Matthew tiba di depan rumah orang tua Anna yang sangat besar. Bagian terasnya menyerupai sebuah hotel bernuansa Victoria. Dengan banyak ukiran dan lekuk yang rumit.
“Maafkan aku sedikit terlambat,” ucap Matt saat membukakan pintu mobil untuk Anna.
“Tidak, ini belum terlambat dari janji. Tapi … ke mana Talita? Bukannya mereka yang harusnya menjemputku?” tanya Anna terheran-heran.
Matt menutup pintu mobil dan memutari bagian depan untuk kembali ke belakang kemudi.
“Roy mengatakan kalau istrinya ingat jadwal memeriksakan kandungan sore tadi. Sepertinya mereka sudah membuat janji jauh-jauh hari. Mereka juga akan datang sedikit terlambat. Kau tak apa-apa? Atau keberatan kalau kita sementara berdua saja?” tanya Matt santai.
Anna tersenyum, menoleh sekilas pada Matt dan menggeleng. “Tak apa-apa. Aku hanya sedikit heran. Dan juga … tak masalah kalau kita hanya berdua sebe
Bab sebelumnya ada typo. Besok akan diperbaiki, ya.
Sahara mengerjap. Ternyata pandangannya tak salah. Gedung tinggi di kejauhan memang bertuliskan namanya. Itu hal yang ingin ditunjukkan Roy. Sebuah gedung atas namanya. Apakah gedung itu terletak di seberang hotel milik Thomas? Sahara sedikit melongok ke gedung-gedung sekitar mereka. Ternyata benar. Gedung tempat mereka berdiri saat itu terletak tak jauh dari hotel Thomas. Bukankah harusnya gedung itu bertuliskan nama Shelly? Apa ini yang dimaksud dengan Roy soal ‘reaksinya’? “Itu … memang namaku?” tanya Sahara. Memandang tulisan SAHARA dengan lampu berwarna putih yang menyala terang di kejauhan. “Itu memang namamu,” sahut Roy. “Bukannya gedung itu harusnya bertuliskan nama dia? Kalau sekarang dibuat menjadi namaku … aku jadi merasa seperti pemain cadangan,” ucap Sahara tanpa memandang Roy. “Aku sudah menduga kalau kamu akan mengatakan hal itu. Itu adalah hal yang akan
“Rara,” panggil Roy dari meja makan. Ponselnya terus-menerus berdering dan nama ibunya tertera di layar. Roy sudah bisa menebak kalau ibunya bukan ingin berbicara dengannya. Setelah menanyakan kabar, wanita yang melahirkannya itu akan segera menanyakan istrinya.Tak mendapat sahutan dari Sahara, Roy bangkit menuju kamar. “Sayang, kamu di mana?” tanya Roy. Melihat bayangan Sahara sedang menunduk di wastafel. Ponsel Sahara tergeletak di ranjang dan Roy melihat beberapa kali panggilan tak terjawab dari ibunya juga tertera di ponsel itu.Roy mendatangi kamar mandi dan mendorong pintunya. “Kamu kenapa? Muntah?” Roy melangkah masuk dan menarik selembar handuk wajah yang tersusun di rak sebelah wastafel.Sahara belum menjawab, membasahi mulutnya dengan air dari kran. “Kurasa aku kekenyangan,” ucap Sahara, menoleh pada Roy yang langsung membantunya menyeka mulut.
“Pagi ini aku hanya mencium. Enggak lebih. Perutku masih enggak enak,” kata Sahara, saat melepaskan ciumannya.“Mmmm, tak apa. Aku suka. Bibirmu sangat lembut. Cium aku lagi,” pinta Roy, menggeser letak tubuhnya dengan mata masih terpejam. Tangannya mengusap bokong Sahara dan sesekali meremasnya.“Malam nanti kita harus ikut ke bioskop. Jangan lupa,” ujar Sahara, memperingatkan suaminya.“Aku pasti ingat. Cium aku di sana sedikit lebih lama. Kenapa aku baru sadar kalau ternyata bagian puncak dadaku terasa nikmat saat disentuh lidahmu? Aku jadi mengantuk,” kata Roy.“Kenapa selalu bangun terlalu pagi? Padahal masih bisa sejam dua jam lagi untuk tidur,” ucap Sahara, menggaruk lembut perut Roy yang kancing kemejanya sudah dia preteli. “Di sini juga hangat. Aku suka. Bisa-bisa aku ikut ketiduran.” Sahara menempelkan pipinya ke dada R
Sahara melirik ponselnya yang terus bergetar. Anna mengirimkan pesan menanyakan keberadaannya. Dia mengatakan sudah tiba dan Roy meminta mereka duduk berpisah karena terlalu canggung ikut serta dalam double date. Sahara berjanji seusai menonton mereka akan bertemu untuk saling menyapa. “Siapa yang memilih film ini?” bisik Roy ke telinga istrinya. “Aku, siapa lagi? Ini film romantis. Aku baca sekilas review-nya. Istrinya kecelakaan dan hilang ingatan, lupa dengan suaminya. Tapi suaminya berhasil membuat dia jatuh cinta untuk kedua kalinya. Romantis, kan?” Sahara memeluk lengan Roy dan menyandarkan kepalanya. “Iya, romantis. Tapi dibanding dengan menyebutnya romantis, aku lebih suka menyebutnya cinta sejati.” Roy mengusap punggung tangan Sahara di lengannya. Saat itu Sahara duduk di sisi kanan dan Roy di sisi kiri. Kursi Anna dan Matthew terletak sedikit ke kiri. Sahara harus sedikit melongokka
Perjalanan panjang menuju kampung halaman, terasa panjang bagi keduanya. Sahara mengeluh sakit pinggang dan kakinya sedikit terasa ngilu di malam hari. Sedangkan Roy merasa serba salah karena tak bisa menawarkan solusi yang lebih baik saat mereka berada di udara. Yang bisa dilakukannya hanyalah membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar keluhan Sahara dan memberi sedikit penghiburan.“Ah … akhirnya sampai juga. Aku mau makan sepuasnya. Aku rindu masakan Ibu.” Sahara mengisi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya saat tiba di bandara. “Kita masih harus menunggu barang-barang? Aku enggak sabar pulang ke rumah,” sambungnya.“Kita langsung pulang. Biarkan Herbert yang menunggu bagasi. Tebak siapa yang menjemput kita,” ujar Roy.“Pasti Miss Rini dan Pak Novan,” tebak Sahara dengan tepat. “Benar, kan?” Sahara berjalan dalam gandengan Roy menuju pintu kaca
Mereka diturunkan di teras depan oleh Novan. Novan dan Rini lalu kembali melaju ke halaman samping. Sejak melewati pintu kayu raksasa bagian depan, Sahara mendapati rumah besar itu sangat sepi. Tak ada Pak Wandi si juru kunci yang menyambut. Tak ada Clara yang biasa langsung tergopoh-gopoh menyongsong kedatangan setiap orang dengan apron putihnya yang melambai-lambai. “Ke mana semua orang? Kenapa begitu sepi?” tanya Sahara, kembali mengalungkan tangannya di lengan Roy. “Mungkin semuanya sedang sibuk,” sahut Roy. “Apa Clara enggak tahu kalau aku pulang hari ini? Kenapa aku jadi agak sedih, ya? Kukira dia bakal berteriak dan nangis terharu ketemu aku,” sesal Sahara. “Jangan pikirkan soal itu. Ayo, kita ke kamar dan bersiap ke rumah Ibu. Ibu tetap mengatakan kalau makan di dapurnya terasa seperti rumah yang sesungguhnya. Aku tak tahu dia menyebut rumah ini apa.” Roy menggandeng Sahara menuju kak
Dari pagi Gustika sudah sibuk di dapur bersama seorang wanita yang biasa membantunya. Pesawat yang ditumpangi anak dan menantunya akhirnya akan tiba siang itu. Dua hari sebelumnya dia sudah meminta Pak Wandi dan Clara berbelanja apa yang dibutuhkannya sebagai bahan masakan. Dia juga sudah meminta Rini untuk mengisi kulkas sebanyak mungkin dengan cemilan. Berita soal kejutan yang diminta Roy untuk menyambut istrinya pun dia dengar dari Rini. Tapi dia mengatakan lebih menyukai menunggu anak-anaknya di rumah saja. Merasa kalau kejutan dengan banyak dekorasi dan bertabur bunga itu hanya cocok untuk yang muda-muda saja. Setelah mendekorasi meja makan dengan banyak jenis hidangan lokal yang biasa dimakan Sahara dengan lahap, Gustika mengambil penyemprot bunga dan pergi menuju jajaran anggrek yang pagi tadi tak sempat disemprotnya. Pikiran Gustika sedang berkelana dan menebak akan seperti apa wajah Sahara saat bertemu den
Bisa dibilang kalau letak pesona Rini di mata Novan adalah soal keberanian wanita itu. Rini sangat lugas, pemberontak dan selalu bersemangat dalam hal apa pun. Walau Novan beberapa kali berani menghadapi preman bersenjata, tapi dalam soal percintaan, keberaniannya itu nyaris tak berguna.Rini yang menginisiasi kencan pertama mereka. Rini juga yang menciumnya pertama kali. Bukan di tempat romantis. Waktu itu Rini menciumnya di depan toilet perempuan gedung universitas. Rini minta ditemani ke toilet, namun wanita itu malah mendorongnya ke dinding dan menciumnya.Itu adalah ciuman pertama Novan. Dia tak pernah memiliki kekasih sebelumnya. Kegiatannya saat berkuliah hanya seputar belajar dan berada di dojo karate sepanjang sore.Saat kuliah, Rambut Rini dipotong pendek di bawah telinga. Sesekali wanita itu memakai kacamata sebagai pengganti lensa kontak. Rini tergolong penyendiri. Tak memiliki banyak teman karena memang jara
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov