Dalam hati, Roy sudah meminta maaf pada ibunya berkali-kali. Tak sengaja mengatakan ibunya adalah seorang pengganggu. Sejak menginjakkan kakinya di Brasil, dia memang sedikit bosan menjawab pesan ibunya yang tidak sabaran.
“Kenapa enggak dijawab?” tanya Sahara saat melihat Roy hanya memandangi ponselnya.
Roy meringis, “Ibu pasti tanya soal kamu. Dan kamu … kamu harus mandi lebih dulu. Aku tak mau kalau Ibu mengatakan aku tidak merawatmu dengan baik. Aku akan mengiriminya pesan setelah deringnya berhenti,” ujar Roy, memunguti paper bag dari karpet dan menggandeng Sahara masuk ke kamar.
“Ini gaun tidur dan pakaian dalam. Aku memberi mereka daftar size yang biasa kamu kenakan. Jadi, semua pakaian ini pasti sesuai di tubuh kamu.” Roy mengeluarkan gaun tidur dari paper bag. Membuka untuk melihatnya sekilas dan meletakkannya di ranjang. Alisnya terangkat saat menyadari model gaun tidu
“Sebenarnya aku tidak mau membicarakan masalah ini. Tapi … kalau aku tetap diam, kamu pasti akan menganggapku pengecut. Aku harus mengakui hal yang harus kuakui padamu, Rara. Aku mau hidup selamanya denganmu. Aku mau masa depan kita bersih dari prasangka masa lalu. Tanya apa yang mau kamu tanya. Cerca aku sekarang kalau kamu rasa perlu. Kita akan pulang setelah bisa meninggalkan semuanya di sini.”“Ada beberapa hal yang mau aku tanya. Tapi yang paling penting udah Om jawab,” kata Sahara.Roy menegakkan tubuhnya, “Yang paling penting? Oh, soal aku dan dia yang—baik. Oke, ternyata itu yang paling penting.” Roy menghela napas lega.Setelah mengira kalau Sahara akan kembali membahas soal alasan menikahinya, Roy sedikit lega karena Sahara mengatakan soal gaya hubungannya dengan Shelly adalah hal terpenting. Kecemburuan seorang wanita memang tak bisa dianggap enteng, pikirnya.
Makan malam baru saja disingkirkan. Baru pukul delapan tapi situasi dan kejadian hari itu membuat malam terasa lebih cepat larut.“Jam berapa menelepon Ibu?” tanya Sahara menunjuk ponsel Roy di nakas. Sejak tadi Roy sibuk berkutat dengan laptop yang dipangkunya sejak naik ke ranjang.“Jam sembilan malam. Sebentar lagi. Sekarang di sana sedang pukul enam pagi. Lebih cepat sepuluh jam,” sahut Roy, sedikit mengerling Sahara yang duduk di sisi lain ranjang. Jarak mereka terbilang cukup jauh untuk sepasang suami istri yang baru bertemu setelah beberapa hari.“Kenapa? Kamu ngantuk? Atau kita harus telfon Ibu sekarang?” Roy balik bertanya.“Enggak, enggak apa-apa. Aku cuma tanya aja.” Sahara meraih remote televisi dan menyalakannya.Roy memandang laptopnya, lalu memandang Sahara yang menatap televisi dengan raut malas. Pekerjaannya belum s
“Rara, kapan pulang? Ibu rindu. Jangan terlalu lama di sana. Ibu sendiri di rumah,” kata Gustika dari seberang telepon.“Papa sakit. Aku pulang secepatnya kalau Papa udah sadar. Aku juga rindu masakan Ibu. Aku pasti pulang,” jawab Sahara, tersenyum ke layar ponsel di mana ibu mertuanya sedang memandang.Wajah ibu mertuanya terlihat sedikit pucat. Nada bicaranya tak terlalu bersemangat seperti biasa.“Jaga kesehatanmu. Makan yang banyak. Sepertinya Roy perlu banyak menjelaskan sepulang kalian nanti.” Gustika menatap Roy yang diam di sisi Sahara. Mendengar perkataan ibunya, pria itu mengangguk kecil.“Ibu sakit?” tanya Sahara, memandang wajah Gustika yang memang terlihat tak sehat.“Ibu enggak sakit. Cuma kurang tidur karena memikirkan kalian. Anak-anakku pergi dari rumah dan aku tidak tahu kabarnya. Ibu sendirian di sini,&rdquo
Meninggalkan rumah dan pergi menyeberangi benua dalam keadaan hamil, memerlukan lebih dari sekedar keberanian. Dalam kacamata orang lain yang tak mengerti pergulatan dalam dirinya, Sahara pasti dianggap hanya sebagai seorang wanita yang merepotkan. Jelas dia tahu bahwa Roy akan mencarinya. Tapi dia merasa memang perlu mendatangi ayahnya untuk meminta penjelasan. Dia ingin merasa pantas mendampingi Roy. Ingin hidup damai di sisi suaminya sebagai sosok wanita yang jelas asal-usulnya yang bisa dia ceritakan dengan kepala tegak pada anak-anaknya kelak. Dia terlahir dalam keluarga berantakan dan tak pernah merasakan kasih sayang orang tua kandung. Dan dia tak ingin anaknya mengalami hal yang sama dengannya. Dia manusia yang memiliki kebutuhan spiritual yang harus dia penuhi. Hidupnya bukan hanya sekedar makan, tidur dan berbelanja hal-hal yang disukai wanita pada umumnya. Dia memiliki jiwa yang harus dia penuhi kekosongannya.
Dan selanjutnya Roy menyibak rambut cokelat Sahara ke belakang bahu wanita itu. Menurunkan dua tali tipis pakaian tidur yang sepertinya memang dibeli hanya untuk dilepaskan. Roy memundurkan tubuhnya. Memaksa Sahara untuk melepaskan sejenak genggamannya di bawah sana. Wajah wanita itu sudah memerah dengan sepasang mata yang menatapnya sendu. Sahara sudah dikuasai oleh nafsu.“Aku mau melihat tubuhmu,” ucap Roy, menatap ketelanjangan istrinya di bawah temaram lampu kuning yang bersanding dengan kulit pucat Sahara.Tungkai lengan Sahara yang ramping berdampingan sempurna dengan lekuk payudara dan pinggul yang luar biasa sensual bagi Roy. Dia tahu kalau pandangannya pasti sudah berkilat karena gairah. Menyusuri puncak payudara Sahara yang menonjol dan mengeras karena gairah wanita itu sendiri. Di bawah sana, Sahara tak pernah mengecewakannya. Lipatan mungil itu sudah dibelainya beberapa saat yang lalu.Beberapa s
Kelelahan dan mengantuk karena kurang tidur tadi, sesaat terlupakan. Meski sudah melewatkan sesi bercinta yang luar biasa di ranjang, mereka belum puas saling menyentuh. Sahara merapatkan tubuhnya ke dinding kamar mandi. Roy mengungkungnya di bawah rentangan tangan. Di bawah guyuran air hangat, Sahara seakan tak puas menekankan tubuhnya pada Roy dan mengecupi dada pria itu. Roy jelas luar biasa bahagia. Tatapannya tak sedikit pun teralih dari bibir Sahara yang menyentuh hangat permukaan kulitnya. Sahara meletakkan telapak tangan menyusuri dadanya. Sesekali berhenti untuk mengecup dan menyapukan lidahnya. Mencakar pelan punggungnya dan menggesekkan tubuh mereka. Roy sangat menikmati sampai tak peduli akan lukanya yang masih tertutup plaster. Kecupan Sahara semakin mengusiknya. Di bawah pancuran air hangat, tubuh Sahara semakin terlihat sensual. Roy mengingat-ingat sejak kapan dia memimpikan melihat tubuh Sahara sepolos itu. Sejak kapan di
Tampilan Roy sudah sangat sempurna pagi itu. Setelan jas single breasted berwarna abu-abu gelap dengan sepasang sepatu double monk straps mengkilap membungkus kakinya, membuat Roy tampak seperti bangsawan Inggris alih-alih seorang pria setengah Brasil.Rambut cokelat lurusnya tersisir rapi ke belakang. Aroma parfumnya memenuhi seisi kamar. Harusnya dia bisa duduk di ruang makan dan menyantap sarapannya lebih dulu ketimbang duduk di tepi ranjang sambil memangku laptop.Untungnya Sahara yang duduk di depan meja rias tak terlalu mempermasalahkan tingkah Roy yang sangat tidak praktis. Mengetikkan sesuatu sambil menyangga laptop dengan kaki terlihat merepotkan bagi siapa pun. Roy bisa duduk di meja kerja yang letaknya di luar kamar, tapi dengan resiko tak bisa melihat Sahara yang sedang berdandan.“Aku sudah mengeluarkan pakaianmu. Kurasa gaun berwarna putih itu sangat cocok dikenakan mengunjungi ayahmu. Hari ini aku ak
“Maafkan aku atas … rumahmu kemarin, Sir. Timku akan memperbaikinya—”Lucio menggeleng lamban. “Jangan, tak perlu. Cukup jaga putriku. Harusnya saat ini aku yang meminta maaf padamu untuk kesalahan yang kubuat pada Jonathan. Maafkan aku. Aku yang menjadikanmu sebagai yatim. Jadi … jangan tinggalkan putriku. Dia istrimu sekarang. Jaga dia sebaik mungkin. Sampaikan maafku pada ibumu—”“Aku sudah mendengar bahwa Anda tidak sengaja. Sebelum melangkah ke sini, aku meyakinkan diriku berkali-kali bahwa aku sudah memaafkan dan menerima semuanya. Aku mencintai putri Anda, Sir. Aku akan menjaganya dengan atau tanpa pesan darimu.” Roy memijat pelan bahu Lucio yang kurus.Bertahun-tahun Roy mengira kalau Lucio adalah pria bertubuh tegap, arogan dan penuh kuasa. Mengetahui keadaan pria itu sekarang, membuatnya jatuh iba. Lucio bahkan lebih kurus dan pucat dari ibunya.
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov