"Hallo ...." setelah berperang dengan hati, pada akhirnya Naima menyerah dengan egonya. "Hai Nai, kamu kemana saja?" Albe mendesah lega. "Aku di kamarku Al, tadi kamu datang?" Naima menggigit bibir bawahnya. "Ya, tapi kamu tidak ada. Kamu pergi?" Suara Albe seperti merengek. "Tadi aku berbelanja ke mini market, beberapa kebutuhanku habis dan beli paket data." Naima menggerak-gerakkan kakinya. "Kakimu bagus!" Albe tersenyum sepertinya Naima tidak menyadari jika dia melakukan panggilan video. "Apa? Kaki?" Naima melihat ke arah gawainya, ia memang meletakkan gawainya di atas perut. Naima memejamkan mata, merasa malu akan kecerobohannya. Mengubah kamera kearah wajahnya. "Aku lebih suka pemandangan sekarang." Albe tersenyum penuh arti, akhirnya dia bisa melihat wajah yang dia rindukan. "Ya iyalah kakiku kan butek ... maaf tadi kepencet sepertinya." Naima memasang wajah biasa, namun sepertinya rona wajah bahagianya dapat terlihat dengan jelas. "Hahahaha No, kakimu indah tapi kamu le
"Jangan menghindar lagi Nai, aku tidak akan melepaskanmu." Albe memberi peringatan pada Naima. Terlihat tatapan wajah tampan itu terlihat sendu, jelas kerinduan di iris hijau yang melenakan itu. "Aku tidak menghindar Al, serahkan saja pada takdir. Kalau hari ini kamu tidak bisa menemuiku, berarti Tuhan belum mengizinkan. Serindu itu apa kamu sama aku?" Naima mencoba tidak terintimidasi. Ia berkelakar demi menghela gugup yang mendera, selalu seperti ini jika berhadapan dengan pria asing itu. "Aku sudah mengatakannya Nai, aku merindukanmu. Lihat pipimu memerah," goda Albe tersenyum jumawa. Naima mendesah, menatap langit-langit kamar, menutup sebagian mukanya, pasti ia merona. Hatinya tak bisa diajak kerjasama. "Tetapi tidak denganku Al, ini sudah larut aku harus beristirahat. Besok aku masih kerja pagi." Naima memberikan pengertian kepada Albe, ia harus mengakhiri panggilan itu. Berhadapan dengan Albe imannya melemah. "Bawa aku ke mimpimu, Nai," pinta Albe menatap Naima dengan pandan
Lelaki kekar itu melepaskan pelukannya dari tubuh Naima. Berbalik dan memberi instruksi Ari untuk mengikuti pria asing itu. Naima menangkupkan kedua tangan pada mukanya yang memanas, malu sekali dilihat dalam posisi seperti tadi. Naima menggigit bibir, ada desiran merambat ke hatinya. Namun, rasa marah juga bercokol di hati gadis itu, dengan tidak sopan Albe mengambil ciuman pertamanya. Gadis itu berencana juga akan menghukum lelaki yang sejatinya telat mencuri hati gadis muda itu. Di ruangan lain Albe berbicara dengan Ari, dia tau lelaki itu petugas kebersihan di Cafenya. "Apa yang sudah kamu lihat tadi?" Albe bertanya dengan suara dalam dan berat, membuat Ari gugup. "Maaf Pak saya tidak melihat apa-apa." Ari menundukkan wajahnya, dia ketakutan. "Bagus, jangan pernah mengatakan apapun kepada siapapun. Dan jangan mengatakan siapa saya kepada Naima, mengerti?" Albe memperingatkan dengan tegas. Ari memang tahu Albe adalah pemilik Cafe, tapi karena jarang berinteraksi dengan pegawai
“Nai, Kamu dipanggil sama pelanggan meja 4.” Salah satu rekan kerjanya memberi tahu Naima. Chef Adi menaikkan alisnya tanda ingin tahu, Naima hanya mengangkkat kedua tangannya tanda belum tahu kenapa. “Ok, sebentar.” Naima mengangkat Croffle dari panggangan dan menaruhnya di piring saji. “Biar aku yang plating.” Reno menawarkan bantuan, Naima tersenyum berterima kasih. Melepaskan sarung tangannya dan mencuci tangan, Naima keluar menuju meja nomor 4. Pelanggan yang memanggilnya, menatap Naima dengan pandangan mengintimidasi. Duduk dengan posisi tegap, kedua tangan dilipat di depan dada dan pandangan tajam tanpa senyum. Naima tidak takut, dengan santai Naima mendekat. “Apakah bapak memanggil saya?” Naima bertanya setelah berdiri di samping meja pria tersebut. “Kamu yang membuat Croffle ini?” Pria yang akhir-akhir mengganggu kewarasan Naima, bertanya dengan sorot mata tajam. “Benar Pak, apakah ada yang kurang dari pesanan Bapak?” Naima balas menatap mata Albe dengan tak kalah tajam,
“Setan!” Jawab Naima singkat, membuat Albe tertawa. Naima menatap ke jalan, entahlah Albe membawanya kemana. Lampu merah dengan detik yang lumayan panjang tertera di display. “Setan melawan setan menang siapa?” Albe mendekatkan wajahnya, reflek Naima mendorong wajah Albe menjauh. Buaya mesum ini membuat Naima harus waspada. “Yang mau diganggu sama setannya dong!” Albe mengernyit. “Maksud kamu?” Albe menopang rahangnya dengan tangan memperhatikan Naima. “Setannya malah berantem sendiri. Orangnya jadi menang, gak ada yang gangguin lagi ...” jawabnya enteng, tersenyum penuh kemenangan. Naima menguap, ia menutup mulutnya merasa tidak elegan menguap di depan Albe, ia tak tahu pendapat orang asing. Matanya sayu dan memberat. “Baiklah sepertinya kamu mengantuk sekali, tidurlah nanti aku bangunkan saat sampai. Setan ini tidak akan menggagumu,”kerling Albe, mengusap kepala Naima dengan tangan kirinya. Naima hendak menganggkat tangan menepis, namun ternyata kalah dengan mimpi yang mulai m
“Ga usah pegang-pegang, Al, bukan mahrom.” Naima memperingatkan Albe. Mata gadis itu mendelik lucu, Albe hanya terkekeh. Semakin menatap gadis pujaannya dengan lekat. “Makasih Al, mienya enak.”Ucap Naima, lalu membawa piring yang sudah bersih ke wastafel dan mencuci. Albe menyandarkan pinggulnya di counter samping Naima. Memperhatikan gadis itu mencuci peralatan yang ia pakai tadi. “Itu bukan mie, Nai,”ralat Albe. Heran dengan pemilihan kata Naima, pandangannya tak bisa lepas dari gadis yang sejak pertemuan mereka sudah menelusup di palung terdalamnya tanpa permisi. “Sama aja lah, kalau di sini ya mie." Naima tidak mau kalah. Ia sengaja berkata asal, ia butuh tetap sadar, karena kegugupannya membuatnya merasa lemah di setiap sendi. “Itu spagheti, kamu bekerja di bidang kuliner harusnya tahu.”Albe membenarkan. “Aku sukanya bilang mie, gimana dong?”Sanggah Naima sengaja membuat Albe kesal. Mungkin dengan menunjukkan sisi menyebalkan, Albe akan berhenti modus kepadanya. Lelaki itu me
"Aku antar boleh? Apa kabarmu?” tawar Albe, iris hijau itu memancarkan kilat kerinduan, Naima mengusap lehernya gugup, setelah beberapa hari tidak bertemu pria tampan itu rasa rindunya kembali menyeruak dengan tak tau malu. “Baik Al, kamu apa kabar? Aku sudah memesan taksi.” Naima mencoba tetap ramah, ia melempar senyum gugup. Albe menyadari itu, gadis dengan blouse warna pastel itu terlihat manis, cocok dengan kulit Naima yang kuning langsat dan terlihat lembut. Sesuatu di bawah sana menegang, Albe menggeram dan memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam dan menghembuskan secara pelan. “Baiklah, aku ingin menanyakan sesuatu. Hadiah yang aku titip kepada Jaka apakah kamu sudah menerima?”Albe sengaja mengatakan itu, reaksi Naima yang kembali terkejut membuat Albe terkekeh. Permaianan apa ini? “Hadiah dari Jaka atau dari kamu, Al?”tanya Naima kebingungan. Ia mencoba menghilangkan kegugupannya, tiba-tiba bulunya meremang. Ada apa ini? “Infinity, kamu tahu symbol itu?” ucap Albe menc
Albe terkekeh, tidak menyangka sahabatnya mencintai gadis yang juga dia cintai. Jika orang lain mungkin Albe akan menghajar orang itu saat ini. Namun dengan sahabatnya? “Aku yang pertama kali bertemu Naima Al, di Café ini. Namun setelah aku melihatmu di kost Naima, aku sadar pesaingku sahabatku sendiri. Dan semakin aku sadar, bagaimana Naima menatapmu, cara dia bicara padamu dan padaku berbeda. Kalau boleh jujur, aku ga rela ngelepas Naima buat kamu. Aku takut dia sakit hati dan menderita.” Lanjut Jaka. Albe mengepalkan tangannya, apa Jaka ada di balik sikap Naima kepadanya? “Apa kamu tahu yang aku berikan untuk Naima apa?” Tanya Albe, Jaka menggeleng. “Aku tidak mau tahu Al, Naima menerima itu sudah menunjukkan dia menyukai hadiahmu. Walaupun memang salah karena aku mengakui itu dari aku.” Jaka memijit pelipisnya yang terasa pening, di hari ulang tahunnya malah mendapat kado seperti ini. “Mari kita bersaing secara adil. Jika Naima memilihmu aku akan ikhlas, Namun jika Naima mencin
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang