Home / CEO / Gadis Penari Sang Presdir / Chapter 181 - Chapter 190

All Chapters of Gadis Penari Sang Presdir: Chapter 181 - Chapter 190

298 Chapters

181. Sepasang Sepatu Untukmu

Polisi tiba saat Roy sudah berada di lobi. Mereka mengantongi perintah dari petinggi kongres untuk membersihkan tempat itu dan memproses masalah tanpa ribut-ribut. Seperti dugaan Roy, Belchior Marques Goulart tak ada bersuara sejak mereka menjalankan rencana di pagi buta. Pria itu sudah cukup membantu dengan mengamankan pihak berwenang negara itu. Tapi, pria itu juga terlihat menjauh dan menjaga jarak. Terlihat jelas bahwa Goulart menghindari kontak dengan keributan keluarga pesaingnya di pemilihan mendatang. Pria itu membersihkan semuanya sebersih-bersihnya. “Tuan Goulart tak memenangkan apa pun dari tersingkirnya Rebecca dari bursa pencalonan,” ujar Roy saat berada di dalam mobil. “Kenapa seperti itu?” tanya Herbert dari balik kemudi. “Karena dia tak akan mungkin menjadi calon tunggal. Lawan politik itu tetap ada siapa pun orangnya. Kecuali kalau Tuan Goulart memiliki
Read more

182. Keresahan Sahara

Lucio merasa tak sanggup membuka matanya lagi. Tangannya tadi sempat menyentuh tangan Sahara yang sama dinginnya. Tangan putrinya itu bergetar ketakutan. Dia tak mengacuhkan permohonan putri kecilnya untuk membiarkan Thomas dan Roy menyelesaikan masalah mereka sendiri. Namun, dia adalah ayah kandung Thomas. Yang mendidik dan memberikan semua keinginan Thomas selama ini. Dia bekerja keras untuk masa depan Thomas. Sejak dulu, meyakinkan Thomas untuk meminta maaf bukanlah pekerjaan yang mudah. “Dad, apa aku terlalu gemuk? Mereka mengataiku seperti babi. Mereka menendangiku dari kursi belakang. Aku tak mau sekolah di sana lagi.” Suara Thomas kecil yang berusia sepuluh tahun masuk ke dalam kepalanya. Saat itu dia sedang bekerja di ruangannya. Berjam-jam mengurung diri dan hanya sebentar sekali menyempatkan diri untuk keluar ruangan. “Abaikan mereka semua. Kau anak laki-laki. Harusnya tak
Read more

183. Hanya Kita Berdua

Rasanya sudah lama sekali Sahara tidak dipeluk seerat itu. Tulang-tulangnya terasa semakin menyusut di dalam rengkuhan Roy. Dia memeluk erat leher Roy, menjadikan bahu pria itu tempatnya menaruh dahi dan menyembunyikan wajahnya. Menangis sekeras-kerasnya karena kekecewaan dan kelelahan yang terus menerus mengejarnya mulai dari negara asal. Saat semuanya hampir selesai, dia malah merasa diberi kenyataan yang tak pernah disangkanya. Kalau boleh memilih, saat itu dia ingin melupakan telah bertemu seorang pria yang mengaku ayahnya. Dia ingin pulang dan berbaring di ranjang besar Roy. Dia tak mau tahu soal masa lalu Roy. Dia tak peduli lagi. Wanita yang bernama Shelly sudah mati dan kini suaminya mendapati kenyataan yang mungkin tak akan diungkitnya seumur hidup. Dia berjanji tak akan mengungkit hal itu. Semuanya sudah cukup. Roy melepaskan pelukan mereka dan kembali menangkup wajahnya. “Kamu belum makan, kan?” ta
Read more

184. Percakapan Kita

Dalam hati, Roy sudah meminta maaf pada ibunya berkali-kali. Tak sengaja mengatakan ibunya adalah seorang pengganggu. Sejak menginjakkan kakinya di Brasil, dia memang sedikit bosan menjawab pesan ibunya yang tidak sabaran. “Kenapa enggak dijawab?” tanya Sahara saat melihat Roy hanya memandangi ponselnya. Roy meringis, “Ibu pasti tanya soal kamu. Dan kamu … kamu harus mandi lebih dulu. Aku tak mau kalau Ibu mengatakan aku tidak merawatmu dengan baik. Aku akan mengiriminya pesan setelah deringnya berhenti,” ujar Roy, memunguti paper bag dari karpet dan menggandeng Sahara masuk ke kamar. “Ini gaun tidur dan pakaian dalam. Aku memberi mereka daftar size yang biasa kamu kenakan. Jadi, semua pakaian ini pasti sesuai di tubuh kamu.” Roy mengeluarkan gaun tidur dari paper bag. Membuka untuk melihatnya sekilas dan meletakkannya di ranjang. Alisnya terangkat saat menyadari model gaun tidu
Read more

185. Percakapan Suami Istri

“Sebenarnya aku tidak mau membicarakan masalah ini. Tapi … kalau aku tetap diam, kamu pasti akan menganggapku pengecut. Aku harus mengakui hal yang harus kuakui padamu, Rara. Aku mau hidup selamanya denganmu. Aku mau masa depan kita bersih dari prasangka masa lalu. Tanya apa yang mau kamu tanya. Cerca aku sekarang kalau kamu rasa perlu. Kita akan pulang setelah bisa meninggalkan semuanya di sini.” “Ada beberapa hal yang mau aku tanya. Tapi yang paling penting udah Om jawab,” kata Sahara. Roy menegakkan tubuhnya, “Yang paling penting? Oh, soal aku dan dia yang—baik. Oke, ternyata itu yang paling penting.” Roy menghela napas lega. Setelah mengira kalau Sahara akan kembali membahas soal alasan menikahinya, Roy sedikit lega karena Sahara mengatakan soal gaya hubungannya dengan Shelly adalah hal terpenting. Kecemburuan seorang wanita memang tak bisa dianggap enteng, pikirnya.
Read more

186. Yang Paling Kau Sayang

Makan malam baru saja disingkirkan. Baru pukul delapan tapi situasi dan kejadian hari itu membuat malam terasa lebih cepat larut. “Jam berapa menelepon Ibu?” tanya Sahara menunjuk ponsel Roy di nakas. Sejak tadi Roy sibuk berkutat dengan laptop yang dipangkunya sejak naik ke ranjang. “Jam sembilan malam. Sebentar lagi. Sekarang di sana sedang pukul enam pagi. Lebih cepat sepuluh jam,” sahut Roy, sedikit mengerling Sahara yang duduk di sisi lain ranjang. Jarak mereka terbilang cukup jauh untuk sepasang suami istri yang baru bertemu setelah beberapa hari. “Kenapa? Kamu ngantuk? Atau kita harus telfon Ibu sekarang?” Roy balik bertanya. “Enggak, enggak apa-apa. Aku cuma tanya aja.” Sahara meraih remote televisi dan menyalakannya. Roy memandang laptopnya, lalu memandang Sahara yang menatap televisi dengan raut malas. Pekerjaannya belum s
Read more

187. Kesepakatan Kita

“Rara, kapan pulang? Ibu rindu. Jangan terlalu lama di sana. Ibu sendiri di rumah,” kata Gustika dari seberang telepon. “Papa sakit. Aku pulang secepatnya kalau Papa udah sadar. Aku juga rindu masakan Ibu. Aku pasti pulang,” jawab Sahara, tersenyum ke layar ponsel di mana ibu mertuanya sedang memandang. Wajah ibu mertuanya terlihat sedikit pucat. Nada bicaranya tak terlalu bersemangat seperti biasa. “Jaga kesehatanmu. Makan yang banyak. Sepertinya Roy perlu banyak menjelaskan sepulang kalian nanti.” Gustika menatap Roy yang diam di sisi Sahara. Mendengar perkataan ibunya, pria itu mengangguk kecil. “Ibu sakit?” tanya Sahara, memandang wajah Gustika yang memang terlihat tak sehat. “Ibu enggak sakit. Cuma kurang tidur karena memikirkan kalian. Anak-anakku pergi dari rumah dan aku tidak tahu kabarnya. Ibu sendirian di sini,&rdquo
Read more

188. Dalam Keremangan Cahaya

Meninggalkan rumah dan pergi menyeberangi benua dalam keadaan hamil, memerlukan lebih dari sekedar keberanian. Dalam kacamata orang lain yang tak mengerti pergulatan dalam dirinya, Sahara pasti dianggap hanya sebagai seorang wanita yang merepotkan.   Jelas dia tahu bahwa Roy akan mencarinya. Tapi dia merasa memang perlu mendatangi ayahnya untuk meminta penjelasan. Dia ingin merasa pantas mendampingi Roy. Ingin hidup damai di sisi suaminya sebagai sosok wanita yang jelas asal-usulnya yang bisa dia ceritakan dengan kepala tegak pada anak-anaknya kelak.   Dia terlahir dalam keluarga berantakan dan tak pernah merasakan kasih sayang orang tua kandung. Dan dia tak ingin anaknya mengalami hal yang sama dengannya. Dia manusia yang memiliki kebutuhan spiritual yang harus dia penuhi. Hidupnya bukan hanya sekedar makan, tidur dan berbelanja hal-hal yang disukai wanita pada umumnya. Dia memiliki jiwa yang harus dia penuhi kekosongannya.  
Read more

189. Kau Yang Teristimewa

Dan selanjutnya Roy menyibak rambut cokelat Sahara ke belakang bahu wanita itu. Menurunkan dua tali tipis pakaian tidur yang sepertinya memang dibeli hanya untuk dilepaskan. Roy memundurkan tubuhnya. Memaksa Sahara untuk melepaskan sejenak genggamannya di bawah sana. Wajah wanita itu sudah memerah dengan sepasang mata yang menatapnya sendu. Sahara sudah dikuasai oleh nafsu. “Aku mau melihat tubuhmu,” ucap Roy, menatap ketelanjangan istrinya di bawah temaram lampu kuning yang bersanding dengan kulit pucat Sahara. Tungkai lengan Sahara yang ramping berdampingan sempurna dengan lekuk payudara dan pinggul yang luar biasa sensual bagi Roy. Dia tahu kalau pandangannya pasti sudah berkilat karena gairah. Menyusuri puncak payudara Sahara yang menonjol dan mengeras karena gairah wanita itu sendiri. Di bawah sana, Sahara tak pernah mengecewakannya. Lipatan mungil itu sudah dibelainya beberapa saat yang lalu. Beberapa s
Read more

190. Kebutuhan

Kelelahan dan mengantuk karena kurang tidur tadi, sesaat terlupakan. Meski sudah melewatkan sesi bercinta yang luar biasa di ranjang, mereka belum puas saling menyentuh. Sahara merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi. Roy mengungkungnya di bawah rentangan tangan. Di bawah guyuran air hangat, Sahara seakan tak puas menekankan tubuhnya pada Roy dan mengecupi dada pria itu.   Roy jelas luar biasa bahagia. Tatapannya tak sedikit pun teralih dari bibir Sahara yang menyentuh hangat permukaan kulitnya. Sahara meletakkan telapak tangan menyusuri dadanya. Sesekali berhenti untuk mengecup dan menyapukan lidahnya. Mencakar pelan punggungnya dan menggesekkan tubuh mereka. Roy sangat menikmati sampai tak peduli akan lukanya yang masih tertutup plaster.   Kecupan Sahara semakin mengusiknya. Di bawah pancuran air hangat, tubuh Sahara semakin terlihat sensual. Roy mengingat-ingat sejak kapan dia memimpikan melihat tubuh Sahara sepolos itu. Sejak kapan di
Read more
PREV
1
...
1718192021
...
30
DMCA.com Protection Status