Perjalanan panjang menuju kampung halaman, terasa panjang bagi keduanya. Sahara mengeluh sakit pinggang dan kakinya sedikit terasa ngilu di malam hari. Sedangkan Roy merasa serba salah karena tak bisa menawarkan solusi yang lebih baik saat mereka berada di udara. Yang bisa dilakukannya hanyalah membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar keluhan Sahara dan memberi sedikit penghiburan.
“Ah … akhirnya sampai juga. Aku mau makan sepuasnya. Aku rindu masakan Ibu.” Sahara mengisi paru-paru dengan oksigen sebanyak-banyaknya saat tiba di bandara. “Kita masih harus menunggu barang-barang? Aku enggak sabar pulang ke rumah,” sambungnya.
“Kita langsung pulang. Biarkan Herbert yang menunggu bagasi. Tebak siapa yang menjemput kita,” ujar Roy.
“Pasti Miss Rini dan Pak Novan,” tebak Sahara dengan tepat. “Benar, kan?” Sahara berjalan dalam gandengan Roy menuju pintu kaca
Mereka diturunkan di teras depan oleh Novan. Novan dan Rini lalu kembali melaju ke halaman samping. Sejak melewati pintu kayu raksasa bagian depan, Sahara mendapati rumah besar itu sangat sepi. Tak ada Pak Wandi si juru kunci yang menyambut. Tak ada Clara yang biasa langsung tergopoh-gopoh menyongsong kedatangan setiap orang dengan apron putihnya yang melambai-lambai. “Ke mana semua orang? Kenapa begitu sepi?” tanya Sahara, kembali mengalungkan tangannya di lengan Roy. “Mungkin semuanya sedang sibuk,” sahut Roy. “Apa Clara enggak tahu kalau aku pulang hari ini? Kenapa aku jadi agak sedih, ya? Kukira dia bakal berteriak dan nangis terharu ketemu aku,” sesal Sahara. “Jangan pikirkan soal itu. Ayo, kita ke kamar dan bersiap ke rumah Ibu. Ibu tetap mengatakan kalau makan di dapurnya terasa seperti rumah yang sesungguhnya. Aku tak tahu dia menyebut rumah ini apa.” Roy menggandeng Sahara menuju kak
Dari pagi Gustika sudah sibuk di dapur bersama seorang wanita yang biasa membantunya. Pesawat yang ditumpangi anak dan menantunya akhirnya akan tiba siang itu. Dua hari sebelumnya dia sudah meminta Pak Wandi dan Clara berbelanja apa yang dibutuhkannya sebagai bahan masakan. Dia juga sudah meminta Rini untuk mengisi kulkas sebanyak mungkin dengan cemilan. Berita soal kejutan yang diminta Roy untuk menyambut istrinya pun dia dengar dari Rini. Tapi dia mengatakan lebih menyukai menunggu anak-anaknya di rumah saja. Merasa kalau kejutan dengan banyak dekorasi dan bertabur bunga itu hanya cocok untuk yang muda-muda saja. Setelah mendekorasi meja makan dengan banyak jenis hidangan lokal yang biasa dimakan Sahara dengan lahap, Gustika mengambil penyemprot bunga dan pergi menuju jajaran anggrek yang pagi tadi tak sempat disemprotnya. Pikiran Gustika sedang berkelana dan menebak akan seperti apa wajah Sahara saat bertemu den
Bisa dibilang kalau letak pesona Rini di mata Novan adalah soal keberanian wanita itu. Rini sangat lugas, pemberontak dan selalu bersemangat dalam hal apa pun. Walau Novan beberapa kali berani menghadapi preman bersenjata, tapi dalam soal percintaan, keberaniannya itu nyaris tak berguna.Rini yang menginisiasi kencan pertama mereka. Rini juga yang menciumnya pertama kali. Bukan di tempat romantis. Waktu itu Rini menciumnya di depan toilet perempuan gedung universitas. Rini minta ditemani ke toilet, namun wanita itu malah mendorongnya ke dinding dan menciumnya.Itu adalah ciuman pertama Novan. Dia tak pernah memiliki kekasih sebelumnya. Kegiatannya saat berkuliah hanya seputar belajar dan berada di dojo karate sepanjang sore.Saat kuliah, Rambut Rini dipotong pendek di bawah telinga. Sesekali wanita itu memakai kacamata sebagai pengganti lensa kontak. Rini tergolong penyendiri. Tak memiliki banyak teman karena memang jara
Awal memulai, Novan membelai Rini dengan jemarinya. Membuka celah wanita itu dengan ibu jari dan mendorong ke dalam hanya sejengkal. Saat Rini terkesiap dan mengerang, Novan menganggap bahwa wanita itu meminta lebih.Novan mendorong kaki Rini cukup lebar, demi memberi tempat bagi bahunya. Lalu dia menurunkan tubuh di antara kedua paha Rini. Mendaratkan lidahnya di dalam inti tubuh wanita itu. Rini menggelinjang, karena sentuhan pertama. Novan tak berhenti, atau memberi jeda. Dia menggoda Rini dengan belaian lidahnya yang lembut dan perlahan. Dia menyukai cita rasa itu. Rini begitu manis dengan sentuhan rasa tajam yang pas.“Van ….” Rini menyentuh bahunya.“Nikmati aja,” kata Novan. Dia memandang, menyentuh dan membuka bagian tubuh Rini dengan ibu jarinya. “Kamu selalu sempurna buat aku.”Rini memekik nikmat. Pahanya merapat menjepit kepala Novan. Pria itu ta
Novan mendorong mulut Rini yang terbuka di puncak kemaskulinannya untuk membimbing bergerak ke atas dan ke bawah. Walau Rini sebenarnya tidak membutuhkan panduan dari Novan. Erotisme Rini pagi itu, membuatnya bergairah melebihi apapun yang bisa dibayangkannya.Rini membawa bagian tubuh Novan lebih dalam, lalu sedikit lebih dalam lagi. Menyukai fakta bahwa dia tidak akan pernah bisa membawa kemaskulinan suaminya itu utuh ke mulutnya."Rin, ya, Tuhan ...."Novan mengencangkan pegangannya di rambut Rini dan dengan lembut menarik Rini menjauh. Rini mengerang sedikit merasa kecewa. Seperti seorang anak kecil yang baru saja diambil mainannya."Berdiri," pinta Novan, memegangi tangan Rini. "Duduk di pangkuanku," sambungnya, menepuk pelan pahanya.Tanpa berpikir lagi, Rini merentangkan kaki dan meletakkan bokongnya di paha Novan. Rini melakukan seperti yang diminta, bergerak
Sahara dipaksa berbalik, namun masih menutup wajahnya dengan selimut. Roy tertawa kecil. “Ayo, buka selimut ini. Mau aku mulai dari mana? Apa mau dicium seperti ini?” Roy mencium wajah Sahara dari balik selimutnya.“Aku mau lanjut tidur,” kata Sahara.Roy melihat jam di pergelangan tangannya. Mulutnya sedetik mengerucut mempertimbangkan waktu dan hal yang melintas dalam pikirannya.Kemarin, mereka meladeni ibunya mengobrol hingga tengah malam. Roy melihat Sahara seperti sedang berada dalam dua keinginan yang bertolak belakang pada malam itu. Ingin bercinta, juga ingin segera tidur. Dengan mata yang sedikit meredup, wanita itu menautkan tangan mereka dan membawa ke pangkuan. Mengusap ibu jarinya dengan gerakan sangat lembut dan sensual.Ibunya yang biasa peka, kemarin malam terlihat sangat antusias hingga terlupa bahwa mereka baru tiba dan masih mengalami jet lag.
Beberapa menit sebelum Roy dan Sahara turun untuk sarapan pagi, sepasang suami istri itu berdebat kecil di kamar. Sahara yang baru selesai mandi melihat Roy kembali rapi dengan setelan jas baru yang berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Dengan bath robe masih melilit tubuh dan simpulan handuk yang membungkus rambutnya yang basah, Sahara memperhatikan suaminya itu dengan seksama. Kenapa Roy terlihat lebih tampan hari itu? pikirnya. "Kenapa ganteng banget? Jasnya baru, ya?" Sahara berjalan mendekati Roy ke depan cermin tinggi. Roy menoleh ke arahnya dan tertawa kecil. Seketika dia mengerucutkan bibir. Entah kenapa tawa Roy terdengar mengesalkan. "Jas baru?" ulangnya lagi. "Aku mengganti jasku yang tadi dengan yang baru dari dalam ruang ganti. Tapi ini bukan jas baru." "Kayanya aku belum pernah lihat." "Masih banyak jasku di dalam lemari yang belum pernah kamu lihat." "Tapi ini terlalu
“Oh, istri Anda cemburu?” tanya Novan setengah takjub.“Jangan terlalu heran. Ingat usia istriku. Karakternya juga memang seperti itu. Dia akan selalu mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya.”“Sepertinya Brasil membuat Anda semakin memahami istri Anda. Saya ikut senang," kata Novan sedikit geli melihat raut wajah Roy diselimuti kekhawatiran."Kami pasangan menikah yang masih mencoba mengenal diri satu sama lain sembari menunggu kelahiran anak pertama kami. Kurasa itu lebih mendebarkan daripada pacaran bertahun-tahun kemudian menikah," balas Roy."Baiklah, apa yang harus saya lakukan?" Novan menyerah jika harus berlama-lama beradu ucapan dengan Roy."Oke, aku akan masuk ke dalam dan pamit pada istriku untuk masuk ke ruang rapat. Kalian, kamu dan Rini, sibukkan istriku sementara waktu.”“Menyibukkan istri Anda? De
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov