Beranda / Romansa / Takut Kawin / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Takut Kawin: Bab 21 - Bab 30

59 Bab

Hujan Air Mata

“Eh, bisa cantik juga ternyata kau, Kak!” ledek Alia yang kini turut tersenyum memandangi wajah Dira melalui kaca.“Jangan cemberut ajalah. Udah cantek pun mukakmu. Ini hari bersejarah loh. Kalau aku jadi kau, Kak. Wih, yang bahagia kali aku. Bisa nikah sama cowok ganteng, baek hati, terkenal, ah ... entahlah! Kenapa pulalah dijodohkan samamu, yang sangat tak layak,” ucap Arini kesal.Terlalu kesal dan malas menjawab, Dira hanya menggerak-gerakkan bibirnya ke sana kemari. Jauh dalam hatinya, ia ingin kabur saja. Namun, semua itu ia urungkan. Ia sudah terlanjur berjanji untuk menuruti semua keinginan ayahnya yang mungkin akan menjadi keinginan terakhirnya. Karena keadaan sekarat ayahnya, bukanlah mengada-ngada. Tuhan bisa saja mengambil nyawa ayahnya malam ini juga.“Kak, cepat dikitlah. Udah dipanggil itu,” ucap Alia yang baru saja masuk ke ruangan Dira.“Sabar kau!” bentak Dira dengan kedua tangan menggengg
Baca selengkapnya

Mendadak Kawin

Akad pun terlaksana dengan hikmat. Semua merasa lega, terutama ayah Dira. Ia begitu bahagia hingga terus menangis. “Baru kali ini saya menikahkan pengantin sebahagia ini. Kalaulah orang-orang begini semua, mungkin tak banyak anak muda yang kawin lari ataupun hamil deluan. Habis cemana, syarat ke KUA bukannya mahal. Tapi syarat dari keluarga yang mahal. Mau pesta beginilah, undang segitulah. Terakhir, anaknya buat deluan. Kalau udah kejadian kan, terpaksa dinikahkan. Hah, terakhir jangankan pesta. Akad aja pun jadi. Ya kan?” curhat Tuan Kadi yang ternyata merisaukan apa yang terjadi. Sedikit banyak ia pun tahu apa yang terjadi. Sudah berpuluh tahun lamanya ia bekerja sebagai Tuan Kadi, tak jarang mempelai maupun keluarganya mengoceh di hadapannya, hingga ia tahu apa yang terjadi dibalik pesta mewah mereka. “Sudah yah, saya pamit. Sekali lagi selamat yah. Saya harap, tidak hanya saat ini tapi selamanya kalian bahagia. Meskipu
Baca selengkapnya

Sentuhan Pertama

Alia dan Arini masih menanti di depan kamar ayah mereka. Begitu pula Leo, ia membiarkan Daffin dan Dira hanya berdua di dalam ruangan kosong. Seakan terhipnotis, Daffin terus menatap wajah Dira tanpa lelah. Wajah natural tanpa make up terlihat begitu cantik meski dengan dandanan yang tipis. Namun, saat ini wajah itu terlihat menyedihkan dengan kulit memucat dan kedua mata membengkak karena terus menangis. rambut panjangnya disanggul sederhana, namun berhasil menunjukkan sisi keibuannya. Begitu manis, membuat rasa cinta Daffin meningkat beberapa kali lipat dalam sekejap. Mencoba merasakan apa yang mungkin Dira rasa, hati Daffin tersentuh sampai-sampai berniat menyentuh Dira. Tangan Dira yang sedari tadi berada tak jauh dari tangannya terlihat begitu menggoda hingga ingin digenggam. Namun, Daffin menahan. Entah mengapa, ia merasa seperti bukan dirinya sendiri. Rasa dan perasaan itu hadir begitu saja, bahkan sulit dikendalikan. Membuatnya nyari
Baca selengkapnya

Kepergian Daffin Yang Mendadak

Leo yang penasaran mencoba mengikuti dan kini ia sudah berada di depan ruang Dokter berniat menguping pembicaraan keduanya. Namun sayang, ia harus pergi setelah seorang perawat memergokinya.“Abang ini ngapain di sini? Kalau mau masuk tunggu di sini dulu, nanti dipanggil yah,” ucap seorang perawat wanita yang kemudian memasuki ruangan Dokter.“Yeee ... gagal deh. Mana Daffin sengaja nyuruh gua nunggu di luar lagi. Emang lagi bahas apaan sih. Buat penasaran aja,” gerutu Leo. Ia pun terpaksa mencari ruang yang cukup sepi untuk mengangkat panggilan masuk.Leo kembali duduk di kursi yang ada di depan ruang Dokter. Menunggu lama dengan perasaan penasaran karena Daffin tak kunjung keluar. Gelisah, Leo memutuskan untuk mengetuk ruang Dokter.“Masih ada orang, Bang. Sabar yah,” jawab perawat yang sama.Leo kembali duduk. Ia membuka catatan yang ada di gawainya guna memeriksa jadwal Daffin yang sempat tertunda karea harus
Baca selengkapnya

Kabar Baik Datang

Wajah tegang yang mereka perlihatkan pun mendadak sirna, berganti wajah bahagia penuh syukur mendengar ada seseoran yang berniat menyumbangkan satu ginjalnya. Namun, seketika wajah Dira berubah.“Kenapa kau, Kak?” tanya Alia yang lebih dulu menyadari wajah bingung Dira.“Enggak kok.”“Pasti mikirin biaya operasi Ayak kan?” sahut Arini dengan wajah pasrah.“Enggak juga. Kalau itu kecil lah. Kakak punya sertifikat. Bisa ambil pinjaman,” jelas Dira dengan bibir membulat di bagian bawah, menunjukkan keangkuhan.“Jadi ... mikirin suami kau yang enggak keliatan?” ledek Arini.“Apanya mulutmu. Kusobek jugak lama-lama,” jawab Dira kesal. Dira memutuskan pergi dan meminta kedua adiknya untuk menjaga sang ayah.“Abang ini kenapa pulak? Ngalah-ngalahin kami pulak, mukak Abang stresnya,” ucap Alia yang kemudian tersenyum geli dan segera menutupi mulutnya.L
Baca selengkapnya

Jalan Pulang

Tiga hari berlalu dengan cepat, Ayah Dira sudah diperbolehkan untuk pulang. Betapa senang hatinya karena kini ayahnya terlihat jauh lebih baik. Gairah mudanya terlihat jelas, meski berbalut kulit keriput. Terus tersenyum dan kembali banyak cerita selama perjalanan pulang tak lantas membuat Dira kesal. Entah mengapa perasaan takut kehilangan membuatnya lebih mengerti betapa pentingnya kebersamaan. Pertengkaran kecil yang terus terjadi, peringatan-peringatan yang kerap menyakiti hati, semua itu menjadi momen indah yang kelak menjadi kenangan. Hampir saja Dira menitihkan air mata kala mengingat kejadian tempo hari. Hatinya terasa sakit seakan ada yang mengiris. Begitu pula dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang hingga membuat dadanya sesak. Hanya bisa tersenyum sembari membuang jauh pandang agar tak ada yang menyadari perasaannya saat ini.Mobil melaju tenang dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Namun, tidak setenang keadaannya. Terlihat dari wajah kesal supir ojek saa
Baca selengkapnya

Mengungkap Kerisauan

Sebuah koper telah tertata rapi di samping pintu. Ada beberapa benda dan baju yang harus Dira bawa. Tak henti-hentinya Dira memandang ke arah koper. Tatapan cemas dan bingung tergambar di sana. Ngedumel dengan dahi mengernyit, Dira merasa tak siap untuk berangkat.“Oalah, nasib-nasib ... cemanalah ini,” ucapnya dengan tatapan nanar.Sengaja membanting kuat tubuhnya ke atas ranjang, lalu memandang tajam ke langit-langit kamar, Dira merasa kesedihan yang mendalam. Entah mengapa momen masa lalu kembali hadir dalam benaknya. Momen dimana ibunya masih berada di sisinya.Saat itu Dira berusia lima tahun dan lahirlah Alia. Pembicaraan yang tak dimengerti Dira kecil pun terdengar.“Pak, ini anak boru. Jangan diajarkan kuat. Aku enggak mau ya, anakku sampek kehilangan jati diri. Lihat itu si Dira, Cuma rambutnya aja yang panjang. Tingkahnya mirip anak lajang. Kalau Bapak mau anak laki-laki, nanti kita buat lagi. Dengar Pak?” ucap ibu Dira sembari menggendong Alia dalam pangkuannya.“Hah! Ceman
Baca selengkapnya

Pria Berhoodie

Tak pernah melihat wajah tenang ayahnya seperti saat ini, Dira sibuk mengutuk diri yang merasa kurang perduli.“Huh! Entah udah berapa lama aku enggak ngomong baik-baik kekgini dengan Ayak. Sampek aku lupa kapan terakhir Ayak bahagia kayak tadi,” gumam Dira setelah duduk tenang di atas kursi miliknya.Memandangi keheningan landasan udara dari jendela pesawat, Dira merasa sedih harus pergi. Padahal keputusan awal berkat tekadnya yang kuat. Yah, saat itu Dira bertengkar hebat dengan ayahnya yang tak henti menjodohkan dirinya. Memilih kabur dengan alasan tugas, menjadi pilihan. Tak menyangka, dari begitu banyak keputusan nekad dan mendadak yang sudah ia perbuat hanya keputusan kali ini yang ia sesali.“Andai aja aku enggak nerima tawaran itu, mungkin enggak gini kejadiannya?”Beragam sangka dan prasangka pun timbul. Bayang-bayang keadaan yang mungkin terjadi pun hadir memenuhi benak. Hingga sebuah keadaan pun terbayang jelas dalam mata yang kini terpejam.Bayang dimana Dira duduk di atas
Baca selengkapnya

Buku Takdir

Selama perjalanan pulang menuju rumah, Alia dan Arini terus saja menunjukkan wajah masam. Sepertinya ada sesuatu yang hilang hingga membuat mereka enggan untuk sekedar berucap. Saling membuang pandang, menatap jalanan kota Medan kedua saudara sedarah ini asik berkutat dengan perasaannya. Berbeda jauh dengan sang ayah yang terlihat begitu bahagi. Tergambar jelas dari senyum yang terus mengembang. Tatapan teduh diikuti hembusan napas tenang.“Ckiit!”Mobil yang membawa mereka mendadak berhenti. Ternyata seorang anak muda terjatuh dari motornya tepat di depan mobil mereka.“Udah gilak kurasa anak ini!” teriak Arini kasar. Wajahnya menunjukkan amarah terlebih melihat ayahnya yang nyaris tersungkur.“Kurang suntik kali. Udah lama enggak nyedot mungkin,” sambung Alia yang tak kalah geram.“Hus! Belum tau kok main tuduh aja,” ucap Ayah menengahi celotehan kedua putrinya.“Kenapa tuh Bang?” tanya pria dewasa yang tak lain si supir ojol.“Kayaknya lagi sakit Bang. Tiba-tiba dia enggak sadarkan
Baca selengkapnya

Pagi Yang Mengejutkan

Pagi yang cerah digunakan Dira untuk berolah raga. Tubuhnya terasa kurang segar karena seminggu lamanya sibuk mengurus ayahnya. Begitu pula dengan pikiran yang terus dihantui akan pernikahan. Tidak ada kontrak dan sejenisnya yang artinya ia sungguh-sungguh melakukan pernikahan. Sesak dan pusing, entah mengapa ia sangat menderita setiap kali memikirkan hal ini. Padahal ada banyak hal sulit yang ia lewati selama ini. Namun, keputusan gila ini bisa menyiksanya seumur hidup.“Kekmana kalok aku cerai aja!”Pikiran gila seketika hadir. Tidak ada cara untuk menyelesaikan semua kerumitan ini.“Aku cerai tapi dengan syarat jangan sampek orang Ayak tau. Tapi ....”Bisik hati seketika terhenti. Mengingat betapa ayahnya sangat menyukai Daffin. “Kalok Ayak datang ke Jakarta langsung kekmana? Jangankan datang. Ayak pasti mintak foto atau video aku lagi di rumah sama dia kan? Ya Tuhan ... berasa masuk neraka aku.”Debat hebat dalam pikiran Dira mendadak lenyap kala ia melihat ada banyak wartawan di
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status