Naima memandang Viran heran, menengok ke belakang dan tak mendapati sang suami bersama lelaki itu. “Kok sendirian, Bang. Albe mana?” Naima mengikuti Viran yang menuju meja bar, lelaki itu mengambil minuman soda di dalam kulkas dan duduk di kursi tinggi. “Percaya yang mau dikekepin ndiri, masih kangen?” goda Viran mengerling. “Gak gitu juga, katanya tadi cuma dua jam paling lama sama perjalanan empat jam kalo macet, tapi kayaknya gak macet,” ucap wanita dengan daster selutut itu menyandarkan sisi tubuhnya pada meja setinggi perutnya itu. “Duh, yang mulai posesif, cie … cie … dulu kemana aja buk? Udah mengakui ya, eksistensi laki lo, di jagat per-casanova-an,” ledek Viran membuat wanita berambut ikal itu mencebik dan bersemu pada kedua pipi putihnya. “Apaan sih, Bang. Kan Nai cuma nanya, kenapa juga sampai sana sih, bahasannya,” cibir Naima, berjalan ke arah kulkas dan mengambil sekotak es cream. “Gendut ntar lo, dek! Es krim muluk sekarang.” Viran memperhatikan Naima dengan pandan
Baca selengkapnya