Home / Romansa / PERTAMA UNTUK NAIMA / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of PERTAMA UNTUK NAIMA: Chapter 11 - Chapter 20

208 Chapters

Chapt 11. Menjaga Jarak

Naima menggambar tanda perboden dan menuliskan dengan huruf besar dan merah di buku hariannya. ALBERICO. Naima berharap dia bisa konsisten dengan niatan hati untuk mengurangi intensitas pertemuan atau komunikasi dengan pria asing tersebut. Karena itu tidak sehat untuk hati, tubuh bahkan jiwanya. Naima tidak memungkiri, Albe memberikan warna tersediri pada hari-harinya. Menimbulkan rasa yang belum pernah dia inginkan hadir untuk menghiasi hidup di usia muda. Naima selalu berfokus pada pendidikan juga orangtua sewaktu mereka masih hidup, percintaan dan hal sentimentil dengan lawan jenis bukan sebagai prioritas. Namun, entah mengapa sejak bertemu Albe, jiwa wanitanya seakan mendamba. Berawal dari kecupan singkat yang Albe berikan, Naima sering membayangkan hal erotis yang tiba-tiba muncul dalam benak perawan itu. Duh, jadi ternoda bukan? Naima menggeleng pelan, membayangkan fisik pria asing itu saja membuat darah berdesir tak nyaman. 'Sungguh murahn' batinnya. Tapi pesona Albe me
Read more

Chapt 12. Bingkisan tak bertuan

Naima memasuki Cafe dengan ringan dan ceria, tiga hari izin membuatnya merindukan rekan kerja juga suasana Cafe yang selalu ramai. "Nai!" teriak Ajeng berhambur memeluk Naima, mereka menjadi Akrab sejak pertama Naima di terima di Cafe itu. "Gimana lukanya? Udah sembuh? Parah gak sih?" seloroh Ajeng menggandeng lengan Naima menuju loker. Naima terkikik mendengar pertanyaan Ajeng. "Sudah mulai mengering, cuma masih belum sembuh. Oh ya, kayaknya seragamku beda deh Jeng, kata pak Jaka aku di dapur aja bantuin Chef Adi," kata Naima sambil membuka loker menyimpan tas juga jaketnya. Ajeng mengangguk. "Nanti aku carikan yang seragam dapur, Pak Jaka kemarin sudah ngasih tau aku. Oh ya, gimana sih kejadiannya. Aku penasaran banget. Untung ya muka cantik kamu gak kena aspal ... hehehe," canda Ajeng, Naima hanya tersenyum dan ikut tertawa. "Iya pokoknya mah masih aja untung Jeng, walaupun sakit," jawab Naima dengan tawa berderai. Bekerja memang lebih menyenangkan, tidak merasa bosan dan mati
Read more

Chapt 13. Kucing-kucingan

Albe merasa frustasi, Naima benar-benar mengujinya. Panggilan teleponnya selalu berakhir di kotak suara, Jaka juga sudah tidak di ruangan, rekannya itu sering absen ke Cafe beberapa hari datang mereka meeting dan keperluan pekerjaan. Sisanya, nyaris tak pernah berbenturan. Pria itu seperti menghindar, tentu saja berbagai pikiran negatif bersarang di kepalanya. Albe mengambil kunci mobil berniat mengunjungi Naima, tapi belum sempat membuka pintu, Viran masuk dengan tergesa-gesa. "Al, kayaknya preman yang kemarin belum jera. Dia tetap meminta uang keamanan!" lapor Viran. Albe menyandarkan badannya di bufet file di belakangnya menatap Viran yang terlihat kelelahan. "Bukankah kamu sudah menghubungi petinggi di Polda? Pak Wito?" tanya Albe. Viran menggeleng pelan. "Sudah, Pak Wito sudah mengatakan semua akan dia urus masalah preman ini. Bahkan cek yang kita kasih sudah dia terima." jawab Viran dengan malas. Albe menghela napas. "Berarti Pak Wito belum bergerak, kamu telepon lah! sangat
Read more

Chapt 14. Serba salah

"Nai!" Bu Siti memanggil Naima yang baru saja memasuki pagar. "Iya bu?" Naima mendekat ke ruangaan keamaan yang berada tepat disamping pagar. "Kamu dari mana? Aduh kasian Mas bule nungguin kamu berjam-jam lho." Bu Siti berekspresi sedih, Naima hanya bisa meringis. "Albe kesini bu?" Naima pura-pura tidak tahu. "Iya dari sore tadi sampai maghrib baru pergi, Ibu malah tadi sempet curiga kok gak ada suara. Takut kamu ngapa-ngapain sama mas bule hihihihi" ujar Bu Siti lalu tertawa. "Nai tadi makan lalu beli sabun ke mini market ,Bu, Nai gak tahu kalau Albe mau datang. Paket data Nai habis." Naima memberi alasan sejujurnya. "Lha kamu gak aktifin wifi kost apa?Cck kamu ini. Pantesan sampai lumutan pacarmu nungguin." Bu Siti masuk ke dalam ruangan, lalu keluar lagi memberikan kertas yang bertuliskan password wifi. Naima tersenyum geli, padahal memang sengaja dia matikan. "Bukan pacar Bu, Albe hanya teman saja kok." Naima menerima kertas yang di sodorkan Bu Siti. "Iya juga gak apa-apa N
Read more

15. Rindu Terbalas

"Hallo ...." setelah berperang dengan hati, pada akhirnya Naima menyerah dengan egonya. "Hai Nai, kamu kemana saja?" Albe mendesah lega. "Aku di kamarku Al, tadi kamu datang?" Naima menggigit bibir bawahnya. "Ya, tapi kamu tidak ada. Kamu pergi?" Suara Albe seperti merengek. "Tadi aku berbelanja ke mini market, beberapa kebutuhanku habis dan beli paket data." Naima menggerak-gerakkan kakinya. "Kakimu bagus!" Albe tersenyum sepertinya Naima tidak menyadari jika dia melakukan panggilan video. "Apa? Kaki?" Naima melihat ke arah gawainya, ia memang meletakkan gawainya di atas perut. Naima memejamkan mata, merasa malu akan kecerobohannya. Mengubah kamera kearah wajahnya. "Aku lebih suka pemandangan sekarang." Albe tersenyum penuh arti, akhirnya dia bisa melihat wajah yang dia rindukan. "Ya iyalah kakiku kan butek ... maaf tadi kepencet sepertinya." Naima memasang wajah biasa, namun sepertinya rona wajah bahagianya dapat terlihat dengan jelas. "Hahahaha No, kakimu indah tapi kamu le
Read more

Chapt 16. Ciuman Pertama

"Jangan menghindar lagi Nai, aku tidak akan melepaskanmu." Albe memberi peringatan pada Naima. Terlihat tatapan wajah tampan itu terlihat sendu, jelas kerinduan di iris hijau yang melenakan itu. "Aku tidak menghindar Al, serahkan saja pada takdir. Kalau hari ini kamu tidak bisa menemuiku, berarti Tuhan belum mengizinkan. Serindu itu apa kamu sama aku?" Naima mencoba tidak terintimidasi. Ia berkelakar demi menghela gugup yang mendera, selalu seperti ini jika berhadapan dengan pria asing itu. "Aku sudah mengatakannya Nai, aku merindukanmu. Lihat pipimu memerah," goda Albe tersenyum jumawa. Naima mendesah, menatap langit-langit kamar, menutup sebagian mukanya, pasti ia merona. Hatinya tak bisa diajak kerjasama. "Tetapi tidak denganku Al, ini sudah larut aku harus beristirahat. Besok aku masih kerja pagi." Naima memberikan pengertian kepada Albe, ia harus mengakhiri panggilan itu. Berhadapan dengan Albe imannya melemah. "Bawa aku ke mimpimu, Nai," pinta Albe menatap Naima dengan pandan
Read more

Chapt 17. Marahnya Naima

Lelaki kekar itu melepaskan pelukannya dari tubuh Naima. Berbalik dan memberi instruksi Ari untuk mengikuti pria asing itu. Naima menangkupkan kedua tangan pada mukanya yang memanas, malu sekali dilihat dalam posisi seperti tadi. Naima menggigit bibir, ada desiran merambat ke hatinya. Namun, rasa marah juga bercokol di hati gadis itu, dengan tidak sopan Albe mengambil ciuman pertamanya. Gadis itu berencana juga akan menghukum lelaki yang sejatinya telat mencuri hati gadis muda itu. Di ruangan lain Albe berbicara dengan Ari, dia tau lelaki itu petugas kebersihan di Cafenya. "Apa yang sudah kamu lihat tadi?" Albe bertanya dengan suara dalam dan berat, membuat Ari gugup. "Maaf Pak saya tidak melihat apa-apa." Ari menundukkan wajahnya, dia ketakutan. "Bagus, jangan pernah mengatakan apapun kepada siapapun. Dan jangan mengatakan siapa saya kepada Naima, mengerti?" Albe memperingatkan dengan tegas. Ari memang tahu Albe adalah pemilik Cafe, tapi karena jarang berinteraksi dengan pegawai
Read more

Chapt 18. Masih Marah

“Nai, Kamu dipanggil sama pelanggan meja 4.” Salah satu rekan kerjanya memberi tahu Naima. Chef Adi menaikkan alisnya tanda ingin tahu, Naima hanya mengangkkat kedua tangannya tanda belum tahu kenapa. “Ok, sebentar.” Naima mengangkat Croffle dari panggangan dan menaruhnya di piring saji. “Biar aku yang plating.” Reno menawarkan bantuan, Naima tersenyum berterima kasih. Melepaskan sarung tangannya dan mencuci tangan, Naima keluar menuju meja nomor 4. Pelanggan yang memanggilnya, menatap Naima dengan pandangan mengintimidasi. Duduk dengan posisi tegap, kedua tangan dilipat di depan dada dan pandangan tajam tanpa senyum. Naima tidak takut, dengan santai Naima mendekat. “Apakah bapak memanggil saya?” Naima bertanya setelah berdiri di samping meja pria tersebut. “Kamu yang membuat Croffle ini?” Pria yang akhir-akhir mengganggu kewarasan Naima, bertanya dengan sorot mata tajam. “Benar Pak, apakah ada yang kurang dari pesanan Bapak?” Naima balas menatap mata Albe dengan tak kalah tajam,
Read more

CHAP 19. Bukan Wanita Murahan

“Setan!” Jawab Naima singkat, membuat Albe tertawa. Naima menatap ke jalan, entahlah Albe membawanya kemana. Lampu merah dengan detik yang lumayan panjang tertera di display. “Setan melawan setan menang siapa?” Albe mendekatkan wajahnya, reflek Naima mendorong wajah Albe menjauh. Buaya mesum ini membuat Naima harus waspada. “Yang mau diganggu sama setannya dong!” Albe mengernyit. “Maksud kamu?” Albe menopang rahangnya dengan tangan memperhatikan Naima. “Setannya malah berantem sendiri. Orangnya jadi menang, gak ada yang gangguin lagi ...” jawabnya enteng, tersenyum penuh kemenangan. Naima menguap, ia menutup mulutnya merasa tidak elegan menguap di depan Albe, ia tak tahu pendapat orang asing. Matanya sayu dan memberat. “Baiklah sepertinya kamu mengantuk sekali, tidurlah nanti aku bangunkan saat sampai. Setan ini tidak akan menggagumu,”kerling Albe, mengusap kepala Naima dengan tangan kirinya. Naima hendak menganggkat tangan menepis, namun ternyata kalah dengan mimpi yang mulai m
Read more

Chapt 20. Gold Digger

“Ga usah pegang-pegang, Al, bukan mahrom.” Naima memperingatkan Albe. Mata gadis itu mendelik lucu, Albe hanya terkekeh. Semakin menatap gadis pujaannya dengan lekat. “Makasih Al, mienya enak.”Ucap Naima, lalu membawa piring yang sudah bersih ke wastafel dan mencuci. Albe menyandarkan pinggulnya di counter samping Naima. Memperhatikan gadis itu mencuci peralatan yang ia pakai tadi. “Itu bukan mie, Nai,”ralat Albe. Heran dengan pemilihan kata Naima, pandangannya tak bisa lepas dari gadis yang sejak pertemuan mereka sudah menelusup di palung terdalamnya tanpa permisi. “Sama aja lah, kalau di sini ya mie." Naima tidak mau kalah. Ia sengaja berkata asal, ia butuh tetap sadar, karena kegugupannya membuatnya merasa lemah di setiap sendi. “Itu spagheti, kamu bekerja di bidang kuliner harusnya tahu.”Albe membenarkan. “Aku sukanya bilang mie, gimana dong?”Sanggah Naima sengaja membuat Albe kesal. Mungkin dengan menunjukkan sisi menyebalkan, Albe akan berhenti modus kepadanya. Lelaki itu me
Read more
PREV
123456
...
21
DMCA.com Protection Status