"Jangan menghindar lagi Nai, aku tidak akan melepaskanmu." Albe memberi peringatan pada Naima. Terlihat tatapan wajah tampan itu terlihat sendu, jelas kerinduan di iris hijau yang melenakan itu. "Aku tidak menghindar Al, serahkan saja pada takdir. Kalau hari ini kamu tidak bisa menemuiku, berarti Tuhan belum mengizinkan. Serindu itu apa kamu sama aku?" Naima mencoba tidak terintimidasi. Ia berkelakar demi menghela gugup yang mendera, selalu seperti ini jika berhadapan dengan pria asing itu. "Aku sudah mengatakannya Nai, aku merindukanmu. Lihat pipimu memerah," goda Albe tersenyum jumawa. Naima mendesah, menatap langit-langit kamar, menutup sebagian mukanya, pasti ia merona. Hatinya tak bisa diajak kerjasama. "Tetapi tidak denganku Al, ini sudah larut aku harus beristirahat. Besok aku masih kerja pagi." Naima memberikan pengertian kepada Albe, ia harus mengakhiri panggilan itu. Berhadapan dengan Albe imannya melemah. "Bawa aku ke mimpimu, Nai," pinta Albe menatap Naima dengan pandan
Read more