna yang sedang mencerna ucapannya. “Ternyata memang benar. Dia bukan sekedar – maaf, Roy – bukan sekedar mendekati untuk membalasmu saja. Sekarang aku makin yakin kalau Thomas begini, karena … patah hati wanita itu bunuh diri. Thomas menerima perjodohan kami bukan tanpa alasan. Dia sedang terpuruk dan mencoba melupakan soal wanita itu. Nyatanya dia masih mengunjungi psikiater dan mengkonsumsi depresan. Dia patah hati karena wanita – yang mungkin menjadi w
Read more

203. Negosiasi Makan Malam

“Tidak—tidak, kurasa kita tidak akan lama, Anna. Cuma makan malam. Yah … ditambah ngobrol sebentar. Aku tak lama lagi di sini, ibu mertuaku sudah meminta kami pulang secepatnya. Jadi kurasa kita tak akan punya waktu lama untuk berbincang-bincang. Kali ini tak ada pembicaraan berat. Kita benar-benar refreshing,” ucap Sahara di telepon. “Refreshing,” ulang Sahara pelan seraya meringis menatap Roy yang memandangnya dari balik laptop. Sesaat diam mendengarkan jawaban Anna di seberang telepon, Sahara berkata, "Yes, oke. Malam nanti. Aku janji tak akan sampai tengah malam. Aku juga tahu kalau Phillip dan Bella akan mencari ibunya. Matt akan menjemputmu, maksudku ... kami akan menjemputmu. Sampai jumpa malam nanti, Anna.” Sahara menggenggam ponselnya dan berjalan hilir mudik di ruang tamu kamar hotel. Roy kembali melirik istrinya dari balik laptop. Gaun tidur wanita itu terkibas ke sana kemari karena langk
Read more

204. Saling Mengagumi

“Aku khawatir kamu capek. Tapi ini sungguh—” Roy kembali memejamkan matanya. “Sedikit lebih cepat, Sayang.”   Roy sama sekali tak ingin membuat istrinya kelelahan. Beberapa hari melihat Sahara banyak menghabiskan waktunya di ranjang karena mengeluh perutnya selalu perih, membuatnya sedikit takut untuk menyentuh istrinya.   Namun, ternyata keikutsertaan Sahara ke pertemuan tadi seperti menjadi tenaga baru bagi wanita itu. Sahara terlihat semakin sehat karena ide perjodohan Anna-Matt yang dipeloporinya sendiri.   Perubahan perilaku Sahara akhir-akhir ini cukup membuatnya tercengang. Istrinya semakin berani dan semakin … kekanakan.   Lidah dan bibir Sahara masih menggelitik di bawah sana. Istrinya tak terlihat kelelahan. Sebaliknya, Sahara malah semakin bersemangat. Gairahnya ikut menggeliat karena pemandangan seksi di depannya. Bibir merah Sahara yang masih tersapu lipstik melingkari kejantanannya. Mul
Read more

205. Untuk Sahara, Istriku.

Matthew tiba di depan rumah orang tua Anna yang sangat besar. Bagian terasnya menyerupai sebuah hotel bernuansa Victoria. Dengan banyak ukiran dan lekuk yang rumit.   “Maafkan aku sedikit terlambat,” ucap Matt saat membukakan pintu mobil untuk Anna.   “Tidak, ini belum terlambat dari janji. Tapi …  ke mana Talita? Bukannya mereka yang harusnya menjemputku?” tanya Anna terheran-heran.   Matt menutup pintu mobil dan memutari bagian depan untuk kembali ke belakang kemudi.   “Roy mengatakan kalau istrinya ingat jadwal memeriksakan kandungan sore tadi. Sepertinya mereka sudah membuat janji jauh-jauh hari. Mereka juga akan datang sedikit terlambat. Kau tak apa-apa? Atau keberatan kalau kita sementara berdua saja?” tanya Matt santai.   Anna tersenyum, menoleh sekilas pada Matt dan menggeleng. “Tak apa-apa. Aku hanya sedikit heran. Dan juga … tak masalah kalau kita hanya berdua sebe
Read more

206. Alasan Kita Dipertemukan

Sahara mengerjap. Ternyata pandangannya tak salah. Gedung tinggi di kejauhan memang bertuliskan namanya. Itu hal yang ingin ditunjukkan Roy. Sebuah gedung atas namanya. Apakah gedung itu terletak di seberang hotel milik Thomas?   Sahara sedikit melongok ke gedung-gedung sekitar mereka. Ternyata benar. Gedung tempat mereka berdiri saat itu terletak tak jauh dari hotel Thomas. Bukankah harusnya gedung itu bertuliskan nama Shelly? Apa ini yang dimaksud dengan Roy soal ‘reaksinya’?   “Itu … memang namaku?” tanya Sahara. Memandang tulisan SAHARA dengan lampu berwarna putih yang menyala terang di kejauhan.   “Itu memang namamu,” sahut Roy.   “Bukannya gedung itu harusnya bertuliskan nama dia? Kalau sekarang dibuat menjadi namaku … aku jadi merasa seperti pemain cadangan,” ucap Sahara tanpa memandang Roy.   “Aku sudah menduga kalau kamu akan mengatakan hal itu. Itu adalah hal yang akan
Read more

207. Permintaan Istriku Sebelum Pulang

“Rara,” panggil Roy dari meja makan. Ponselnya terus-menerus berdering dan nama ibunya tertera di layar. Roy sudah bisa menebak kalau ibunya bukan ingin berbicara dengannya. Setelah menanyakan kabar, wanita yang melahirkannya itu akan segera menanyakan istrinya. Tak mendapat sahutan dari Sahara, Roy bangkit menuju kamar. “Sayang, kamu di mana?” tanya Roy. Melihat bayangan Sahara sedang menunduk di wastafel. Ponsel Sahara tergeletak di ranjang dan Roy melihat beberapa kali panggilan tak terjawab dari ibunya juga tertera di ponsel itu. Roy mendatangi kamar mandi dan mendorong pintunya. “Kamu kenapa? Muntah?” Roy melangkah masuk dan menarik selembar handuk wajah yang tersusun di rak sebelah wastafel. Sahara belum menjawab, membasahi mulutnya dengan air dari kran. “Kurasa aku kekenyangan,” ucap Sahara, menoleh pada Roy yang langsung membantunya menyeka mulut. 
Read more

208. Kencan Kita

“Pagi ini aku hanya mencium. Enggak lebih. Perutku masih enggak enak,” kata Sahara, saat melepaskan ciumannya. “Mmmm, tak apa. Aku suka. Bibirmu sangat lembut. Cium aku lagi,” pinta Roy, menggeser letak tubuhnya dengan mata masih terpejam. Tangannya mengusap bokong Sahara dan sesekali meremasnya. “Malam nanti kita harus ikut ke bioskop. Jangan lupa,” ujar Sahara, memperingatkan suaminya. “Aku pasti ingat. Cium aku di sana sedikit lebih lama. Kenapa aku baru sadar kalau ternyata bagian puncak dadaku terasa nikmat saat disentuh lidahmu? Aku jadi mengantuk,” kata Roy. “Kenapa selalu bangun terlalu pagi? Padahal masih bisa sejam dua jam lagi untuk tidur,” ucap Sahara, menggaruk lembut perut Roy yang kancing kemejanya sudah dia preteli. “Di sini juga hangat. Aku suka. Bisa-bisa aku ikut ketiduran.” Sahara menempelkan pipinya ke dada R
Read more

209. Pamit

Sahara melirik ponselnya yang terus bergetar. Anna mengirimkan pesan menanyakan keberadaannya. Dia mengatakan sudah tiba dan Roy meminta mereka duduk berpisah karena terlalu canggung ikut serta dalam double date. Sahara berjanji seusai menonton mereka akan bertemu untuk saling menyapa.   “Siapa yang memilih film ini?” bisik Roy ke telinga istrinya.   “Aku, siapa lagi? Ini film romantis. Aku baca sekilas review-nya. Istrinya kecelakaan dan hilang ingatan, lupa dengan suaminya. Tapi suaminya berhasil membuat dia jatuh cinta untuk kedua kalinya. Romantis, kan?” Sahara memeluk lengan Roy dan menyandarkan kepalanya.   “Iya, romantis. Tapi dibanding dengan menyebutnya romantis, aku lebih suka menyebutnya cinta sejati.” Roy mengusap punggung tangan Sahara di lengannya.   Saat itu Sahara duduk di sisi kanan dan Roy di sisi kiri. Kursi Anna dan Matthew terletak sedikit ke kiri. Sahara harus sedikit melongokka
Read more

210. Kepulangan

Perjalanan panjang menuju kampung halaman, terasa panjang bagi keduanya. Sahara mengeluh sakit pinggang dan kakinya sedikit terasa ngilu di malam hari. Sedangkan Roy merasa serba salah karena tak bisa menawarkan solusi yang lebih baik saat mereka berada di udara. Yang bisa dilakukannya hanyalah membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar keluhan Sahara dan memberi sedikit penghiburan. “Ah … akhirnya sampai juga. Aku mau makan sepuasnya. Aku rindu masakan Ibu.” Sahara mengisi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya saat tiba di bandara. “Kita masih harus menunggu barang-barang? Aku enggak sabar pulang ke rumah,” sambungnya. “Kita langsung pulang. Biarkan Herbert yang menunggu bagasi. Tebak siapa yang menjemput kita,” ujar Roy. “Pasti Miss Rini dan Pak Novan,” tebak Sahara dengan tepat. “Benar, kan?” Sahara berjalan dalam gandengan Roy menuju pintu kaca
Read more
PREV
1
...
1920212223
...
30
DMCA.com Protection Status