Semua Bab Shadow Under The Light: Bab 71 - Bab 80

92 Bab

Perjanjian

Lift berdenting dan terbuka. Eve membimbing kami ke kamar yang mereka sewa.Wanita itu menyerahkan kartu kunci ke tangan Owen. "Kami menunggu di sini. Gunakan waktumu."Owen kebingungan, balik menatap wajahku. "Cepatlah," ujarku kesal.Hampir saja kartu kunci terjatuh saking paniknya remaja ini. Ia akhirnya berhasil membawaku masuk ke dalam kamar."Bawa aku ke kamar mandi," perintahku.Owen membopongku ke kamar mandi.Segera saja aku melepas semua pakaian yang menempel pada tubuh, juga sepatu. Lalu menghidupkan shower membasahi tubuh ini. Owen terkesiap, berdiri bengong melihat ketelanjanganku."Air membantu lebih cepat calm down," ujarku. "Apa yang kau tunggu?"Ia mengedip lamat-lamat. "Hah?""Bantu aku, lebih cepat lebih baik. Buka bajumu."Barulah anak ingusan ini mengerti. "D
Baca selengkapnya

Air Matanya

Karena tak punya sepeser pun uang pada tubuhku, mau tidak mau aku harus memasang gaya seksi dan menyetop mobil di jalan. Sungguh apes.Pria baik hati berkacamata tebal memberiku tumpangan dengan imbalan nomor telepon untuk dihubungi, well ... aku memberikan nomor Eve padanya. Siapa tahu wanita itu bisa menemukan jodoh lewat comblangan ini.Dia mengantarku sampai ke rumah Axel. Aku tak tahu jalan pulang ke Rumah Kayu, hanya ini alternatifnya.Jalanan malam hari yang lenggang menenangkan pikiran kacau, otakku mulai mensimulasi alibi agar aku tak dicurigai.Apa aku harus menunggu di luar? Apa Diana menyampaikan pesanku ke mereka?Bisa jadi gadis itu lupa akibat syok sesudah kejadian mengerikan malam ini.Pikiran buruk silih berganti menghampiri persepsiku. Ragu, tanganku memutar handel pintu. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Saking kagetnya aku malah mematung
Baca selengkapnya

Penghakiman

Kukira semua telah usai, baik Misi Inisiasi maupun kisah cintaku. Aku lupa, betapa kejamnya para pembunuh dari Rumah Kayu. Lupa, betapa pintarnya mereka. Lupa, jika para ahli berkumpul menjadi satu di tempat ini.Hari ini, mereka mengingatkanku kembali, betapa mengerikannya dunia hitam. Dunia yang tak akan bisa kuterima meskipun sekarang aku bagian dari mereka.Diana digiring layaknya ternak ke halaman depan Rumah Kayu, kami semua dikumpulkan di sana. Walaupun bingung karena tak tahu apa yang terjadi setelah gadis ini pulang dari hotel, aku memilih diam sambil menyaksikan hal yang seharusnya tak terjadi.Tak ada sarapan, tak sempat membersihkan diri, masih dengan pakaian sama yang gadis ini kenakan tadi malam. Wajahnya bengkak oleh tangis berkepanjangan, entahlah semalam dia ditempatkan di mana, jelas ... tidak di kamar Axel karena aku berada di sana semalam."Xi," panggil Diana pilu.Axel
Baca selengkapnya

Dia Tahu

Langkahnya mendekat, matanya terpatri kuat, jemari lentiknya mencengkeram rahangku. "Kau ... Manis?" ulangnya tak yakin. "No, wajahmu berbeda. Tak ada luka di sini." Tangannya turun membelai rahangku."Siapa kau? Kenapa suaramu sama dengan gadis sialan itu?" Ia mendorongku mundur hingga mentok di samping tempat tidur.Senyum miring tersungging bersama cengkeraman tanganku menahan lengan Leona. "Kenapa? Kau takut si Manis akan datang untuk membalasmu?"Wanita itu menghempaskan tanganku. "Kau benar-benar dia?""Mungkin ... aku datang untuk mengambil apa yang menjadi milikku." Jemariku membelai seprai tempat tidur.Leona menggeram marah, menampik tanganku dari seprai. "Jangan main-main denganku, kau bukan dia ... kau pasti bukan gadis lemah itu?""Kau takut? Axel ... akan jatuh ke dalam pelukanku, kuberi tahu satu hal ... kami sudah melakukannya," lirihku.
Baca selengkapnya

Kenangan Masa Lalu

Pria tampan itu masuk ke dalam kamar saat otakku masih ruwet memikirkan alasan."El," lirihnya. Ia duduk di sampingku, netra besar berbulu mata lebat itu menatapku lekat-lekat."Ya." Aku menelan ludah teramat gugup.Ia menunduk, menautkan jemari penuh kegalauan. Lalu tiba-tiba tubuhnya mendekat, menanamkan ciuman ke bibirku. Cukup terkejut, reaksi alamiku adalah mendorong tubuhnya menjauh."El, aku ingin ...." Ia menggantung kalimat, suaranya mendesah pelan membuatku merinding mendengarnya. Meskipun berwajah tampan ke imut, tapi suara Axel sangat berbeda jauh dari rupanya. Rendahnya suara pria ini membuatmu seperti mendengar kerenyahan sebuah keripik, decapan kepuasan, atau embusan angin menggesek dedaunan. Menenangkan sekaligus membangkitkan sisi liar dalam dirimu."Apa?" Bagai tersihir aku mendekat kembali."Menyentuhmu ... memelukmu dan merasakan eksistensimu." Ia mende
Baca selengkapnya

Tipe Sang Penggoda

"Kalian puas? Apa kau menyuruhnya masuk untuk mempermalukanku?" tanyaku setelah keheningan panjang di antara kami."Tidak!" sanggah Axel, pria itu berdiri terburu-buru dan meraih selimut untukku.Namun hatiku terlanjur terluka, lebih lagi perasaan malu menggelayuti saat pandangan iba Axel jatuh ke bekas lukaku. Ya, saking banyaknya bekas luka ini menyamarkan bekas luka lama akibat tusukan Leona.Sangat menyakitkan di mana luka yang ingin kau sembunyikan dipertontonkan begitu saja.Axel membalut tubuhku dengan selimut. "Keluarlah!" perintahnya pada Leona. "Untuk berikutnya kau tidak boleh masuk lewat jendela lagi, aku akan menguncinya mulai sekarang.""Axel! Hanya karena dia kau--" Leona mengentak kesal pada lantai."Pergilah!" Aku menutup mata, ingin bersembunyi ke mana pun selain di sini."Cepat keluar," pinta Axel."Kau juga, Axel," ujar
Baca selengkapnya

Ketahuan

Mr. Lanish mengelus pundak terbukaku sembari menuntunku menuju ke lantai atas. Ia menggesek kartu di sebuah suite room.Betapa terpananya aku saat melangkah masuk, ruangan ini sangat besar berisi pantri kecil, meja makan, juga tempat tidur king size."Mau minum?" tanyanya, mulai melepaskan jas hitam yang ia kenakan. Mr. Lanis berjalan ke arah pantri dan menuang air untuk dia minum."Tidak, wah pemandangan dari sini sangat indah." Aku menyibak gorden dan memandang keluar jendela. Kelap-kelip lampu kota terlihat bagai cahaya bintang."Kau mau mandi dulu?" Mr. Lanish mendekat, memeluk tubuhku dari belakang."Akan memakan waktu jika kita mandi terpisah, mau mandi bersama?" godaku, mengelus kulit lengannya perlahan.Pria tinggi ini setuju, bahkan dengan sengaja menggendong tubuhku ala bridal style. Kami masuk ke kamar mandi yang tak kalah mewahnya. Bathtub besar dan kl
Baca selengkapnya

Terpaksa Membunuh

"Bunuh dia!" Madam Ghie turut memberi dorongan."Ayolah, ini tidak akan sulit, kau sudah membunuh berulang kali bukan? Jika tidak suka melihat darah, kau bisa mematahkan lehernya, tapi hati-hati bisa saja salah cara dan membuat dia kesakitan sebelum mati." Asad terkekeh geli, seolah kalimat yang dia ucapkan barusan adalah lelucon.Lewi berdecak tak senang, janggut tebal pria besar itu bergoyang. "Kau ... mata-mata?" Tangan berbulunya mulai masuk ke balik pakaian melihat keraguanku.Aku tak diberi kesempatan untuk berpikir atau pilihan, jika ingin hidup, aku harus membunuh Otniel sekarang juga.Lewat separuh kelopak yang terpejam Otniel menatapku tak percaya sewaktu tungkaiku mulai melangkah mendekatinya. Ia memberontak mati-matian, tetapi tangan Asad menekan kepalanya agar tetap mendongak ke atas. Seprofesional apa pun bidang yang kau geluti, saat kematian mendekat insting alami manusia akan mengambil alih
Baca selengkapnya

Malam Bersama

Berkali-kali kutanamkan di hati, tak hanya anggota Rumah Kayu, tapi Axel juga bagian yang ikut andil dalam menyakitiku. Namun sialnya, jika berhadapan dengan pria tampan ini ... aku selalu menjadi pihak yang tak berdaya.Cinta sungguh menjeratku pada derita. Meskipun kenyataan dia membuangku, aku masih saja memikirkan masa depan Axel. Terlebih di atas semua itu, aku menginginkan kebahagiaan untuknya.Hari-hari berlanjut dengan tekad penuh dari hatiku, jika bisa, aku ingin memenangkan pertarungan dan membeli kebebasan Axel. Namun, entah lawan seperti apa yang akan kuhadapi.Aku meminta Madam Ghie melatihku dengan Asad sekaligus, kami bertiga bertarung di hutan samping Rumah Kayu. Setiap hari, sampai tubuhku lelah dan tak sanggup lagi."El, aku sudah tak sanggup lagi." Asad mengeluh sambil memegang lututnya, pemuda ini terduduk di atas rerumputan. Peluh banjir membasahi seluruh pakaiannya. Beberapa bagian tu
Baca selengkapnya

Memikirkan Orang Lain

Setelahnya adegan menjadi tak terkendali, Axel menanamkan ciuman di mana pun bibirnya bisa menjangkau. Setiap jengkal tubuhku tak lepas dari jamahan pria tampan ini.Napas kami memburu, melebur menjadi satu. Seolah haus dan lapar akan hasrat yang terlampau lama tak terpuaskan. Gila, berkali-kali aku memaki dalam hati, meminta tubuhku tak merespon, tetapi malah sebaliknya. Semua menjadi di luar kontrol.Ia mulai merambah ke balik pakaian. Melepas helai demi helai agar tak ada penghalang di antara kami."Lukamu." Cegatku.Axel menggeleng pelan, menggigit bibir bawah, entah karena sakit atau hal lain. Ia terus melanjutkan aksi. Namun, pakaiannya sendiri hanya setengah telanjang. Bajunya masih terpasang, tapi celananya jatuh di bawah tempat tidur.Sebenarnya ada rasa bangga di hatiku ketika tanganku menyentuh bagian pribadi Axel yang mengeras. Bagaimana tidak, dari pengakuan yang lain, hanya aku seorang yang bisa membangkitkan hasrat pemuda tampan ini.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status